Terpilih Jadi Lurah Malah Bikin Syukuran

MOJOK.CO – Didapuk jadi Pak Lurah malah bikin syukuran. Ini maksudnya apa? Syukuran karena bakal dapat duit dan tanggung jawabnya bisa dipikir belakangan ya?

Acara syukuran atas terpilihnya Pak Lurah untuk ketiga kalinya berturut-turut tiba-tiba berubah tegang situasinya. Gara-garanya Gus Mut yang sedianya diundang untuk memimpin doa bersama tak kelihatan batang hidungnya.

Para undangan tentu saja bingung satu sama lain. Memangnya undangan ke Gus Mut tidak sampai?

“Mas Fanshuri, ini kok Gus Mut nggak datang-datang, ada apa ya?” tanya Pak Lurah.

“Wah, kurang tahu Pak Lurah. Tapi undangannya udah dikirim ke beliau kan?” tanya Fanshuri.

“Ya sudah dong. Kan udah lebih dari seminggu Gus Mut saya kasih undangan,” kata Pak Lurah.

“Oh, panjengan sendiri yang sowan ke Gus Mut ya, Pak?” tanya Fanshuri.

“Ya bukan saya dong. Saya ini kan sibuk. Saya pasrahkan ke asisten saya. Katanya udah diserahkan,” kata Pak Lurah.

“Diserahkan langsung ke Gus Mut?” tanya Fanshuri.

“Ya nggak juga, kata asisten saya waktu datang Gus Mut nggak ada di rumah, jadi diletakkan saja di meja teras rumahnya. Ya kan nggak mungkin Gus Mut nggak tahu. Masa ya ada orang iseng mau ambil surat undangan kayak gitu,” kata Pak Lurah.

“Oalah,” respons Fanshuri.

“Mas, sampeyan bisa jemput Gus Mut nggak? Mumpung acara syukurannya belum mulai ini. Bisa-bisa nggak ada yang doain saya ini,” kata Pak Lurah.

Fanshuri pun undur diri sejenak untuk menjemput Gus Mut. “Wah, Gus Mut ini kelewatan. Masa undangan khusus dari Pak Lurah begini sampai kelupaan,” gerutu Fanshuri sambil menuju sepeda motornya.

Begitu Fanshuri datang ke kediaman Gus Mut, terlihat Gus Mut sedang memimpin ngaji kitab di teras rumahnya. Cuma beberapa santri saja memang, tapi Fanshuri tak enak hati kalau nyerobot langsung. Fanshuri pun cuma bisa menunggu agak lama di depan rumah, berharap ngaji kitab Gus Mut segera selesai.

Berkali-kali Fanshuri coba melengok agar wajahnya diketahui, tapi sepertinya Gus Mut memang sedang konsentrasi penuh mengajar jadi tidak melihat kedatangan Fanshuri.

Usai menunggu sekitar setengah jam, ngaji kitab selesai. Sepanjang itu pula berkali-kali hape Fanshuri terus berdering. Pak Lurah terus menanyakan kepastian Gus Mut bisa datang atau tidak.

“Ya sudah, Mas, kalau Gus Mut nggak bisa datang, kita ganti aja yang mimpin doa. Kayak kiai di Kelurahan ini cuma dia doang aja sih. Nggak ada yang lain apa,” ujar Pak Lurah di ujung telepon dengan nada emosi.

“Ya udah, kalau gitu, Pak Lurah. Maaf ya, Pak,” kata Fanshuri.

“Bilangin sama Gus Mut. Nggak usah sombong gitu, diundang datang syukuran kemenangan Pak Lurahnya kok nggak mau datang,” kata Pak Lurah lagi.

Fanshuri cuma bisa menelan ludah disemprot dari ujung telepon begitu. “Waduh, mampus nih saya,” kata Fanshuri.

Begitu santri-santri Gus Mut sudah keluar, Fanshuri langsung nyelonong masuk begitu saja sambil geleng-geleng kepala. Air mukanya sudah jelek betul. Benar-benar pusing.

“Eh, Fanshuri. Ada apa ini, Fan?” kata Gus Mut sambil membereskan kitab yang tadi dipakai ngaji.

“Oalah, Gus, Gus, sampeyan ini gimana to. Pak Lurah udah nungguin sampeyan lho. Sampai marah-marah beliaunya. Sampeyan kan harusnya datang, sampeyan dapat undangan ke rumahnya Pak Lurah,” kata Fanshuri.

“Ya aku kebetulan nggak bisa, Fan. Kan tadi kamu tahu, jadwal di undangan itu kebetulan pas banget sama jadwal ngajarku,” kata Gus Mut santai.

“Ngajar yang mana? Ngajar yang tadi itu, Gus, maksudnya? Cuma beberapa santri gitu kok ngalah-ngalahin undangannya Pak Lurah, wah Gus Mut ini gimana sih?” tanya Fanshuri.

“Eh, jangan salah, mereka itu santri-santriku yang paling pinter. Paling jauh-jauh rumahnya. Makanya aku kasih ekslusif ngajinya. Datang ke rumah. Yah, sebut saja kelas istimewa lah,” kata Gus Mut.

Fanshuri garuk-garuk kepala.

“Gus Mut ini gimana sih, masa ngajar ngaji kitab gitu doang kalah sama acara undangan syukurannya Pak Lurah. Beliau ini bikin syukuran gede-gedean lho, Gus. Banyak orang penting datang. Dan kalau sampayean juga dapat undangan khusus, berarti sampeyan ini dianggap Pak Lurah orang penting juga,” ujar Fanshuri coba menjelaskan.

Gus Mut tidak membalas apa-apa, masih sibuk membereskan meja ngajinya begitu saja.

“Apa Gus Mut nggak takut kalau Pak Lurah marah sama sampeyan, terus waktu sampeyan bikin apa-apa jadi dipersulit,” kata Fanshuri.

“Sama Pak Lurah aja takut,” kata Gus Mut.

“Aduh, Gus Mut ini memang susah orangnya,” kata Fanshuri.

“Gini, Fan,” kata Gus Mut sambil duduk mendekati Fanshuri, “kalau misal—ini misalnya—kamu kupasrahi merawat santri-santriku, kira-kira kamu mau nggak?”

“Pasrahi gimana maksudnya?” tanya Fanshuri.

“Ya ngajarin mereka ngaji tiap tiga kali dalam seminggu. Ngerawat mereka. Kalau ada apa-apa lapor sama orang tuanya,” kata Gus Mut.

“Ya nggak mau lah,” kata Fanshuri.

“Kok nggak mau?” tanya Gus Mut.

“Berat, Gus. Tugas berat itu. Aku kan nggak sejago Gus Mut ngajinya. Ya bisa sih dikit-dikit, tapi kayaknya saya ini belum layak kalau disuruh ngajarin ngaji gitu,” kata Fanshuri.

“Lho kenapa nggak mau? Kan santriku tadi itu nggak banyak, Fan. Kamu tadi sendiri yang bilang, cuma segitu doang kok. Masa nggak mampu?” tanya Gus Mut.

“Berat, Gus, duitnya kecil lagi,” kata Fashuri sambil tersenyum.

“Kamu itu lho, baru diserahin beberapa orang santriku aja udah ngeluh berat. Apa kamu nggak ngerasain betapa beratnya pikiran Pak Lurah kalau dipasrahi ribuan sampai ratusan ribu kali lipat dari jumlah santriku tadi?” kata Gus Mut.

“Maksudnya, Gus?” tanya Fanshuri.

“Ya iya dong, aku aja dapat beban disuruh mengurus santri sedikit itu aja benar-benar khawatir gimana nanti pertanggungjawabanku di hadapan Allah. Gimana kalau selama aku ngajar ini ada santriku yang nggak terima, gimana kalau ada santriku yang tersinggung, terus melaporkanku ke Gusti Allah? Ya kan serem. Sekarang gimana coba stresnya Pak Lurah?” kata Gus Mut.

“Nah, makanya itu, Gus, Pak Lurah mengundang sampeyan biar beliau bisa ikut mendoakan beliau agar selama periode jabatan ke depan beliau bisa memenuhi amanah itu dengan baik,” kata Fanshuri.

“Di situlah masalahnya, Fan,” kata Gus Mut.

“Masalah gimana, Gus?” tanya Fanshuri.

“Kalau aku diundang dalam acara tasyakuran itu, kalaupun aku bisa, ya aku nggak akan mau datang lah. Orang diserahi amanah sebegitu gede malah bikin acara syukuran. Ini maksudnya apa? Orang dapat amanah itu pusing, Fan. Mumet. Khawatir. Kayak kamu yang nggak mau kupasrahi santri-santriku tadi. Ini malah seneng,” kata Gus Mut.

“Ya beda dong, Gus. Wong hasil dari jadi Kepala Lurah kan gede duitnya, kalau ngajar ngaji kan dikit,” kata Fanshuri.

“Nah itu, artinya orang yang mikirin tanggung jawabnya pasti pusing, tapi kalau pikirannya udah duit ya nggak jadi pusing. Tapi malah seneng, malah rebutan, sampai nggak mikir sama sekali nanti tanggung jawabnya gimana,” kata Gus Mut.

“Ya nggak mungkin dong Pak Lurah nggak mikirin tanggung jawabnya sama sekali, Gus. Ini udah tiga periode berturut-turut beliau jadi lurah lho, Gus,” kata Fanshuri.

“Oh, kalau itu mah udah kelihatan Fan, gimana Pak Lurah nggak peduli,” kata Gus Mut.

“Emang dari mana Gus Mut tahu?” tanya Fanshuri.

“Ya dari nama acaranya,” kata Gus Mut.

“Lha ya bener dong, ini kan syukuran, ya jelas nama acaranya tasyakuran. Lha emang harusnya apa, Gus?”

Gus Mut berdiri, seperti akan beranjak masuk ke dalam rumah.

“Istighotsah, Fan, harusnya.”

Exit mobile version