MOJOK.CO – Tidak banyak yang menyadari bahwa, cuti bersama di Indonesia, sudah menjadi cemburu sosial secara kolektif di kalangan pekerja.
Belum banyak para pekerja yang menyadari bahwa, cuti bersama adalah grey area dalam dunia kerja di Indonesia. Area abu-abu yang kebijakannya pun tidak punya, atau setidaknya belum ada pakem pasti.
Sebab, mau kita anggap sebagai hak pekerja, tapi realitasnya, implementasinya tidak merata. Kalau kita menyebutnya sebagai wujud keberpihakan kepada kelas pekerja, tapi, cuti bersama bukan untuk semua kelas pekerja. Cuti bersama ini, pada derajat tertentu, menjadi salah satu kebijakan yang membingungkan.
Sebagian dari kalian mungkin akan berkomentar, “Ribet banget, cuti bersama aja diributin. Udah, yang penting kebagian libur.” Bukan itu poinnya, kawan.
Cuti bersama menjadi kecemburuan kolektif
Tidak banyak yang menyadari bahwa, cuti bersama di Indonesia, sudah menjadi cemburu sosial secara kolektif di kalangan pekerja. Betapa tidak, kesenjangannya jelas nyata. Tapi, banyak orang menganggapnya biasa, bahkan membiarkannya begitu saja. Kita, sebagai pekerja dipaksa menerima. Embel-embelnya adalah kebijakan (baik pemerintah, maupun perusahaan).
Selain itu, apakah kamu menyadari, saat cuti bersama, yang menikmati sebagian besar adalah para ASN? Mereka sudah pasti libur. Sementara itu, para pekerja di sektor swasta, akan mengikuti kebijakan perusahaan. Jika beruntung, akan ikut libur. Jika tidak, tetap bekerja seperti biasanya.
Dampaknya, untuk beberapa pengurusan dokumen atau hal lain yang mesti diurus ke banyak instansi negara, jadi sulit dan terhambat. Mereka mesti menunggu hari kerja berikutnya.
Belum lagi kendala lain seperti telat datang, saat istirahat mereka menghilang, dan cepat pulang. Intinya, pada titik tertentu, mau ngurus apa-apa malah jadi sulit.
Baca halaman selanjutnya: Bikin resah, tapi banyak yang tutup mata.