Kisah Santri Pintar tapi Bapaknya Bodoh Nggak Ketulungan

Kisah Santri Pintar tapi Bapaknya Bodoh Nggak Ketulungan

MOJOK.COMas Is dan Fanshuri penasaran dengan bapaknya Yanto, seorang santri yang tingkat ‘alim-nya level tinggi. Hm, pasti bapaknya jauh lebih pinter lagi.

Semua orang di lingkungan pesantren Kiai Kholil tahu, bahwa jika ada murid Kiai Kholil yang pinternya nggak ketulungan, maka jelas itu adalah Yanto.

Baca kitab jago, ilmu mantiq-nya di atas rata-rata anak seusianya, bahkan sudah hafal belasan juz Al-Quran. Saking jagonya, Yanto yang baru berusia belasan tahun itu kadang diminta Kiai Kholil untuk ikut membantu ngajar di pesantren. Dan reputasi ini pun keluar sampai ke luar pesantren, ke orang-orang kampung.

Itu lah kenapa, ketika pesantren Kiai Kholil memutuskan semua santri untuk pulang ke rumah masing-masing karena ada wabah berbahaya dari luar kota, banyak orang yang penasaran dengan bagaimana wujud bapaknya si Yanto ini. Pasti tidak jauh beda seperti anaknya. Dan dua orang yang penasaran setengah mampus itu adalah Fanshuri dan Mas Is.

“Eh, lihat itu. Itu bapaknya Yanto,” kata Mas Is ke Fanshuri.

“Memang Mas Is tahu dari mana kalau itu bapaknya Yanto?” tanya Fanshuri.

“Ya tahu lah, tadi Yanto langsung salim kecup ke orang itu dan ngobrol banyak kok,” kata Mas Is.

Meski sudah dijelaskan begitu, Fanshuri agak ragu kalau orang yang ditunjuk Mas Is adalah betulan bapaknya Yanto. Ya gimana, secara penampilan, bapaknya Yanto ini nggak mencerminkan seperti orang pintar.

Dalam bayangan Fanshuri, bapaknya Yanto pasti seorang tokoh masyarakat atau kiai. Yah, karena anaknya pintar sekali soal agama. Namun begitu melihat wujud bapaknya Yanto, pandangan Fanshuri agak goyah. Ah, mungkin itu soal penampilan saja yang sederhana, batin Fanshuri.

Karena masih penasaran, baik Fanshuri dan Mas Is akhirnya menguntit bapaknya Yanto selama di pesantren. Mereka berdua ingin tahu secara dekat, bapaknya Yanto itu sepintar apa. Sampai kebetulan, bapaknya Yanto ini mau melaksanakan salat duhur karena tak sempat ketika perjalanan jauh menuju pesantren.

Fanshuri dan Mas Is pun melihat dengan seksama bapaknya Yanto ini. Dari mulai wudu sampai menjelang salat.

“Lah, itu bapaknya Yanto beneran? Kok wudunya salah-salah gitu? Masa iya anaknya khatam kitab Safinatun Najah, bapaknya wudu nggak bener gitu, Mas Is? Salah orang kali kamu,” kata Fanshuri tak percaya.

Mas Is jadi ikut goyah. Mulai ragu. Namun Mas Is tetep yakin bahwa itu bapaknya Yanto.

“Mungkin bapaknya Yanto itu saking pinternya jadi pakai cara wudu yang lain, Fan. Ya kan bisa aja? Kita aja mungkin yang tahunya cara wudu cuma satu, jadi lihat ada yang beda gitu jadi kelihatan salah,” kata Mas Is.

Fanshuri mengangguk. “Hm, masuk akal juga sih,” kata Fanshuri.

Begitu bapaknya Yanto salat, keraguan Fanshuri makin muncul.

“Itu salatnya kok aneh banget? Cepet amat? Kayak ayam matukin makanan gitu. Nggak ada saktah-nya? Salat model apa itu, Mas Is?” tanya Fanshuri lagi.

Mas Is juga bingung, tapi tetap mencoba yakin.

“Hm, mungkin ini juga model lain. Bisa jadi karena ilmu agama bapaknya Yanto ini tinggi, jadi dia punya amalan lain kali ya?” mulai ada pertanyaan dari kalimat Mas Is. Tanda bahwa Mas Is juga ada keraguan.

Hanya saja, begitu salat selesai, terlihat Yanto mendatangi orang itu.

“Tuh, kan bapaknya Yanto beneran Mas Is,” kata Fanshuri.

“Makanya itu,” kata Mas Is.

“Tapi kok wudu dan salatnya aneh gitu? Kayak orang nggak pernah belajar fikih sama sekali,” kata Fanshuri.

“Bisa aja bapaknya wali, Fan. Jadi ada takaran yang beda gitu sama orang-orang kayak kita gini,” kata Mas Is mencoba memahami.

Menyerah dengan perdebatan itu, baik Fanshuri dan Mas Is sebenarnya sama-sama ragu tapi tak terbantahkan juga kalau orang itu adalah bapak dari santri paling pintar di pesantrennya Kiai Kholil.

Sampai kemudian bapaknya Yanto ini kebelet kencing. Sadar kalau toilet pesantren sedang penuh karena dipakai, tiba-tiba bapaknya Yanto nyelonong ke kebun belakang pondok putra. Lantas, tanpa perasaan bersalah, bapaknya Yanto kencing aja di situ. Usai kencing, langsung pergi begitu saja.

Fanshuri dan Mas Is yang tahu dari jauh tidak lagi punya keraguan lagi.

“Wah, kalau itu sudah bukan soal wali-walian, Mas Is. Masa iya kencing nggak pakai istinja’. Itu udah keliru tuh,” kata Fanshuri.

“Iya juga ya? Tapi kan tadi kamu lihat sendiri, itu memang bapaknya Yanto,” kata Mas Is ikut bingung.

“Bisa gitu ya? Anaknya pinter banget ilmu agama, bapaknya babar blas nggak ngerti, bodohnya naudzubillah gitu. Nggak ngerti agama blas,” kata Fanshuri.

Habis sudah ekspetasi keduanya untuk melihat kepintaran bapaknya Yanto. Dengan kecewa mereka pun mau kembali ke rumah. Kebetulan sebelum mau keluar pesantren, ada Kiai Kholil sedang ngobrol dengan salah satu wali santri. Melihat itu, Mas Is yang udah gatel ingin ngomentari bapaknya Yanto langsung nyeletuk.

“Pak Kiai, udah ketemu bapaknya Yanto?” tanya Mas Is.

“Udah, kenapa memangnya?” tanya Kiai Kholil.

“Nggak kayak anaknya ya, Pak Kiai?” kali ini Fanshuri yang tanya.

Kiai Kholil bingung.

“Nggak kayak anaknya gimana maksudmu, Fan?”

“Ya nggak kayak anaknya. Anaknya pinter banget ilmu agama, bapaknya ternyata bodohnya nadzubillah, nggak pinter babar blas,” kata Mas Is nimpali.

Kiai Kholil terkekeh.

“Kok ketawa, Pak Kiai? Lah iya kan? Saya ini tadi sama Mas Is lihat langsung gimana bapaknya Yanto ini salatnya cepet banget kayak Flash, wudu salah-salah, sampai kencing di kebun belakang pondok putra. Kalau bapaknya Yanto pintar pasti nggak bakal gitu,” kata Fanshuri.

“Bapaknya Yanto itu pintar sekali lho. Kalian jangan salah ya,” kata Kiai Kholil.

Mendengar itu, Fanshuri dan Mas Is terkejut. Seperti mendapat sebuah rahasia yang mau dibongkar Kiai Kholil.

“Jangan-jangan wali beneran ya, Pak Kiai?” tanya Mas Is bisik-bisik.

“Iya, wali. Wali santri,” kata Kiai Kholil.

“Ah, Pak Kiai ini. Serius, Pak Kiai. Pinter gimana ini maksudnya? Soalnya tadi kami lihat nggak ada pintar-pintarnya babar blas,” kata Mas Is.

“Ya pintar dong, punya pikiran mau mondokin anaknya. Sampai anaknya jadi pintar ilmu agama begitu. Sampai rela kerja banting tulang untuk mondokin anaknya. Udah gitu, Yanto belajar yang rajin lagi selama di pesantren. Itu anak bisa kayak gitu pasti ada sesuatu dari bapaknya yang ditiru,” kata Kiai Kholil.

“Tapi kan bapaknya salah-salah mulu tadi wudunya,” Fanshuri masih tidak setuju.

“Kalau kamu lihat bapaknya dari kacamata orang yang melek soal ilmu agama, bisa jadi kamu bakal mikir bapaknya Yanto itu bodoh. Tapi kalau kamu pakai kacamata keilmuan bapaknya Yanto itu dari cara orang tua mendidik anak, ya bapaknya Yanto itu jenius. Jenius sebagai bapak. Bukan jenius sebagai seorang ahli agama. Lah iya dong, punya anak kok pinter banget,” kata Kiai Kholil.

Kali ini Fanshuri dan Mas Is manggut-manggut berbarengan.

“Jadi, kamu jangan buru-buru menilai seseorang bodoh hanya karena ketidaktahuan seseorang di satu bidang. Bisa jadi, dari orang yang kamu bodoh-bodohin itu lahir seorang santri yang jenius. Persis kayak bapaknya Yanto ini,” kata Kiai Kholil.

“Oh, begitu ya, Pak Kiai,” kata Mas Is cengengesan.

“Berarti, kalau mau pakai kacamata kayak tadi, ya tetep saja ada yang bodoh betulan dari keluarganya Yanto dong,” kata Fanshuri.

“Siapa memangnya, Fan?” tanya Kiai Kholil dan Mas Is berbarengan.

“Ya simbahnya Yanto.”

 

*) Diolah dari kisah yang diceritakan Gus Baha’.

BACA JUGA Yang Bikin Bodoh Bukan Micin, tapi Komentarmu Itu atau tulisan rubrik KHOTBAH lainnya.

Exit mobile version