MOJOK.CO – Pramoedya Ananta Toer selalu berada dalam perjumpaan 2 situasi. Mengelu-elukan setinggi zenith atau membencinya hingga ke titik nadir.
Tujuh puluh tahun silam, suasana haru biru menggelayut saat talak keempat menikam ulu hati Pramoedya Ananta Toer. Dia menulis begini dalam kitab biografi agungnya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995: 212):
“Pada suatu pagi mamahmu mengusir aku untuk keempat kalinya. Dan pada hari itu juga aku pergi, membawa pakaian, buku, perkakas tukang, mesin tulis dan SEPEDA MOTOR SPARTA TUA pemberian Alfred Simandjuntak.”
Berbeda segalanya dengan Pramoedya Ananta Toer yang berang setelah disambar penghinaan dari pasangan hidupnya, saya, pada pagi 5 Februari 2025, juga keluar dari rumah membawa pakaian, buku, perkakas kerani, dan sepeda motor.
Tujuannya adalah ke titik perjanjian para anggota tim ekspedisi “Pramoedya Ananta Toering” yang sedang berpacu menuju titik akhir Blora untuk hajatan seabad kelahiran begawan sastra Indonesia itu.
“Toering” ke Blora dengan motor sejatinya dibimbing oleh paragraf Pram yang sudah dikutip di awal. Sengaja kami pertahankan nama lengkap Pram yang kemudian dibubuhi “ing” guna mengubah kata benda menjadi kata kerja.
Walhasil, nama besar yang semula hanya akrab bagi kalangan pembaca sastra atau sejarah, kini lebih bersahabat di telinga rakyat. Syukur-syukur Pramoedya Ananta Toer menjadi bagian tak terpisah dari grup-grup bermotor di seluruh Indonesia.
Sepeda motor sebagai lambang kegetiran manusia
Dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid I dan II, sepeda motor senantiasa hadir ketika Pramoedya Ananta Toer membabar kegetiran hidup sebagai manusia. Lebih-lebih saat dia baru menapaki dunia kepenulisan profesional. Atau, dalam suasana yang lebih mencekam, layaknya sangkakala, deru mesin yang terdengar menandai kengerian penyiksaan massal tapol di “Tefaat Pulau Buru”.
“Kemudian lagi seorang Serma datang dengan sepeda motor. Naik ke loteng. Wajahnya tegang. Perintah: jangan keluar dari sini! Keadaan genting. Sesuatu telah terjadi.”
“Pramoedya Ananta Toer(ing)” atau selanjutnya disebut Toering memilih strategi bersepeda motor lantaran dinilai lebih lentur dalam memilih rute dan persinggahan.
Hasilnya seperti ini. Umumnya, perjalanan dari Candi Prambanan ke Blora yang berjarak 164 kilometer bisa ditempuh 4 jam. Karena “lentur” secara rute, kami menempuh jarak 266 kilometer dan memerlukan waktu 12,5 jam. Ada selisih 100 kilometer lebih renggang dan 8,5 jam lebih lama.
Saya memulai catatan perjalanan Toering di bawah Tugu Sugeng Tindak yang segaris lurus dengan bangunan Candi Prambanan. Etape pertama kami adalah Taman Sriwedari yang berada di jantung Kota Surakarta.

Menuju Sriwedari
Di tempat pergumulan budaya elite dari berbagai etnis masa kolonial ini, kami menunggu 2 anggota yang tertinggal. Jika Pramoedya Ananta Toer bermotor saat divorce, 2 anggota Toering yang tertinggal itu sepasang anak muda yang baru sepekan menikah. Tampaknya, Toering menjadi pernyataan romantis ganjil mereka untuk sebuah bulan (minggu) madu.
Sriwedari adalah situs terpenting bagi politik kebudayaan Pramoedya Ananta Toer. Pada kongres pertama Lekra di Sriwedari pada akhir Januari 1959, Pram berpidato dan selanjutnya dia berada dalam barisan sastrawan dan pekerja budaya progresif.
Setelah anggota lengkap 6 orang, kami menuju tujuan selanjutnya ke Karanganyar. Tujuan kami hanya 2, yaitu Pemakaman Umum Ngaliyan persemayaman Amir Sjarifoeddin atau meminjam istilah Rudolf Mrazek “pahlawan yang mungkin”, dan Astana Giribangun, yang menjadi kompleks pemakaman Soeharto yang digadang-gadang bakal dipahlawankan.

Permenungan ala Pramoedya Ananta Toer
Dari Karanganyar, kami memacu sepeda motor lebih ke utara. Menuju Ngawi mampir ke Museum Trinil, dan selanjutnya bermalam di rumah seorang kawan di Bojonegoro yang tak jauh dari tepian Bengawan Solo.
Kemudian, tepat pada hari seabad Mamuk (sapaan masa kecil Pramoedya Ananta Toer) dilahirkan, kami bertekad menuntaskan 87 kilometer tersisa, menuju Jipang, Cepu, dan tujuan utama: Kota Blora. Di etape akhir ini, kami tempuh perjalanan dengan membelah belantara jati yang mayoritas milik Perhutani.

Pembaca, kami tidak sekadar melancong. Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, kami melakoni “Permenungan dan Perjalanan”. Tentu, masing-masing anggota yang berjumlah 6 orang itu memiliki ketertarikannya sendiri. Masing-masing menginternalisasi pengalaman meletihkan dari satu persinggahan ke persinggahan lain, hingga ke halaman rumah dari mana hayat Pram bermula.
Permenungan dan perjalanan
Saya berangkat dari sisi utara Candi Prambanan berjarak 15 menit bersepeda motor santai. Motor matik putih dari perusahaan otomotif yang sama yang iklannya dimuat di lembaran koran yang diasuh Pramoedya Ananta Toer saya pacu melintas hamparan sawah yang terpotong oleh garapan jalan tol Jogja-Solo. Sepelemparan batu dari proyek itu terdapat Pasar Nasakom, sebuah situs bukti cairnya kondisi sosial-politik.

Maklum, daerah ini merupakan bekas areal perkebunan Kolonial. Bahkan, berdasar peta tahun 1903 keluaran perusahaan rel kereta di Jawa Tengah (Nederlands-Indische Spoorweg-Maatschappij), titik rumah saya berdiri merupakan bekas Pabrik Gula Prambonan.
Pembangunan jalan tol dan permukiman yang kian melesat berakibat tersunatnya areal persawahan Manisrenggo saban tahun. Keadaan semakin miris kala kerugian menerpa petani lantaran musim yang tidak bisa diprediksi—imbas krisis iklim.
Dulu, saat baru saja menjadi manusia komuter demi mengasah akal, setiap belokan kiri terakhir sebelum sampai ke rumah, ganda atau aroma tembakau yang khas menyeruak mengambil tempat gas monoksida yang panas terhirup hidung sepanjang Jalan Solo. Lima tahun terakhir ganda itu menghilang berganti pemandangan beton yang semuanya tipikal, hunian anyar warga mendekap peradaban.
Areal persawahan yang semakin sempit di tempat asal saya berbanding terbalik dengan kondisi di daerah Karanganyar, Sragen. Di sepanjang jalan yang cenderung sepi menuju Museum Trinil di Ngawi pandangan mata disuguhi “hamparan kilau keemasan” padi.
Tidak jarang saya beradu pandang dengan para petani yang sedang menimbang padi yang telah dibabat sebelum diangkut barisan truk-truk. Atau saat petani sedang merontokkan biji gabah di bahu jalan.
Ngawi yang kini berbeda
Betapa kagetnya saya. Betapa berbedanya apa yang saya saksikan di sepanjang Toering Karanganyar-Sragen dengan apa yang terjadi di desa saya. Saya hampir sudah tidak pernah melihat orang mengangkut padi dari sawah ke rumah dengan truk, melainkan kol. Volume hasil panen di kampung saya telah berkurang sangat drastis.
Belum selesai ketakjuban atas samudera padi di Sragen, saya menyaksikan Ngawi yang berbeda sama sekali. Ngawi, sebuah nama kawasan yang menjadi pembuka novel Umar Kayam yang masyhur, Para Priyayi, memaksa kepala saya mendongak saat melintas areal hutan jati. Dari Sragen ke Ngawi, dari padi ke jati.
Biasanya deretan pohon yang kayunya berharga mahal itu hanya saya pandang di balik kaca bus. Ternyata kayu itu tampak lebih kokoh dalam pandangan mata telanjang dan jarak yang lebih dekat saat bersepeda motor. Sepanjang 111 kilometer perjalanan dari Ngawi hingga Blora, saya hanya bisa takjub sembari bertanya kepada kawan yang memegang stang tentang pemanfaatan, perawatan, dan tetek bengek yang cukup efektif mengusir pantat yang panas.
Keinsafan
Pramoedya Ananta Toer(ing) sampai di rumah masa kecil Pramoedya tak lama setelah azan Zuhur berlalu. Rumah itu sangat sepi. Pintu besi tertutup rapat. Tampak 4 atau 5 ekor kambing berkeliaran di depan rumah.
Kami masuk. Setelah beramah-tamah dengan Bu Sus, istri Soesilo Toer, kami meminta izin mengenang Pramoedya Ananta Toer dengan cara menggelar Klub Baca Radio Buku.
Secara bergiliran, 6 orang anggota “Toering” membaca “Jang Sudah Hilang”, cerita pertama dalam kumpulan cerpen bertajuk Tjerita dari Blora. Sebuah cerita kenangan Mamuk kecil yang berlatar sama dengan tempat di mana kami membacanya kini. Terasa antara teks dan konteks tak berjarak. Selama 2 jam pembacaan, keduanya terlipat dan saling memeluk.

Sayang, kami hanya mendapatkan ekor dari pembukaan acara Festival Blora: Se-Abad Pram yang digelar di Rumah Dinas Bupati. Berbeda segalanya dengan di rumah Pramoedya Ananta Toer yang situasinya, meminjam judul cerita Pram yang lain, Sunjisenjap di Siang Hidup, di Rumah Dinas penuh manusia. Mantan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dan penulis muda Dhianita Kusuma Pertiwi baru saja selesai memberikan ceramah kebudayaan perihal Pram.
Termasuk, yang kami dapatkan adalah ekor cerita dari ditundanya pemancangan tiang “Jalan Pramoedya Ananta Toer”. Dari kabar yang berseliweran yang bisa ditangkap kuping yang sudah sangat lelah ini, ada penolakan keras dari Pemuda Pancasila dengan tembusan Kodim 0712, Yonif 410, Korem 073, hingga Kodam IV Diponegoro, dan pemangku kebijakan lain di Blora.
Artinya, surat digital yang berseliweran di media sosial sebelum rombongan Pramoedya Ananta Toer(ing) berangkat bukan gertak lada. Pihak penyelenggara Se-Abad Pram ternyata jirih dan memilih untuk menunda ketimbang ngotot dan ribut.
Pemuda Pancasila keberatan lantaran pemancangan jalan menggunakan nama seorang “radikal kiri”. Mereka tak peduli sekalipun si “radikal kiri” itu putra utama yang mengorbitkan nama Blora ke jagat kesusastraan.
Blora menolak Pramoedya Ananta Toer
Memang agak ngadi-ngadi Pemuda Pancasila ini. Si “radikal kiri” ini tampaknya hanya ada di tiang nama itu. Sementara, si “radikal kiri” ini boleh hadir dalam pameran seni rupa di Blora Creative Space; si “radikal kiri” ini boleh tampil dalam “dramatic reading” di SMPN 5 Blora yang dalam cerita-cerita Pramoedya Ananta Toer ditulis sekolah dasar Instituut Boedi Oetomo; dan si “radikal kiri” ini boleh tampil di Lapangan Kridosono dalam gebyar konser musik bertajuk “Anak Semua Bangsa”.
Toering ini kemudian insyaf, Pramoedya Ananta Toer yang dituding si “radikal kiri” tidak boleh mengaspal di jalan raya, sementara di luar aspal jalan boleh-boleh saja. Tindakan dari Pemuda Pancasila Blora dan simpul “kekuatan besar tak kasat mata” di belakang mereka makin meneguhkan apa Ruth Indiah Rahayu dalam “Dialog Kebudayaan: Indonesia yang Dibayangkan Pramoedya Ananta Toer” pada 7 Februari bahwa Pram senantiasa berada di antara garis kontradiksi. “Dialektis,” kata Remco Raben, guru besar Universitas Amsterdam, Belanda.
Pribadi besar yang dicintai sekaligus dibenci
Atau, dalam ungkapan Muhidin M. Dahlan di forum yang sama dengan Ruth dan Remco, Mamuk adalah pribadi besar yang selalu berada dalam perjumpaan 2 situasi: yang satu mengelu-elukan setinggi zenith, satunya lagi membencinya hingga ke titik nadir. Seperti Pemuda Pancasila di Februari 2025, seperti “massa rakjat” pada 13 Oktober 1965 dalam kliping yang ditik ulang dari koleksi perpustakaan Elsam Jakarta di bawah ini:
Rumah Pramudya digrebeg
“Djakarta, (Yudha) – Massa rakjat Ibukota jang sedang kerandjingan menumpas gerombolan kontra revolusioner “G. 30 S”. Rabu malam kemarin telah mendatangi rumah sastrawan Lekra terkenal, Pramudya Anantatur jang terletak di gang Rawamangun IV. Akibat serbuan massa rakjat ini seluruh isi rumah djuga genting dan djendela2 katjanja mendjadi hantjur. Massa rakjat dalam aksinja tersebut kemudian melakukan pula penggledahan2 dan berhasil menemukan. Biblliotik jang terdiri dari buku2 tebal berasal dari Musium Negara Djakarta.”
(Berita Yudha, Jumat 15 Oktober 1965)
Penulis: Putro Wasista Hadi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pramoedya Ananta Toer dan Soeharto: Blora yang Berjarak 115 Kilometer dari Astana Giribangun dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.