MOJOK.CO – Kecamatan Kandangan terkenal akan kopinya sebagai komoditas unggulan. Namun sayang, kecamatan ini seakan menjadi anak tiri Temanggung.
Kecamatan Kandangan di Temanggung memang terkenal akan komoditas unggulan berupa kopi. Kopi yang berasal dari berbagai desa yang ada di Kandangan ini boleh dibilang sudah mendunia. Tidak hanya itu, pemandangan alam di sini elok memanjakan mata.
Namun, di balik potensi alam dan komoditas unggulan itu, Kecamatan Kandangan menyimpan permasalahan yang sangat serius. Adalah pembangunan akses jalan yang tidak merata, yang saya maksud.
Memang, beberapa jalan desa di Kecamatan Kandangan sudah cukup bagus. Tapi, lain cerita kalau kita membicarakan Desa Rowoseneng dan Desa Tlogopucang. Saya merasakan langsung bagaimana 2 desa ini menjadi “anak tiri” pembangunan di wilayah Temanggung.
Melihat langsung penderitaan “anak tiri” Temanggung
Ceritanya begini. Minggu pagi setelah mengunjungi Pasar Papringan, saya langsung menuju Desa Rowoseneng. Kira-kira saya menempuh 13 kilometer.
Sesampainya di sana, persisnya jalan samping hutan pinus Sigrowong, aspak rusak langsung menyambut saya. Seingat saya, pada 2022 yang lalu saya pernah ikut acara pengabdian organisasi daerah. Lha kok ini di tahun 2025 ini, saya datang lagi ternyata kondisinya masih sama.
Kemudian saya berjalan di sepanjang jalan Rowoseneng menuju Tlogopucang. Ternyata, aspal rusak parah itu ada di mana-mana. Ketika melewati aspal rusak itu, muncul rasa kesal yang menyelimuti perjalanan ini.
Awalnya saya kira kondisi jalan di Rowoseneng itu sudah yang paling parah. Tapi, dugaan saya salah besar.
Begitu masuk ke Desa Tlogopucang, kondisinya jauh lebih memprihatinkan. Jalanan bagus nyaris tidak ada. Ngomong-ngomong, jalanan yang saya lewati ini bukan jalan alternatif atau jalan menuju perkebunan kopi ya. Ini adalag jalan utama. Jalan penghubung antar-desa di Kecamatan Kandangan, Temanggung.
Amarah warga di Kecamatan Kandangan
Sembari terus menggerutu, dari kejauhan saya melihat seorang nenek berjalan pelan karena kelelahan. Saya mendekati beliau dan menawarkan tumpangan.
Awalnya beliau menolak tawaran saya. Kata beliau, akses jalan menuju dusunnya itu sangat susah. Saya yang tidak tega melihat kondisi si nenek, agak memaksa memberi tumpangan. Dan akhirnya beliau bersedia. Batin saya, kayaknya semua jalan di Kecamatan Kandangan itu sulit dan rusak, deh.
Di atas sepeda motor terjadi sebuah percakapan. Beliau bilang mau pergi ke Ngoho. Ini adalah sebuah dusun yang ada di Desa Kemitir, Semarang. Lebih tepatnya perbatasan Temanggung dan Kabupaten Semarang.
Kami mengobrol cukup lama, membicarakan kondisi jalan yang memprihatinkan di wilayah Tlogopucang, Kecamatan Kandangan, Temanggung. Saya bisa merasakan emosi beliau ketika kami membahas topik ini. Kata beliau, jalan rusak di Tlogopucang ini sudah terjadi sejak lama.
Sembari ngobrol di atas motor, saya menyaksikan langsung di beberapa sudut jalan terlihat spanduk berisi protes. Begini bunyinya:
“DALANE BOSOK”
“PAJEK BAYAR, DALAN AMBYAR!”
“SELAMAT DATANG DI WISATA SERIBU LUBANG ABADI SELAMANYA”
“DIMANA ADA JALAN RUSAK DI SITU ADA GEROMBOLAN TIKUS YANG MERESAHKAN.”
Saya bisa merasakan amarah yang tidak terjawab dari spanduk-spanduk ini. Seakan-akan mereka adalah anak tiri Kecamatan Kandangan dan Temanggung. Anak tiri yang tidak layak mendapatkan kasih sayang dan perhatian.
Baca halaman selanjutnya: Sampai kapan warga akan ditinggalkan penguasa?