Ejekan Rasialis ‘Monyet’ Menjadi Alat Perlawanan Minke-Minke Abad 21

MOJOK.COEjekan rasialis ke orang Papua malah jadi senjata makan tuan.

“Kami dipandang monyet. Dan monyet-monyet itu akan segera turun ke jalan.”

Buah pisang merupakan salah satu simbol ejekan rasialis paling universal. Tak perlu banyak kata-kata, tak perlu banyak argumentasi, cukup lemparkan satu buah pisang maka kamu sudah bisa melakukan ejekan rasialis paling sadis yang bisa kamu harapkan.

Itulah yang dilakukan suporter Villareal pada malam 27 April 2014. Melempar pisang ke arah Dani Alves di sudut lapangan Stadion El Madriga. Alih-alih mengamuk, Dani Alves terlihat santai, tidak ada respons yang diharapkan

Padahal silogisme dari lemparan pisang itu tak jauh-jauh dari ini: Dani Alves berkulit gelap, dia layak kalau makan pisang, karena pisang adalah makanan monyet.

Dani Alves tak mungkin tak paham. Si pelempar pisang memang sedang memancing emosinya. Merusak konsentrasinya. Kalau Dani Alves mengamuk karena merasa dilecehkan lalu sampai memboikot pertandingan, misi si pelempar pisang sukses besar.

Uniknya, Alves malah mendatangi buah pisang tersebut. Bukan, bukan untuk dilempar balik ke tribun penonton atau marah-marah. Dengan enteng Alves memakannya dengan lahap. Seolah mengejek balik si pelempar pisang, “Memang kenapa kalau saya doyan pisang? Pisang itu bagus untuk atlet seperti saya.”

Tak selang berapa lama, Alves langsung mengeksekusi tendangan sudut dan membantu kemenangan Barcelona atas Villareal dalam pertandingan tersebut. Semuanya berakhir dengan menggembirakan. Si tukang rasis mendapatkan kekalahan tim jagoannya. Hukuman bagi Villarreal pun datang dari Federasi Liga Spanyol.

“Menurutku, sikap negatif harus dibalas dengan sikap positif. Itu menciptakan perbedaan dibanding membalas (perilaku rasial) dengan cara lain,” kata Alves setelah aksi luar biasanya itu.

Perasaan dongkol suporter Vilarreal itu ternyata juga sedang mendera banyak warga Indonesia saat ini. Lima tahun sejak kejadian Dani Alves, kita sebagai orang Indonesia patut khawatir. Terlebih mereka yang punya sikap rasial terhadap saudara-saudara Papua.

Di tengah-tengah kepungan aparat keamanan, ormas, dan warga di Asrama Papua Surabaya pada Jumat (16/8), teriakan rasialis muncul menyakiti gendang telinga. Saat sudah menyerah, mahasiswa asal Papua digelanggang ke Mapolres Surabaya karena kasus yang tidak terkonfirmasi kebenarannya.

Hanya berdasarkan dari sebuah video yang tersebar melalui grup WhatsApp, sekelompok ormas mengepung asrama mahasiswa Papua Barat di Surabaya. Para mahasiswa di asrama tersebut dituduh melakukan pelecehan terhadap bendera merah putih pada Hari Kemerdekaan Indonesia.

Tidak main-main, selain dikepung ormas, 43 mahasiswa Papua di dalamnya juga ditembak gas air mata berkali-kali. Sampai kemudian puluhan mahasiswa Papua ini menyerahkan diri. Sebelum menyerahkan diri itulah kemudian terdengar kalimat menyakitkan dari arah massa.

“Anjing! Babi! Monyet! Keluar lu kalau berani! Hadapi kami di depan!” Itu belum ditambah lima mahasiswa yang terluka karena serangan aparat ke dalam asrama.

Meski akhirnya mahasiswa-mahasiswa Papua ini tak ditahan dan dikembalikan lagi ke asrama, tak pelak, respons ejekan rasialis itu menyebar ke mana-mana. Dan bukannya takut atau menyerah, beberapa aktivis Papua menggunakan ejekan ini sebagai senjata baru yang jauh lebih dahsyat.

“Kami dipandang monyet. Dan monyet-monyet itu akan segera turun ke jalan. Anda yang merasa harga diri hancur segera gabung.” Tentu dengan pesan provokatif selanjutnya, “Kita akan desak Indonesia tinggalkan kami.” Ini belum dengan poster lain seperti, “Bersatulah monyet-monyet, lawan bangsa manusia yang menjajah!”

Zen RS, dalam tulisannya “Melawan Rasialisme dengan Mimikri”, pernah memandang bahwa cara Dani Alves yang memakan pisang sebagai simbol ejekan rasialis di atas tadi merupakan wujud nyata konsep “mimikri” dari teoritikus poskolonialisme dari India, Homi K. Bhaba.

Pada kasus Alves, dia tidak tunduk dengan sematan simbol pisang sebagai makanan monyet. Alves cuek saja, dan memilih memakannya. Melakukan mimikri terhadap si pengejek, tapi sebenarnya sedang melakukan perlawanan.

Setali tiga uang, mimikri yang dilakukan aktivis Papua ini juga muncul dari penggunaan kata “monyet” yang mereka pakai sendiri. Digunakan dalam rangka konsolidasi massa, bahkan digunakan berkali-kali di poster-poster aksi.

Mereka menyesuaikan dengan stigma buruk yang dilekatkan secara semena-mena. Alih-alih menyerah dengan ejekan tersebut, ejekan “monyet” justru menjadi pesan yang punya daya kejut tak main-main.

Senjata yang “diberikan” oleh para tukang rasis itu mendapatkan balasannya pada Senin Pagi (19/08/2019). Kerusuhan muncul di Manokwari, Ibu Kota Provinsi Papua Barat. Kobaran api dan asap hitam menghias awan-awan perlawan warga Papua di atas Gedung DPRD Makowari. Sebuah reaksi kemarahan karena perilaku rasialis yang terjadi di Surabaya.

Apa yang dilakukan saudara-saudara Papua ini memang jauh lebih ekstrem ketimbang cara Dani Alves melawan suporter Villareal. Tapi semangat kedua tak jauh-jauh amat. Ketika Dani Alves tidak masalah memakan pisang yang dilemparkan kepadanya, di sisi yang sama aktivis Papua tak masalah pula mendapatkan senjata cuma-cuma dari para pengejeknya dengan kata “monyet”-nya.

Menjadi aneh tentu saja kalau ejekan rasialis ini muncul di negeri seperti Indonesia. Sebab, kalau melihat ke belakang, masyarakat yang mengejek seperti kita ini sebenarnya juga punya pengalaman yang sama traumatisnya dengan perilaku rasial—setidaknya hampir satu abad yang lalu.

Kita bisa berkaca pada wujud Tirto Adhi Soerjo, seorang pribumi Jawa tokoh pers nasional, yang digambarkan ke dalam karakter bernama “Minke” oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia.

Apa pengejek “monyet” ini tahu kalau nama Minke diambil dari kata “monkey” oleh Pram, karena orang-orang peranakan Eropa sering mengejek “monkey” kepada pribumi? Apa pengejek “monyet” ini tak tahu kalau hampir satu abad lalu nenek moyang kita juga pernah mendapatkan ejekan serupa?

Lalu oleh Pram, perlawanan ini dinarasikan dengan cara “mimikri” Homi K. Bhaba. Seolah tunduk pada stigma, padahal itu bagian dari cara melawan dengan sebaik-baiknya, dengan sehormat-hormatnya. Bahkan pihak yang dilawan pun tak sadar kalau sedang diejek balik. Sampai-sampai akhirnya menjadi embrio kemerdekaan Indonesia bertahun-tahun setelahnya.

Ironisnya, pengalaman traumatis tersebut malah digunakan kembali belakangan ini. Bukan untuk siapa-siapa, tapi digunakan untuk menyerang saudara sendiri. Sambil tetap harap-harap cemas, kalau saudara yang sudah diejek ini tetap mau jadi satu bangsa, meski sudah dikatai “monyet” sedemikian rupa oleh Minke-Minke Indonesia abad ke-21.

Exit mobile version