Ulama yang Gagal Mengubah Dunia

Ulama yang Gagal Mengubah Dunia

Ulama yang Gagal Mengubah Dunia

MOJOK.CO – Ada ulama yang ingin mengubah dunia, tapi cita-citanya gagal karena ada salah urutan prioritas di kepalanya.

Seorang kiai muda sowan ke kediaman Kiai Kholil. Si kiai muda curhat soal kekecewaannya terhadap dunia Islam. Menurutnya ulama sekarang tidak bisa diandalkan lagi. Yang benar-benar mau berjuang untuk kejayaan Islam pun semakin sedikit, menurut si kiai muda ini tentu saja.

“Ulama-ulama sekarang menyedihkan, Pak Kiai. Apalagi dengan kondisi Islam terpecah-pecah seperti sekarang, Islam tidak lagi dihormati, bahkan cenderung dijelek-jelekkan,” kata kiai muda.

Kiai Kholil cuma tersenyum kecil sembari menyuguhkan secangkir teh.

“Nggak usah terlalu membebani diri begitu, Kang. Seolah-olah semua persoalan dunia ini jadi tanggung jawab sampean,” kata Kiai Kholil.

“Bukan, saya bukan membebani diri. Ini karena sadar bahwa ada tanggung jawab saya di sana. Dan itu seharusnya jadi tanggung jawab panjenengan juga Pak Kiai,” kata si kiai muda.

Lagi-lagi Kiai Kholil tersenyum.

“Terima kasih, Kang,” kata Kiai Kholil.

Si kiai muda terkejut mendengar ucapan terima kasih itu.

“Lah, kok panjenengan malah bilang ‘terima kasih’? Ini saya mengkritik Pak Kiai lho,” kata si kiai muda.

“Ya iya terima kasih sudah mengingatkan saya. Kritik itu juga artinya sampean melihat saya punya potensi yang lebih ketimbang seharusnya,” kata Kiai Kholil.

“Maka dari itu, Pak Kiai. Sudah saatnya Kiai Kholil muncul ke kancah nasional. Nggak bisa cuma di sini-sini saja. Ulama seperti panjenengan tidak pantas cuma bertanggung jawab di kampung kecil begini. Pengaruh ulama kayak panjenengan harus lebih luas lagi,” kata si kiai muda.

“Memang apa salahnya jadi tukang ngajar ngaji di kampung pelosok begini, Kang? Mampunya saya kan cuma di sini-sini aja,” kata Kiai Kholil.

“Ya tidak salah sih, Pak Kiai. Tapi kan dengan kedalaman ilmu sampean, dan cara bertutur yang lembut begitu, seharusnya panjenengan bisa berkontribusi lebih luas,” kata si kiai muda.

“Kontribusi seperti apa maksud sampean, Kang?”

“Ya paling gampang ikut saya di komunitas ulama-ulama, Pak Kiai,” kata si kiai muda.

“Komunitas apa itu?” tanya Pak Kiai.

“Ya ini komunitas ulama yang disusun sama Pak Gubernur, untuk menjaring pengaruh-pengaruh liberal asing dan aseng. Biar umat bisa terfilter dari ulama gagal yang selama ini bebas berkeliaran menyebarkan ajaran sesat ke masyarakat. Ulama model begini juga suka membiarkan kemaksiatan merajarela di mana-mana, makanya Pak Gubernur perlu melawan. Hal-hal seperti ini nggak bisa dibiarkan, Pak Kiai,” kata si kiai muda.

Kiai Kholil hampir saja mau tertawa, tapi untung sanggup ditahan sebelum suara tawa itu sempat keluar.

“Kang, sepertinya saya adalah ulama gagal itu. Jadi percuma sampean ngajak saja ikut komunitas itu,” kata si kiai muda.

“Saya nggak pernah sebut panjenengan termasuk ulama gagal itu, Pak Kiai. Maka dari itu, saya bela-belain datang kemari, khusus untuk Kiai Kholil, karena ini titah Pak Gubernur. Beliau sepertinya paham dengan potensi Kiai Kholil, makanya tertarik untuk merekrut Pak Kiai untuk jadi salah satu timnya,” kata si kiai muda.

“Kalau saya menolak?” tanya Kiai Kholil.

“Ya sudah pasti Pak Gubernur bakal kecewa, dan karier Kiai Kholil ke depan saya nggak bisa jamin,” kata si kiai muda.

“Karier? Karier yang mana, Kang? Kiai kampung begini kok mikirin karier,” kata Kiai Kholil sambil terkekeh.

“Ya bisa jadi bantuan-bantuan dari pemerintahan provinsi untuk pesantren Pak Kiai nggak jadi, kan bisa aja, Pak Kiai?” ancam si kiai muda.

Kali ini Kiai Kholil terkekeh betulan. Si kiai muda tak mengerti, apa yang membuat Kiai Kholil tertawa.

“Saya ada cerita sedikit. Sampean mau dengar tidak?” tanya Kiai Kholil sebentar.

“Boleh, cerita apa Pak Kiai?” tanya si kiai muda.

“Dulu sekali, ada seorang ulama besar sepuh yang mau meninggal dunia menangis di hadapan keluarganya,” kata Kiai Kholil.

Si kiai muda menyimak, sambil mengambil secangkir teh dan menyeruputnya pelan-pelan.

“Ulama besar itu menangis karena menyesal. Sewaktu masih muda, si ulama ingin mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Dan ia gagal di sana. Maka ia turunkan targetnya, ia mau mengubah bangsanya menjadi lebih baik. Dan ternyata… gagal lagi. Sadar tidak sanggup mengubah bangsanya, ia turunkan lagi sasarannya, mau mengubah sukunya jadi lebih baik. Gagal lagi. Sampai hampir lanjut usia, si ulama akhirnya turunkan lagi targetnya, ia ingin memperbaiki keluarganya yang sudah ia tinggalkan untuk cita-cita mulianya waktu muda.”

Si kiai muda mendengarkan dengan seksama. Kiai Kholil melanjutkan.

“Akhirnya, ketika sampai di pembaringan terakhir, si ulama berucap, ‘Seandainya dulu saya memulai dengan memperbaiki diri saya sendiri, boleh jadi setelah saya berubah, saya bisa memperbaiki keluarga saya, suku saya, bangsa saya, dan ikut memperbaiki dunia.’”

Si kiai muda terdiam.

“Kang, cita-cita sampean itu, saya yakin, pasti mulia sekali maksudnya. Tapi saya percaya bahwa kalau kita tidak bisa menyebarkan kebaikan secara aktif, paling tidak kita bisa menyampaikan kebaikan secara pasif,” kata Kiai Kholil.

“Kebaikan pasif? Memang ada ya begituan? Apaan itu, Pak Kiai?” tanya si kiai muda.

“Kalau tak bisa memberi kebaikan untuk orang lain, jangan halangi orang lain menyampaikan kebaikan. Kalau Anda tidak bisa memuji, paling tidak jangan lah memaki. Kalau Anda tidak bisa membantu, jangan menjerumuskan orang. Dan kalau Anda tidak bisa bertahan merawat masyarakat suatu kampung, jangan halangi seorang guru ngaji untuk bertahan di sana,” kata Kiai Kholil.

Si kiai muda tertegun. Entah kenapa tegukan teh panas tadi jadi terasa sulit untuk ditelan.


*) Diolah dari nasihat Habib Muhammad Quraish Shihab.

Exit mobile version