MOJOK.CO – Sepeda mahal ratusan juta memang tidak menjamin kamu finish, tapi setidaknya kamu gagal dengan nyaman dan bermartabat.
Di dunia sepeda, ada satu perdebatan abadi: “Lebih penting sepeda mahal atau dengkul yang kuat?”
Saya, sebagai pesepeda newbie dengan separuh nekat memilih menjawabnya dengan cara paling tolol. Jadi, saya ikut 2 acara ultracycling dengan 2 sepeda yang harganya terpaut belasan juta. Satu sepeda berbahan karbon, satunya lagi berbahan alumunium alloy. Dan dua-duanya bikin saya tumbang sebelum finis.
Desember 2024, saya menantang diri ikut event virtual 5.500 dari Rute Syahdu. Aturannya mudah. Tempuh jarak 500 kilometer dan capai pendakian total 5.000 meter. Mudah di mulut, berat di dengkul.
Saya mengikuti event tersebut dengan beberapa teman. Salah satu teman adalah alumni Bentang Jawa, salah satu event ultracycling terjauh di Indonesia. Dia juga yang membuat rute untuk event 5.500 virtual ini. Saya cuma jadi pengikut.
Yogya-Surakarta-Boyolali-Salatiga-Ambarawa-Temanggung-Wonosobo-Dieng-Banjarnegara-Purbalingga-Purwokerto-Kebumen-Yogya adalah rute yang dibuat. Kalau Anda tidak familiar, bayangkan rute dari surga ke neraka. Tanjakannya nggak habis-habis, bos.
Penderitaan bersama sepeda mahal
Saya pakai sepeda Trek Domane SLR. Ini adalah sepeda karbon dengan banyak fitur, group set SRAM Rival 12-speed elektric, rasio 46-33 di depan dan 10-33 di belakang. Iya, sepeda ini harganya kalau dijual bersama semua aksesorinya, mungkin bisa buat DP rumah subsidi. Untung istri saya tidak tahu harga sebenarnya sepeda mahal ini.
Sebenarnya sebelum berangkat, dengkul kanan saya sedang bermasalah. Tapi karena sudah kadung bilang ikut ke teman-teman yang lain, ya sudah, gas aja.
Beberapa tanjakan saya kayuh dengan gagah, sisanya saya tuntun sambil menahan air mata dan citra. Sampai di tanjakan Dieng, semua niat dan ego dilucuti. Ini bukan tanjakan, tapi sebuah penyiksaan.
Mulai masuk arah Purwokerto-Kebumen, saya sudah berpisah dengan teman-teman yang lain karena tidak bisa mengikuti pace mereka. Sampai di Jalan Daendels, sekitar kilometer 400-an, dengkul kanan saya terlihat memar.
Rasa sakit sudah tidak bisa ditahan saat mengayuh. Saya akhirnya menyerah, dan pulang dijemput seorang teman menggunakan mobil bersama kisah yang bikin teman-teman saya tertawa dan terhibur.
Baca halaman selanjutnya: Sama-sama panas di pantat, tapi lebih bermartabat.