Nikita Mirzani, artis seksi yang akrab dengan sensasi itu, kembali bikin heboh. Bersama Puty Revita, finalis ajang Miss Indonesia 2014 asal Kalimantan Timur, Nikita ditangkap polisi saat tengah melakukan transaksi seksual di sebuah hotel mewah di Jakarta, Jumat (11/12/2015). Barangkali istilah “transaksi seksual” bagi Anda terasa kurang joss, biarkan saya perjelas dengan gaya judul berita utama koran Lampu Hijau:
Om-Om Lagi Mau Ho’oh Sama Artis Montok di Hotel, Baru Juga Buka Kolor, Eh Digerebek Polisi. Si Om Sewot: “Yaelah, Baru Juga Mulai, Pak!”
Anda tentu sudah tahu—atau barangkali Anda juga termasuk pelakunya—bagaimana reaksi masyarakat, wabilkhusus para netizen, terhadap kasus ini: Nikita dihujat habis-habisan. Dalam titik ini, Nikita bukan lagi dianggap manusia: ia hanyalah sebongkah daging hidup penuh najis atau seonggok kotoran dalam toilet yang mampet. Sementara mereka yang menghujat adalah sesungguhnya ahli surga. Tidak lebih, tidak kurang.
Tapi apa boleh bikin, barangkali memang beginilah cara kerja sebuah masyarakat barbar seperti di Indonesia: dosa orang lain direcoki, tapi dosa sendiri dilupakan sambil haha-hihi. Apalagi kalau dosa itu sudah berhubungan dengan selangkangan dengan figur utamanya seorang perempuan, wuidih, semua orang mendadak (merasa) bersih dari segala mala. Semua orang adalah juru tafsir agama.
Oh, tenang, saya pun termasuk yang seperti itu, kok. Tak usah keburu menganggap saya paling suci seorang. Yang paling suci itu hanya batas kaki di mesjid. Tiada lain.
Terlepas dari apa yang terjadi, saya percaya bahwa reaksi netizen macam itu sejatinya tidak mengada begitu saja, melainkan di/terbentuk karena beberapa faktor. Dan dalam kasus Indonesia belakangan ini, bolehlah kita—meski ini tentu masih dapat diperdebatkan lagi—mendakwa media sebagai faktor utama penyebab semuanya.
Lihatlah judul-judul provokatif itu. Salah satu contoh, misalnya, “Nikita Mirzani Ditangkap dalam Keadaan Setengah Bugil”.
Membaca judul itu rasanya seperti ditampar memakai sandal jepit yang bekas menginjak kotoran ayam. Serendah inikah media menganggap para pembacanya, hingga sebuah berita tentang dua orang yang tengah berhubungan seks perlu diberi keterangan “bugil”?
Jadi, ada perempuan tengah bersama seorang pria di dalam sebuah kamar hotel dan hendak berhubungan seks, lalu apa yang seharusnya si perempuan tersebut lakukan? Oh iya, memakai kostum kura-kura ninja dong! Sebab perempuan tersebut adalah manusia hasil evolusi yang gagal, dan oleh karena itu, maka ketika berhubungan seksual ia tidak perlu telanjang.
Mari ramai-ramai berterima kasih kepada media macam itu karena telah memberitahu kita semua sebuah fakta menakjubkan yang selama ini tak pernah mungkin ada jawabannya. Momen semacam ini hanya terjadi 70 miliar tahun sekali lho, Teman-teman.
Oke, tentu Anda telah mengetahui bahwa berita dengan judul semacam itu hanyalah trik usang tiap media untuk mendulang banyak klik dari pemirsa. Tapi, bagi saya pribadi, rasanya selalu luar biasa membayangkan bagaimana berita dengan judul sebodoh itu bisa ditulis oleh seorang yang mendaku diri sebagai jurnalis.
Nah, hal menggelikan lain dari berita tentang Nikita Mirzani tersebut adalah: yang menjadi fokus utama hanyalah Nikita seorang.
Baiklah, Nikita seorang artis, cantik, seksi, nakal, suka menebar kontroversi. Terus? Karena karakternya yang demikian, ia tentu bakal memantik minat pembaca. Lalu? Ya, apalagi untuk kasus macam ini, pastinya bakal sangat bombastis jika media mengeksploitasinya habis-habisan. Sudah? Oke, alasannya masuk akal, kok. Sisanya biarkan para moralis yang bertanya. Mereka pasti sudah geregetan buat berkoar: “Kurang ajar! Merendahkan perempuan banget, sih!”
Sekarang begini, Encang-encing sekalian, sejak kasus prostitusi yang melibatkan artis macam ini muncul beberapa bulan lalu, sudah banyak yang menduga-duga konsumen mereka rata-rata dari kalangan pejabat.
Pertanyaannya kemudian: Mengapa hal tersebut tidak turut dikupas tuntas? Bukankah keren, misalnya, memberitakan seorang pejabat yang tertangkap basah tengah bercinta bersama artis montok sambil memakai celana dalam motif polkadot? Atau, mungkin, pejabat itu sedang memeluk boneka beruang. Mungkin lho ini, hanya berandai-andai, bukan menyindir atau menuduh pejabat manapun. Kalaupun ada kesamaan tokoh, percayalah, itu semua hanya kebetulan semata. Kalem lho, Pak Fuckery.
Coba ngana bayangkan, betapa luar biasanya hal tersebut jika dijadikan berita? Berapa juta klik yang akan didapat suatu media jika mereka berani menyebutkan nama salah seorang pejabat—minimal inisialnya saja—yang terkait kasus tersebut? Kehebohan seperti ini kan yang diburu oleh para media itu demi mendulang klik? Tapi mengapa mereka tidak pernah melakukannya? Ini duit, loh! Duit!
Ya, jawabannya adalah risiko. Di negeri yang beradab dan pancasilais ini, risiko memberitakan kejahatan seekor, eh maaf, maksud saya seorang pejabat, jauh lebih mengerikan ketimbang kasus artis seksi yang berbuat mesum. Mengabarkan kepada khalayak dosa-dosa seekor—halllaaahh, salah tulis lagi deh—maaf, seorang pejabat maksudnya, adalah pekerjaan horor bagi awak media.
Itupun kalau mereka mendapat izin dari pimpinan redaksi. Biasanya, sih, selalu ada larangan secara halus agar jangan terlalu vulgar jika hendak memberitakannya. Kalaupun dibolehkan, nasib si awak media tadi bisa mendadak apes setelah berita tayang. Bisa tahu-tahu kehilangan pekerjaannya, dihimpit kariernya, atau paling buruk, ya, si awak tadi mendadak “hilang” begitu saja.
Ah, cuma begitu doang. Tahun 1965 dulu juga ada ribuan orang “hilang”, kok. Santai saja. Semua orang toh akan “hilang” pada waktunya.
Akan tetapi, dari seluruh poin yang dijelaskan tadi, ada hal lain yang paling menjengkelkan. Seberapa keras Anda menghardik media atau berita dengan kualitas macam itu, Anda tak pernah benar-benar bisa menghindarinya. Dalam banyak berita sensasional seperti tertangkapnya Nikita Mirzani tadi, seringkali Anda—dan tentu juga saya termasuk—menjadi barisan “monyet tukang klik”.
Bedanya dengan “monyet” lain, barangkali, Anda dan saya membacanya sembari nyinyir dengan kualitas beritanya, lalu memberikan analisis ndakik-ndakik bagaimana berita seharusnya dibuat, lengkap dengan panduan etika seorang jurnalis yang baik dan benar, sementara “monyet” lain yang rendahan itu masih terjebak dengan judul provokatif tadi. Lalu kita pun merasa sebagai “monyet” yang lebih beradab.
Padahal, sih, sekali monyet, ya, tetaplah monyet.
Betul kan, Nyet?