Memahami Logika Dahsyat Arief Poyuono Melawan Hasil Quick Count

arief poyuono

MOJOK.CO – Di saat semua orang mengagungkan hasil quick count yang memenangkan Jokowi-Ma’ruf, Arief Poyuono dengan berani melawan itu semua.

Usai Prabowo Subianto mendeklarasikan kemenangan, lalu adegan sujud syukurnya viral di mana-mana, banyak netizen (tentu saja yang terindikasi cebong) mengomentari adegan ini. Ada yang mengejek, mencibir, bahkan ketawa-ketawa jahat.

Padahal, netizen ini nggak tahu bahwa lembaga survei Prabowo sudah bekerja dengan sekuat tenaga dan sudah memiliki hasilnya sendiri. Kalau hasilnya berbeda dengan banyak lembaga quick count, ya bukan berarti bahwa hasil “real count” Prabowo ini salah dong.

Ingat, mayoritas itu belum tentu lebih benar, Kisanak! Ia lebih banyak yang sepakat memang betul, tapi kalau lebih benar ya belum tentu.

Dalam alam demokrasi, apalagi dengan model voting pemilihan umum begini, yang terpilih dan dianggap menang bukanlah yang lebih benar dan lebih baik, melainkan yang lebih banyak. Dan sampai hari ini—harus diakui—hanya kubu Prabowo-Sandi yang bisa melihat hal mencerahkan kayak begitu.

Hal yang selalu digaungkan oleh Arief Poyuono, Waketum Gerindra. Menurutnya, dengan penuh gegap gempita, Prabowo emang betulan menang menurut lembaga internal mereka.

“Kami punya data sendiri, kami punya saksi. Kami mengambil sampelnya itu 50 ribu TPS. Menang Prabowo,” katanya.

Pemikiran Arief ini memang jauh lebih maju dari kebanyakan orang. Ketika orang-orang melihat bahwa quick count tidak mungkin salah, Arief dengan gagah berani memberi tahu bahwa namanya ilmu pengetahuan ini masih ada probabilitas bisa salah bisa benar.

Orang-orang seolah lupa bahwa manusia itu tempatnya salah dan khilav. Dalam kapasitas ini, Arief justru sedang menunjukkan bahwa apapun ciptaan manusia, baik itu ilmu statistika maupun ilmu matematika, semua punya peluang kesalahan. Makanya ada istilah: margin of error.

Apalagi ilmu pengetahuan itu kan bagian dari produk budaya. Jadi tidak mungkin bebas nilai. Selalu ada saja jejak-jejak kekuasaan di sana. Arief Poyuono sebenarnya sedang memberi tahu masyarakat Indonesia makna dari kata-kata terkemuka Sir Francis Bacon, “knowledge is power.”

Sebuah pengetahuan pada dasarnya digunakan sebagai legitimasi kekuasaan satu pihak ke pihak lain. Dan dalam kasus ini, pengetahuan digunakan untuk menggerus kepercayaan publik kepada Prabowo-Sandi.

Kita bisa ambil contoh lain agar logika Arief Poyuono yang emejing ini bisa dimengerti.

Misalnya, standar modernitas yang dilekatkan ke suku badui pedalaman. Bagi standar pengetahuan yang kita miliki, kita seolah lebih punya legitimasi untuk menindas suku badui—misalnya—dengan menyebut mereka pakai istilah “belum terdidik”.

Lah, “belum terdidik” kan itu dari standar kita? Dari standar suku badui pedalaman, justru kita yang nggak terdidik karena nggak bisa menghargai alam—misalnya.

Bagi pengetahuan yang kita miliki, kita menilai suku pedalaman terbelakang, padahal bagi mereka justru kita yang lebih primitif karena gampang bermusuhan dengan tetangga cuma persoalan beda pilihan politik.

Hal-hal kayak begini yang tidak bisa dilihat publik dari sosok sekaliber Arief Poyuono. Betapa ilmu statistika yang dipakai oleh lembaga survei dalam quick count itu belum tentu benar karena sifat ilmu pengetahuan memang lebih sering dipakai untuk “menindas” kayak gitu.

Toh, pada kenyataannya, ilmu statistika quick count hari ini sedang dipakai untuk menindas ilmu nujum real count Prabowo-Sandi ya kan? Lalu menjelek-jelekkan perhitungan BPN, menganggap perhitungan BPN salah, dan sebagainya.

Padahal yang namanya ilmu pengetahuan selalu ada jalur alternatifnya. Ilmu kedokteran aja ada penyembuhan alternatif, masa ilmu statistika yang dipakai quick count nggak boleh ada?

Misalnya kalau quick count pakai angka-angka, ilmu tandingannya pakai ilmu keyakinan. Nah, ini nih yang namanya ilmu pengetahuan pembebasan.

Waw, luwar biyasa memang, ketika semua orang di Republik ini sudah terbuai dengan ilmu-ilmu buatan manusia sampai menghasilkan quick count yang memenangkan Jokowi-Ma’ruf, Arief Poyuono selalu mengingatkan bahwa perhitungan semacam itu jangan terlalu didewa-dewakan.

Tentu saja hal ini juga tidak menampik bahwa perhitungan lembaga survei internal BPN Prabowo-Sandi bisa salah juga sih.

Tapi, kalau sama-sama bisa benar dan bisa salah, kenapa hasil quick count yang memenangkan Jokowi-Ma’ruf saja yang lebih dianggap benar? Kan sama-sama bisa salah?

Apalagi secara menakjubkan, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini memberi tahu hitungan sederhana mengapa Prabowo bisa menang. Menurut Arief, dari lembaga tandingan internalnya Prabowo-Sandiaga menang di 22 provinsi.

“Nah ini fakta ya kalau Prabowo-Sandi menang di Pilpres 2019 di 22 provinsi. Jadi 22/34 = 64,7 persen, 12/34 = 35,3 persen,” urai Arief Poyuono.

“Ini hitung matematika kasar aja ya. Jadi lembaga survei jangan coba-coba giring opini dengan hasil quick count-nya,” katanya.

Hedeh, logika matematika sederhana kayak begini aja pada nggak paham. Ini namanya pembaharuan ilmu statistika berbasis pengalaman imajiner yang sudah terpercaya sejak periode Majapahit masih dalam bentuk kromosom.

Tidak berhenti sampai di sana, bahkan Arief menuding bahwa semua lembaga quick count yang memenangkan Jokowi-Ma’ruf itu lembaga bayaran.

“Loh (Jokowi-Ma’ruf) belum menang, Anda baru menang di quick count, itu pun versi lembaga bayaran. Yang menentukan menang-kalah siapa? KPU kan? Bukan lembaganya siapa yang bayaran itu kan?” kata Arief.

Meski hal ini sudah dibantah Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politica, namun kalau kita mau berpikir jernih ucapan Arief Poyuono ini memang benar adanya.

Ya iya dong, mana ada lembaga survei yang nggak bayarin karyawannya? Bijimana sih?

Kalau nggak bayar gaji karyawan dan pegawainya ya malah bakal jadi masalah besar. Ini gimana perusahan sebesar itu kok nggak bayar gaji orang-orang yang udah kerja buat mereka?

Memangnya mereka mau mempertaruhkan nama besar mereka hanya demi nggak bayar gaji karyawannya? Ya nggak mungkin dong.

Di sisi lain, tim survei “real count” BPN Prabowo-Sandi pun juga lembaga bayaran. Karena para relawannya (walau disebut bekerja dengan tulus ikhlas) mendapatkan kompensasi untuk berjuang mengawal jalannya Pemilu.

Kalau sampai nggak dibayar ya itu malah lebih jahat lagi. Udah susah-susah kerja malah nggak dibayar.

Tapi bukan itu poinnya. Poin yang ingin disasar Arief Poyuono adalah, kalau semua kubu sama-sama lembaga bayaran, kenapa repot-repot menampik? Kan emang betulan orang-orang yang bekerja di lembaga survei atau lembaga quick count itu dibayar? Ngakuin gitu aja susah amat sih.

Dari logika ini juga, maka hampir bisa dipastikan, semua yang terlibat dalam Pemilu 2019 itu lembaga bayaran.

Ya iya dong, masa Ketua KPU dan jajaran-jajarannya nggak dibayar gajinya sama negara? Masa iya petugas TPS nggak dapat komisi sebagai “ganti” keringatnya mengucur deras dalam menjalankan proses Pemilu ini cuma dibayar pakai; “suwun ya, Mas”?

Ucapan menakjubkan nan mencerahkan dari Arief ini agaknya mengingatkan kita kalau sedang menonton pertandingan sepak bola di televisi.

“Wah, wasitnya berat sebelah nih, pasti wasit bayaran nih.”

“Ya, iyalah. Pasti dibayar itu.”

“Nah kan, kamu setuju sama aku kalau wasitnya emang wasit bayaran.”

“Ya iyalah wasit bayaran. Dia kan emang kerja jadi wasit. Kalau nggak dibayar ya mana mau dia jadi wasit, setaaaan.”

Exit mobile version