Apakah Surga Hanya untuk Orang Islam Saja?

Apakah Surga Hanya untuk Orang Islam Saja?

Apakah Surga Hanya untuk Orang Islam Saja?

MOJOK.COFanshuri merasa penasaran dengan klaim surga hanya untuk orang Islam saja. Baginya, konsep ini sangat tidak adil bagi manusia.

“Gus, memangnya orang yang masuk surga itu cuma orang Islam saja ya?” tiba-tiba Fanshuri bertanya usai menjalankan bidak caturnya.

Giliran Gus Mut menjalankan bidak catur, konsentrasi masih terlalu kuat sehingga pertanyaan Fanshuri nggak didengarkan betul-betul.

“Iya,” jawab Gus Mut sambil menjalankan bidak kudanya.

“Hah?” Fanshuri terkejut.

Gus Mut heran dengan ekspresi kaget Fanshuri.

“Lah, kok panjenangan gitu amat, Gus?” tanya Fanshuri.

“Ya iya dong, lah pertahananmu terbuka begitu kok bidak kudaku nggak boleh masuk. Gimana sih kamu ini, Fan? Namanya main catur ya saling serang dong,” kata Gus Mut.

Gus Mut mengira keterkejutan Fanshuri muncul dari “serangan” di atas papan catur.

“Oalah, bukan, Gus. Kagetnya saya bukan soal jalannya kuda panjenengan, kagetnya saya itu karena jawaban Gus Mut barusan,” kata Fanshuri.

“Jawaban yang mana maksudmu?” tanya Gus Mut.

“Ya jawaban tadi, kalau cuma orang Islam yang masuk surga,” kata Fanshuri.

“Lah memang apa masalahnya?” Gus Mut balik bertanya.

“Bukan begitu, Gus. Itu artinya masuk surganya orang itu berarti untung-untungan dong,” kata Fanshuri.

“Untung-untungan gimana maksudmu?” tanya Gus Mut.

“Ya untung saya ini dilahirkan dari keluarga Islam, jadi peluang masuk surganya ada. Lah betapa sialnya saya kalau saya dilahirkan dari keluarga di luar Islam. Sudah pasti konsep kebenaran saya, konsep keimanan saya, nggak bakal bersentuhan dengan Islam sama sekali, dengan begitu kecil kemungkinan saya masuk surga dong?” tanya Fanshuri agak ngotot.

Gus Mut terkekeh.

“Ah, Gus Mut ini, ditanyain mau seserius apapun pasti sambutannya selalu ngeremehin,” kata Fanshuri.

“Oh, maaf, Fan. Maaf. Aku ini nggak ada maksud ngeremehin. Aku terkekeh itu sebenarnya karena aku kagum sama pertanyaan-pertanyaanmu,” kata Gus Mut.

“Yah, itu mah nggak penting, yang penting saya mau minta pertanggungjawaban Gus Mut soal jawaban tadi,” kata Fanshuri.

Gus Mut tersenyum.

“Berarti kamu harusnya bersyukur dong kalau kamu dilahirkan dari keluarga muslim, jadinya pengalamanmu mengenal Islam jauh lebih gampang,” kata Gus Mut.

“Ya bersyukur sih, tapi…,” kata Fanshuri.

“Nah, kalau pertanyaan itu diwujudkan dalam bentuk syukur kan enak, Fan. Nggak perlu ngotot kayak mau marah-marah gitu,” kata Gus Mut.

Kali ini Fanshuri yang tersenyum cengengesan.

“Nggak gitu, Gus. Maksud saya, kok nggak adil sekali rasanya kalau orang yang bisa masuk surga itu hanya orang Islam,” kata Fanshuri.

“Kenapa nggak adil?” tanya Gus Mut.

“Ya kan kadang orang itu jadi Islam atau bukan, bisa jadi karena bentukan lingkungannya,” kata Fanshuri.

Gus Mut lagi-lagi tersenyum kagum, betapa menariknya kegelisahan Fanshuri kali ini.

“Fan, masalahnya ada yang keliru dari pertanyaanmu di awal tadi,” kata Gus Mut.

“Hah? Mana salahnya? Itu kan pertanyaan normal,” tanya Fanshuri.

“Iya, secara sekilas itu pertanyaan normal, tapi itu pertanyaan yang menyebut bahwa seolah-olah orang yang nggak Islam itu udah percaya aja sama doktrin dari Islam,” kata Gus Mut.

“Ma, maksudnya, Gus?”

“Ya simpelnya, pertanyaanmu itu bentuk kamu meremehkan keimanan umat agama lain namanya,” kata Gus Mut.

“Lah kok gitu, Gus?”

“Gini, Fan. Kamu ini kan bertanya soal nasib orang-orang yang nggak Islam, orang yang nggak peduli akan ayat… hanya orang muslim yang masuk surga, lalu dari sana kamu malah bertanya mengapa mereka tak berhak masuk ke surganya orang Islam. Nah, itu kan pertanyaan yang aneh sekali?”

“Aneh? Aneh dari mananya, Gus?”

“Ya aneh dong. Mereka aja tak peduli soal klaim surga hanya untuk orang Islam kok, lantas buat apa pertanyaanmu tadi? Ingat, Fan, mereka itu juga punya keimanan sendiri,” kata Gus Mut.

“Eee, lantas?”

“Ya, lantas bagaimana bisa kamu berhak mewakili kegelisahan umat agama lain yang muncul dari imajinasimu sendiri? Umat dari agama lain kan punya konsep surganya sendiri-sendiri. Hargai juga konsep mereka. Cukup kamu tak percaya keimanan mereka aja, jangan sampai muncul perasaan meremehkan agama mereka kayak gitu,” kata Gus Mut.

“Ya bukan meremehkan sih, Gus. Saya ini suka memikirkan kesialan mereka di akhirat nanti, terutama mereka yang nggak Islam itu. Lagian, pikiran kayak gitu kan justru bentuk kepedulian saya dong. Ingin gitu rasanya saya menyelamatkan mereka,” kata Fanshuri.

Kali ini Gus Mut tak bisa menahan diri untuk tidak terkekeh.

“Fan, justru pemikiran yang kamu anggap sebagai bentuk kepedulian itu berbahaya,” kata Gus Mut.

“Lah? Kok malah berbahaya, Gus? Kan bagus kalau semakin banyak orang masuk surga,” kata Fanshuri.

“Gini, Fan. Artinya, jauh di dalam lubuk hatimu, kamu menganggap mereka manusia yang berbeda darimu. Dan ada perasaan ingin menyeragamkan semua orang, mengislamkan semua orang,” kata Gus Mut.

“Ya itu perasaan yang bagus dong, Gus?” tanya Fanshuri.

“Iya, niat itu bagus, tapi risikonya itu lho yang bikin aku khawatir. Karena keimanan itu urusannya sama pengalaman yang harus dijalani sendiri. Nggak yang ujug-ujug kamu cerita ke orang lain lantas orang itu langsung percaya,” kata Gus Mut.

“Tapi namanya cita-cita kan nggak apa-apa dong, Gus. Kali aja berhasil,” kata Fanshuri.

“Nabi Muhammad yang jelas-jelas benar saja, kunci dari agama Islam aja, tak pernah sekalipun tuh memaksa semua orang untuk percaya Islam kok. Lah, lalu kita ini siapa kok ngotot banget sampai punya ambisi semua orang harus masuk Islam,” kata Gus Mut.

Fanshuri terkejut dengan jawaban Gus Mut ini.

“Lagian ya, Fan…” kata Gus Mut sambil bersandar di kursinya, “Islam atau tidaknya seseorang itu kan pada dasarnya nggak pernah ada yang tahu.”

“Ma, maksudnya, Gus?”

“Ya seorang menjadi Islam itu bukan semata-mata karena kalimat syahadat di bibirnya, atau gerakan-gerakan salatnya, karena Islamnya seseorang itu ada di kesunyian masing-masing. Persis kayak seseorang murtad itu bukan karena omongannya atau pengumumannya. Itu semua sifatnya administratif, sifatnya sosial doang. Agar manusia tahu sama tahu, tapi siapa yang bisa menjamin isi hati setiap orang dia Islam apa bukan?” kata Gus Mut.

Fanshuri terdiam sejenak.

“Apa ini artinya orang kayak saya ini belum tentu Islam ya, Gus?”

“Ya kamu Islam, Fan, kalau menurut mata saya. Tapi menjadi Islam yang pantas masuk ke surga, apa ya saya bisa tahu?”

Fanshuri langsung tertegun. Dadanya mendadak begitu sesak.

“Jangan-jangan kita ini belum Islam ya, Gus?”

Gus Mut kali ini tertawa, lantas menjawab…

“Begitu kok udah yakin bisa membela orang lain masuk surga, Faaan, Fan.”

Fanshuri kali ini tertawa ngakak.

BACA JUGA Kenapa Babi Haram? atau kisah-kisah Gus Mut lainnya.

Exit mobile version