Karena Tanya “Kapan Punya Anak?” Lebih Berbahaya daripada Tanya “Kapan Nikah?”

MOJOK.CO – Di antara semua pertanyaan basa-basi, “kapan punya anak” jadi pertanyaan yang tidak semua hasilnya ada di tangan manusia. Kalau usaha sih pasti, tapi kalau jadi anak? Ya belum tentu.

“Terus, kapan ini mau punya anak?” tanya seseorang bermaksud akrab.

Mendadak air muka teman saya yang jadi sasaran pertanyaan ini langsung berbeda. Garis wajah yang tadinya ceria dan ramah, seketika berubah. Masih ada senyum yang terselip di ujung bibirnya, tapi kelihatan benar kalau itu cuma senyum palsu.

“Doain aja ya. Belum dikasih,” kata teman saya.

Saya yang mendengar pertanyaan ini sedikit risih. Duduk sangat tidak nyaman. Mungkin kalau saat itu saya lagi kebelet boker, saya akan boker di tempat saking tidak nyamannya. Ya gimana ya, sebagai seorang ayah yang baru dikaruniai anak pada usia pernikahan kelima, saya rasa pertanyaan basa-basi paling menyesakkan yang keceplosan ditanyakan memang pertanyaan ini.

Maaf, bukan bermaksud sombong, di antara semua fase kehidupan yang penuh kepalsuan ini saya sudah pernah mengalami segala macam pertanyaan basa-basi kurang ajar seperti itu. Mau dari apa? Saya sudah pernah semua.

Kapan wisuda? Oh, saya malah kena dua kali—saat S1 dan S2. Kapan nikah? Hm, sepertinya ini adalah pertanyaan untuk semua umat manusia, jadi kita skip saja. Kalau ada yang belum, mungkin pertanyaan kapan pakai jilbab sih. Ya, maap, untuk yang satu ini saya masih belum ada rencana pakai jilbab.

Ada alasan khusus kenapa pertanyaan “kapan punya anak” sangat menyinggung perasaan bagi pasangan suami istri. Jika pertanyaan itu dialamatkan untuk pasangan yang usia pernikahannya baru satu atau dua tahun, barangkali kita masih bisa untuk mencoba husnuzan seperti, “Ah, memang cuma pertanyaan basa-basi.”

Akan tetapi jika pertanyaan itu dialamatkan untuk pasangan yang sudah lima sampai belasan tahun menikah, rasanya yang tanya ini tidak pernah mendapatkan pendidikan moral dan pancasila ketika duduk di bangku sekolah dulu.

Sebab, di antara semua pertanyaan basa-basi tersebut, “kapan punya anak” merupakan pertanyaan yang tidak semua usahanya bisa dilakukan oleh suami dengan istri. Kalau usaha sih pasti, tapi kalau jadi anak? Ya belum tentu. Soalnya, memang ada banyak faktor yang kadang tidak bisa dijelaskan secara pasti untuk urusan ini.

Jika kapan nikah, wisuda, atau—bahkan—jilbab sekalipun masih bisa diusahakan oleh manusia. Kalau nikah, ya paling nggak usaha nabung atau cari calon yang mau nikah, jika wisuda ya tinggal ikut kelas Tere Liye yang bisa bikin skripsi selama dua minggu, kalau jilbab ya sudah tinggal pakai saja di depan orang yang tanya terus dilepas lagi—beres urusan. Tapi kalau kehamilan atau punya anak? Itu merupakan sesuatu yang bisa diupayakan tapi hasilnya tak melulu berujung pada keberhasilan.

Saat ingat ketika ikut program kehamilan dan bertanya pada salah satu dokter spesialis kandungan. “Mas, dunia kedokteran itu cuma bisa mengupayakan sekitar 15-30% soal kehamilan. Selebihnya benar-benar urusan Tuhan,” kata dokter saya waktu itu.

Hal ini juga jadi jawaban, kenapa beberapa teman saya yang usia pernikahannya hampir mencapai dua digit tidak juga dikaruniai anak. Padahal usaha sudah dijabanin semua. Dari pengobatan alternatif pakai media absurd macam ayam item, sampai dunia kedokteran yang disuruh keluarin air mani pakai majalah dewasa untuk dites. Masalahnya, sudah seperti itu saja, ada saja orang brengsek yang mendadak bertanya “terus kapan nih mau punya anak?” Oalah, dasar dinamo Tamiya abad 19.

Jika pertanyaan itu menyasar ke suami, mungkin kesabaran masih bisa bermain. Ya maklum, pria memang cenderung mudah membawa perkara pelik macam gini jadi hal-hal yang biasa saja. Contohnya? Ya seperti saya, yang bikin tulisan kayak begini misal.

Akan tetapi jika pertanyaan ini ditanyakan ke perempuan. Wah, yakin sama saya. Kamu yang bertanya baru saja mencabik-cabik perasaannya. Meski di mulut perempuan yang ditanya cuma keluar kalimat, “Iya, doain aja.”

Istri saya sendiri sempat benar-benar menangis ketika mendapat pertanyaan macam ini (tentu saja setelah sampai rumah). Meski saya tahu betul bahwa pertanyaan itu cuma basa-basi, tapi melihat reaksi istri saya setelahnya, saya kemudian jadi paham bahwa pertanyaan ini benar-benar harus dihapuskan dari tradisi basa-basi di bumi Indonesia.

Bertanya “kapan punya anak” juga menghantam perasaan seseorang sebagai makhluk hidup yang bisa berkembang biak. Ya kali kamu bertanya soal kesuburan seseorang. Meski barangkali pertanyaan tersebut tidak mengarah sampai sedetail itu, namun bagi pihak yang ditanya akan bermunculan kebimbangan soal bagaimana mewarisi kehidupannya pada anak yang benar-benar didambakan bertahun-tahun.

Saya sendiri cukup beruntung setelah bertahun-tahun akhirnya dikarunia anak laki-laki—setelah melewati pertanyaan “kapan punya anak” berkali-kali tiada henti. Dari hal itu kemudian saya belajar, bahwa saya tidak akan menanyakan itu kepada teman atau kenalan yang sudah menikah. Bahkan untuk sekadar berniat baik karena ingin membantu sekalipun. Lebih baik jangan pernah memulai topik pembicaraan ini—kecuali memang kamu dimintai tolong untuk urusan ini.

Sebab, bertanya “kapan punya anak” sama seperti sedang menyentil hal yang tak bisa benar-benar diusahakan. Seperti kamu bertanya kepada orang yang—maaf—tidak punya kaki lalu dengan basa-basi kamu bertanya, “Wah, terus kapan ini rencana buat jalan sehatnya?”

Lah, kamu kira tidak punya kaki itu nggak sehat dan bikin nggak berhak bahagia?

Exit mobile version