MOJOK.CO – Benarkah gudeg Jogja mulai tergusur oleh ayam geprek karena rasanya terlalu manis dan mahal? Tak lagi menjadi makanan murah dan merakyat?
Membaca Terminal Mojok itu hampir selalu bisa memberi saya perspektif baru. Maklum, banyak hal yang juga baru yang tayang di sana. Misalnya, terakhir saya menemukan bahwa ayam geprek adalah kuliner yang layak disebut “asli Jogja”. Kini melebihi Olive Chicken dan tentu saja, gudeg Jogja itu sendiri.
Penulisnya bernama Iqbal Tafqy Aunika. Tulisannya berjudul “Saya Lebih Merekomendasikan Wisatawan untuk Mencoba Ayam Geprek ketimbang Gudeg Saat Berkunjung ke Jogja.” Judul yang sangat panjang dan rada membuat saya agak gatal untuk membuat judul yang sama panjangnya.
Nah, Iqbal lebih merekomendasikan ayam geprek ketimbang gudeg Jogja karena beberapa alasan. Salah satunya adalah kuliner Jogja itu, kebanyakan, cenderung manis-gurih, bukan pedas-asin. Ini sudah menjadi pengetahuan yang umum dan kita semua bisa bersepakat.
Iya, saya sepakat dengan pendapat Iqbal. Apalagi gudeg Jogja memang mayoritas manis, terutama jenis yang kering. Kalau belum terbiasa menikmati varian kering, kamu bisa mengira ini baceman, bukan gudeg. Manisnya itu memang cenderung legit dan agak mengganggu kalau belum terbiasa atau sangat tidak suka makanan manis.
Nah, selain rasanya yang kelewat manis, sebetulnya Iqbal melewatkan satu bahasan penting dari gudeg Jogja. Yang saya maksud adalah banyak orang, bahkan asli Jogja, memandang kuliner ini bukan lagi kuliner rakyat. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena harganya yang bisa kelewat mahal.
Gudeg Jogja itu (seharusnya) tidak mahal
Banyak hal, kalau sudah tersentuh oleh “pesona wisata”, biasanya akan lebih mahal. Misalnya, parkir di Malioboro pasti lebih mahal ketimbang parkir di Mirota Kampus. Kalau kuliner, mendapat status sebagai “oleh-oleh” atau “kuliner khas”, harganya bisa melambung lebih tinggi.
Selain status, biasanya yang “sudah naik kelas” begini menggunakan bahan-bahan premium. Maklum, kuliner ini akan menjadi semacam wajah Jogja di mata dunia. Sungguh tak elok jika meninggalkan kesan dan rasa yang kurang oke.
Nah, untuk gudeg Jogja sendiri masuk ke dalam ranah itu. Merek-merek legendaris membuat gudeg ini menjadi kuliner wajib kalau kamu berkunjung ke Jogja dan sekitarnya. Mau gudeg legendaris yang berjejer di sebuah jalan bernama Wijilan, hingga yang buka selepas pukul 21:00 di trotoar jalan besar. Semuanya menggunakan bahan premium yang memang membuat rasa dan sensasi makan gudeg jadi berbeda.
Saya menggunakan kata “berbeda” di sana, bukan “mewah” atau “berkelas”. Ini karena kita bicara soal selera. Dan meski jadi mahal, bukan berarti semua orang lantas suka.
Misalnya begini. Gudeg Jogja dengan merek legendaris, biasanya, menyajikan gudeg dengan tambahan ayam suwir. Bukan sembarang ayam, tapi ayam kampung. Harga ayam kampung utuh dan masih hidup itu Rp95 ribu per kilo. Bandingkan dengan ayam broiler yang rata-rata cuma Rp32 ribu.
Beberapa merek legendaris bahkan tidak lagi menyajikannya secara “suwir”, tapi per potong. Ini tentu membuat harga seporsi gudeg Jogja jadi mahal. Ini belum kalau nambah telur, jeroan, kikil, hingga kondimen lain seperti sate usus. Nah, bagi saya, yang seperti itu, tidak sepenuhnya mewakili yang namanya “gudeg sebagai makanan rakyat”.
Baca halaman selanjutnya: Gudeg tidak seharusnya mahal, kalau….