Semudah Itu kah Seorang Muslim Kamu Bilang Murtad?

MOJOK.CO – Kan tidak bisa seorang muslim yang mencuri motor atau melakukan zina langsung dicap murtad? Dosa sih iya, lah kalau murtad? Memang situ siapa?

Dengan terpogoh-pogoh Mas Is mendatangi kediaman Gus Mut. Ada sebuah kabar yang sepertinya ingin segera disampaikan.

“Gus, gawat, Gus, ini ada pemurtadan massal di Gereja Jalan Kota,” kata Mas Is buru-buru.

Gus Mut yang sedang diajak bicara masih memberi makan ikan di kolam samping rumah. Masih memakai sarung dan kaos singlet, tentu Gus Mut agak kaget dengan informasi dari Mas Is.

“Ini, Gus, udah nyebar ini infonya,” kata Gus Mut menunjukkan layar hapenya.

Gus Mut melihat sebuah percakapan di whatsapp grup, lalu bola matanya tertarik pada sebuah kepceran foto portal berita di sana. Disebutkan ada sekelompok mahasiswi berjilbab yang memasuki gereja sambil membawa lilin lalu ada kalimat provokatif: “Masya Allah, terjadi murtad massal oleh beberapa mahasiswi di Gereja Jalan Kota.”

Gus Mut cuma tersenyum sejenak, lalu bertanya, “Kepceran ini dapat dari mana?”

“Dari sepupu saya, Gus. Kenapa emang?” tanya balik Mas Is.

“Oh, nggak apa-apa.” Gus Mut melengos aja sambil tetap memberi makan ikan.

“Terus apa yang kita lakukan Gus kalau keadaannya seperti ini?” tanya Mas Is.

Gus Mut masih heran Mas Is mengejarnya terus.

“Emang baiknya aku harus gimana, Mas?” tanya Gus Mut.

“Ya gimana kek, datangin gerejanya kek, atau kumpul bareng barisan umat Islam yang lain untuk bikin konsolidasi kek,” kata Mas Is geregetan.

“Buat apa?” tanya Gus Mut.

“Ya biar… ya kan nggak bisa dong Gus kalau umat muslim dimurtadkan satu demi satu begini. Lama-lama umat Islam pada murtad semua dong,” kata Mas Is.

“Ah, kata siapa?” tanya Gus Mut santai.

“Sekarang mungkin Gus Mut bisa meremehkan gerakan kayak begini, tapi kalau hal begini dikasih napas, lama-lama bisa berkembang sampai ke keluarga kita. Iman masyarakat kita bisa tergerus nih lama-lama,” kata Mas Is.

Gus Mut terkekeh.

“Berarti memang yang takut murtad itu sebenarnya imannya belum kuat aja. Atau jangan-jangan memang nggak punya iman, atau malah cuma karena selama ini takut ketahuan kalau nggak punya iman?” kata Gus Mut.

Mas Is diam sejenak. Mencoba mencerna.

“Maksudnya, Gus?” tanya Mas Is.

“Sekarang begini aja. Misalnya aku turutin semua keinginanmu, aku datangin gereja, aku kumpulin semua teman-teman, terus mau gimana? Mau maksa orang-orang yang kamu tuduh murtad tadi masuk Islam lagi?” tanya Gus Mut.

Mas Is terdiam sejenak.

“Memang yang pegang hidayah itu aku? Aku kasih kayak aku kasih Chiki gitu?” tanya Gus Mut.

“Ya paling nggak kan Gus Mut bisa menegur pihak gereja. Nggak usah provokatif begitu lah kalau bikin acara. Apalagi kalau memang udah mau masuk agama mereka ya nggak usah pakai jilbab lah kalau begitu. Itu kan memancing pertikaian namanya,” kata Mas Is.

“Mas Is, begini. Yang bisa dipancing itu ya yang akalnya selalu kalah sama nafsunya. Contohnya ikan-ikan ini,” kata Gus Mut sambil menunjuk kolamnya, “Tuh lihat, kalau ikan ini udah kenyang, udah aku kasih makan seharian, pasti susah kalau mau dipancing orang. Tapi kalau masih ada ikan yang seharian kenyang lha kok masih aja kena pancing, berarti apa artinya? Ya ikan itu tamak, nafsunya melebihi kapasitas otaknya. Celaka lah ia, hidup berakhir jadi pepes.”

Mas Is masih terdiam, antara paham dan tidak.

“Tapi masa kita nggak merespons apa-apa, Gus, sama kejadian kayak begini?” tanya Mas Is lagi.

“Siapa bilang aku nggak merespons. Aku kan ngajar ngaji anak-anak kampung sini. Ngajar anakmu juga. Ngajar keponakannya Fanshuri, tetanggamu juga. Mungkin bagi beberapa orang, membela agama itu harus turun ke jalan, tapi justru yang dekat-dekat lah yang prioritasnya harus diberesin dulu. Keluarga dulu, tetangga dulu. Meski begitu, buat yang bela agama turun di jalan itu, bisa jadi sih udah hebat semua, udah bisa membereskan agamanya sendiri dan lingkungan di tempat tinggalnya. Kalau aku sih ya belum mampu,” kata Gus Mut.

“Tapi kan ini murtad, Gus. Bahaya lho, Gus,” Mas Is masih berusaha membujuk Gus Mut agar bertindak.

“Sekarang aku tanya. Kok kamu berani benar sebut mahasiswi itu murtad semua? Memang definisimu murtad itu apa?”

“Ya keluar dari Islam, Gus.”

“Ya keluar dari Islam itu yang bagaimana?” tanya Gus Mut.

Mas Is tidak menjawab.

“Sekarang aku tanya, kalau ada orang muslim curi motor itu murtad nggak?”

Mas Is menggeleng.

“Kalau ada muslim berbuat zina, itu murtad nggak?”

Mas Is menggeleng.

“Nah, kalau ada seorang muslim ia LGBT, itu murtad nggak?”

“Wah, kalau itu murtad, Gus,” jawab Mas Is cepat.

Gus Mut terkekeh. “Tahu dari mana kamu? Kan KTP-nya masih Islam,” kata Gus Mut.

“Tapi kan mereka pernah dilaknat, Gus. Sama kayak umatnya Nabi Luth,” jawab Mas Is.

“Mereka semua memang berbuat dosa dalam keyakinan seorang muslim. Bahkan yang LGBT. Tapi kalau murtad, ya nggak ada yang tahu kecuali Allah. Sama seperti seseorang bisa jadi mualaf dalam kesunyian, seorang muslim juga bisa jadi murtad dalam kesunyian. Tanpa orang lain tahu. Dan karena nggak ada orang yang tahu, nggak berhak orang kasih tahu itu,” kata Gus Mut.

Mas Is bergeming.

“Iman itu kepercayaan. Dan kepercayaan itu lahir dari pengalaman. Sebagaimana pengalaman orang beda-beda, kepercayaan orang juga beda-beda. Bahkan yang satu agama. Ada yang lebih percaya Allah itu Maha Pemurah, ada yang lebih percaya Allah itu Maha Besar, ada yang percaya Allah itu Maha Pengasih, dan yang percaya yang lain-lain juga. Kalau semuanya kamu seragamkan, ya itu bukan iman lagi namanya. Kalau nggak sesuai sama standar pengalamanmu kamu anggap nggak iman, murtad, dan lain sebagainya. Ya itu mah bukan iman…”

“Lah terus namanya apa, Gus?” tanya Mas Is.

“Itu namanya kalkulasi. Dan itu yang buatannya manusia,” jawab Gus Mut sambil melemparkan pakan ikan ke kolam.


*) Disarikan dari ceramah Gus Baha’ dan pernyataan Sudjiwo Tedjo

Exit mobile version