Saat Kiai Kholil Sentil Bupati soal Urusan Pribadi Pakai Fasilitas Negara

Warga kampung geger bukan main karena ada desas-desus Kiai Kholil bikin marah Pak Bupati. Kemarahan ini terjadi karena Kiai Kholil terlambat hadir dalam acara pernikahan putri Pak Bupati. Padahal Kiai Kholil didapuk sebagai pengisi doa sekaligus pengisi maidhoh hasanah. Sudah barang tentu acara ijab qobul jadi kelabakan karena Kiai Kholil datang terlambat.

Sebenarnya, bukan perkara keterlambatan yang bikin Pak Bupati marah luar biasa, melainkan karena sikap keras kepala Kiai Kholil yang bikin acara harus mundur untuk sementara waktu. Hal yang masih belum jelas dalam gosip di antara warga kampung. Ada masalah apa sebenarnya kok sampai Kiai Kholil terlambat datang dan bikin acara sesakral itu hampir batal?

Kabar ini segera bikin warga kampung jadi khawatir. Apalagi Kiai Kholil dikenal santun, tapi mendadak bikin perkara sama orang paling berkuasa di daerah tersebut. Fanshuri, salah satu warga, ikut penasaran setengah mati mengenai persoalan ini. Oleh sebab itu dia ingin tahu dengan mengunjungi Gus Mut, putra Kiai Kholil.

Kenapa tidak ke Kiai Kholil langsung? Ya tentu saja karena Fanshuri tidak berani. Kalau tanya-tanya ke Gus Mut kan bisa santai. Begitu pikir Fanshuri.

“Sebenarnya ada apa sih Gus? Kok sampai geger begitu? Pak Bupati sampai marah betulan lho katanya,” kata Fanshuri ke Gus Mut di teras rumah.

“Ya seharusnya Pak Bupati sadar dulu mengenai kesalahan yang diperbuatnya sebelum merasa berhak marah-marah ke Abah begitu, Fan,” jelas Gus Mut.

“Memangnya Pak Bupati bikin kesalahan apa sampai Kiai Kholil jadi begitu?” tanya Fanshuri.

“Kan kamu tahu, kalau acara pernikahan putrinya Pak Bupati itu Abah memang rencananya akan dijemput. Dan karena dijemput, seharusnya letak kesalahannya bukan pada Abah to? Ya kan?” kata Gus Mut.

“Oh, jadi penjemputnya itu yang telat ya?” tanya Fanshuri.

“Nggak kok. Supir yang jemput tepat waktu,” kata Gus Mut.

“Lah kok bisa telat kalau gitu?”

“Ya karena Abah lihat ada sesuatu yang nggak beres,” jelas Gus Mut.

Fanshuri semakin penasaran. Apa yang dimaksud sesuatu yang nggak beres itu?

“Saat mau naik mobil, Abah lihat plat mobil yang digunakan untuk menjemputnya ternyata mobil plat merah. Mobil dinas. Dengan segera Abah mendadak nggak mau naik mobil tersebut,” kata Gus Mut.

Fanshuri terkejut mendengarnya. “Oh, jadi ini perkara mobil dinas to, Gus?”

“Iya. Cuma perkara warna plat saja. Kan kamu tahu sendiri, Fan, Abah itu paling hati-hati kalau soal perkara-perkara semacam itu. Bagi Abah, mobil yang dibiayai negara seperti itu nggak boleh digunakan untuk urusan pribadi seperti untuk kegiatan pernikahan putri sendiri. Sekali pun itu putrinya Bupati,” jelas Gus Mut.

Fanshuri terdiam, lalu memilih bersandar sejenak.

“Tapi apa Kiai Kholil nggak mempertimbangkan bahwa kalau beliau bisa saja bikin acara ijab qobul dua mempelai jadi kacau kan, Gus?” tanya Fanshuri.

“Sebenarnya sih Abah itu sempat mau membatalkan. Milih nggak jadi hadir lho, Fan,” terang Gus Mut.

Fanshuri tercekat mendengarnya.

“Wah, ngeri dong. Bisa masalah besar sekali kalau sampai Kiai Kholil membatalkan undangan mendadak dari Pak Bupati seperti itu,” kata Fanshuri.

“Makanya itu, Pak Bupati bahkan sampai telepon sendiri ke Abah karena mendapat laporan dari sopirnya. Pak Bupati sih bilang dan menyadari bahwa dia keliru memakai mobil plat merah buat jemput Abah, tapi karena keadaan sudah mendesak dan waktunya mepet, dia meminta Abah bisa maklum,” kata Gus Mut.

“Terus Kiai Kholil bisa maklumi, Gus?” tanya Fanshuri.

“Jelas tidak,” jawab Gus Mut. Kali ini sambil terkekeh bangga dengan abahnya.

“Kiai Kholil cuma mau berangkat kalau dijemput dengan mobil lain. Dan proses negosisasi itu alot sekali. Pak Bupati merasa waktu sudah mepet, kalau mengirim mobil lain bakalan membuang waktu, sedangkan Abah sama sekali tidak mau naik mobil plat merah itu,” kata Gus Mut.

“Wah, kok ruwet sekali begitu ya?” kata Fanshuri sambil ikut terkekeh.

“Akhirnya Pak Bupati yang ngalah dan mengirim mobil lain. Sampai itu sih Pak Bupati belum marah betulan ke Abah sebenarnya. Ada hal lain lagi yang kemudian bikin marah,” kata Gus Mut.

“Wah, seru itu. Emang kenapa lagi, Gus?” tanya Fanshuri makin penasaran.

“Saat mengisi ceramah, Abah membahas kisah soal Umar bin Abdul Aziz ketika menjadi Khalifah. Nah, dari cerita itulah Pak Bupati merasa tersindir luar biasa sampai akhirnya jadi desas-desus kalau Pak Bupati marah sama Abah,” kata Gus Mut.

“Memang kisah yang mana, Gus?” tanya Fanshuri.

“Itu lho, kisah ketika Khalifah Umar sedang bekerja di ruangannya lalu mendadak ada seseorang mengetuk dari luar pintu,” kata Gus Mut.

Fanshuri terdiam lalu menggeleng. “Aku nggak tahu Gus cerita yang itu. Ceritakan, Gus,” pinta Fanshuri.

Gus Mut lalu bercerita, bahwa ketika Khalifah Umar mengurus adiministrasi urusan negara di kamarnya, mendadak ada tamu yang mengetuk.

“Siapa ya?” tanya Khalilfah Umar.

“Saya, putramu,” jawab suara dari luar ruangan.

“Ada urusan apa anakku? Apakah ini urusan keluarga atau perkara negara?” tanya Khalifah Umar.

“Ini urusan keluarga,” jawab si anak.

Sebelum membukakan pintu, Khalifah Umar lalu mematikan semua lampu minyak di kamarnya. Setelah semua mati, baru Khalifah Umar meminta anaknya masuk.

Melihat ruangan begitu gelap gulita, terkejutlah si anak. “Ada apa ini, Ayahanda? Kenapa gelap sekali ruangan ini?”

Sambil tersenyum Khalifah Umar lalu menjelaskan, “Sebab lampu itu minyaknya dibeli oleh uang negara. Sedangkan urusan yang akan kita bicarakan ini urusan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya sama kepentingan negara.”

Mendengar cerita tersebut, Fanshuri terdiam sejenak. Gus Mut lantas cuma menghidupkan rokok usai bercerita kisah Khalifah Umar tersebut.

“Apa Kiai Kholil nggak takut kalau berurusan sama Pak Bupati itu bisa panjang?”

Gus Mut terkekeh mendengarnya.

“Fan, kalau soal beginian, lha kok sama Bupati, sama Sekjen PBB sekali pun Abah juga nggak bakal ada takut-takutnya. Masih sama-sama makan nasi ini kok takut,” kata Gus Mut yang disambut tawa oleh Fanshuri.

 

Exit mobile version