Revolusi PSSI karena Timnas Kalah Mulu? Ah, Revolusi Ekspektasi Aja Sih Keknya

MOJOK.COPemain dari hasil parade “reality show” berbungkus Liga Indonesia aja kok diharapin lawan timnas luar yang dari liga profesional. Revolusi PSSI? Emang bisa?

Ketimbang revolusi PSSI yang booming lagi malam tadi karena kalah 1-3 dari Vietnam dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2022, sebagai suporter bola Indonesia, mending kita mulai merevolusi ekspetasi aja dari sekarang. Hambok yaqin.

Begini lho. Revolusi ekspetasi ke timnas Indonesia itu masih agak mashook di nalar soalnya ketimbang revolusi PSSI. Soalnya percaya sama revolusi PSSI itu kayak situ percaya DPR mau bikin UU untuk membatasi periode masa jabatannya sendiri. Barangkali baru bakal dilakukan H-1 jelang kiamat mau datang, itu juga yang paling cepet.

Hapiye yo, dari jaman jebot sampai sekarang, akui aja, tak ada satupun prestasi timnas Indonesia. Yah, kecuali situ mau nganggep emas di SEA Games dan juara AFF di under 19 itu sebagai “prestasi” sih.

Standar yang rendah buanget sebenarnya. Standar yang wajarnya jadi cita-cita besar sepak bolanya Brunei Darussalam atawa Timor Leste. Tapi, saat ini, patokan itu pun jadi standar “tertinggi” kita.

Pertanyaanya, apakah ada pengurus PSSI yang merasa itu kegagalan? Nggak lah. Mereka bakal biasa aja.

Persis tipikal politisi. Kalo gagal: cuek aja. Kalo berhasil? Overclaim dong. Puadahal prestasi yang diklaim itupun prestasi “nyaris juara” doang. Gitu aja model klaimnya udah yang kayak timnas kita juara Piala Dunia aja.

Masih inget dong AFF 2010 sama AFC U-19 2014. Semua pemain dikirab keliling Indonesia kayak mau ngelawan timnya Pele dan Maradona aja. Dipamerin ke mana-mana. Seneng gitu orang PSSI-nya. Kayak dia yang kerja sendirian. Hm, emang bener-benar jiwa politisi tulen tuh.

Pertanyaannya, kenapa PSSI bisa se-“DPR” gitu sih? Nggak pernah dengerin apa mau suporter timnas sejak dahulu kala?

Jawabannya simpel: ya karena pecinta bola tanah air itu nggak peduli-peduli amat sama prestasi sepak bola tanah air sebenarnya.

Kita lebih peduli sama bungkus nasionalisme di dalam sepak bolanya. Lebih peduli ketika “Indonesia Raya” dinyanyikan di stadion, dan nggak peduli-peduli amat meski timnas kita dibantai 0-5—misalnya.

Yah, ada sih yang marah-marah kalau kalah. Tapi paling ngamuk bentar, habis itu besoknya berangkat kerja lagi kayak biasa.

Narasinya gini: ya elu boleh nggak suka sama bola kita yang sekarang, benci sama PSSI, tapi kan 11 pemain yang ada di lapangan ini perwakilan kita? Mereka bawa nama bangsa kita? Kenapa sih elu nggak merasa perlu mendukung?

Eh, map-maap nih ye. Saya mah ogah kalau merasa diwakili sama mereka. Soalnya pemain yang di atas lapangan juga sama jadi korban juga.

Lha gimana? Cuma hasil parade “reality show” berbungkus Liga Indonesia aja kok diarepin lawan timnas luar yang bener-bener profesional.

Memangnya situ ngerasa nggak sih kalo timnas kita makin amatir sedangkan timnas di negara tetangga makin pro?

Padahal pada beberapa tahun ke belakang timnas kita pernah muncul sebagai kompetitor yang seimbang di Asia Tenggara. Sekarang, soal endurance pemain aja levelnya beda banget. Kelihatan banget mana yang tim yang dari liga pro dan mana yang dari liga amatiran. Pertandingan berat sebelah semua.

Sini, ane kasih analogi hasil 4 pertandingan kualifikasi piala dunia yang terakhir lawan Vietnam semalem itu (4 kali kalah, ngegolin 3, kebobolan 14 gol, dan poin 0).

Jadi gini. Timnas Indo di kualifikasi ini tu ibarat kayak aktor yang main di reality show Rumah Uya. Mendadak dia harus tandem main film sama Reza Rahardian atau Nicholas Syaputra yang filmnya diproduseri Mira Lesmana dan disutradarai Riri Riza.

Kebanting pake banget nggak tuh?

Atau kalau dalam panggung lawak, Haji Bolot kena tandem sama Atta Halilintar. Atau Sule dan Andre Taulani kena tandem sama Young Lex lah. Nah lho. Benar-benar kayak langit dan bumi, cuy.

Tuwerus kalo dah kebanting gitu, suporter kita ngapain?

Yah paling cuma mainan tagar Twitter—atau paling banter—dibahas Mbak Nana di IG-nya soal isu revolusi PSSI atau besok-besok tiba-tiba nongol di bahasan program Mata Najwa.

Habis itu? PSSI geger pada dihujat, bahkan yang kasus mafia bola kemarin kadang ada yang kena tangkap (Jokdri dkk.). Ada yang pada mundur, ada juga yang kabur.

Namun, seperti biasa, lama-lama publik mulai lupa lagi. Orang-orang lama yang kemarin “kabur” mulai nyelinap masuk PSSI lagi. Merusak lagi. Main “politik” sepak bola lagi. Ada yang pakai PSSI buat batu loncatan untuk jadi kades, camat, bupati, wali kota, sampai gubernur.

Dari paling bawah sampai paling atas. Dari ketua asosiasi suporter, pengelola liga, pengurus exco, bahkan sampai ketumnya. Federasi sepak bola kita tak ubahnya jadi gedung parlemen, berisi politisi-politisi tulen dan beberapa praktisi hukum—dan sedikit yang benar-benar pernah berkecipung di urusan teknis sepak bola (dari mantan pemain sampai pelatih).

Mereka yang mengurus PSSI macam gedung parlemen ini jelas nggak bakal peduli sama timnas kita. Mereka nggak bakal melihat timnas Indonesia punya nasib kayak timnas Tahiti di Piala Konfederasi 2013. Tim yang nggak ada harapan sama sekali, karena cuma dikit banget pemain bermental “profesional”-nya.

Uniknya adalah, kenapa orang PSSI yang isinya politisi-politisi kayak gitu, kok mereka tetep bisa tenang meski kita hujat terus-terusan yak?

Ya karena hujat-menghujat dari suporter itu bagi mereka sudah jadi kayak agenda musiman.

Lagian agenda hujatan ini juga nggak baru dan sudah dibiasakan jadi kegiatan rutin kok. Setidaknya kualifikasi piala dunia 4 tahun sekali, AFF 2 tahun sekali, kualifikasi AFC 4 tahun sekali, SEA Games 2 tahun sekali.

Terpaksa, dipaksa, dan akhirnya jadi terbiasa.

Yaah dianggep aja ini efek samping jadi Pengurus PSSI. Dihujat bentar juga suporter besok-besok lupa.

Sekarang gini…

…pengurus federasi sepak bola kayak gitu lalu bikin sistem kompetisi acakadul kayak gitu dari satu dekade ke dekade lainnya, kira-kira kita mau ngarepin kualitas pemain kayak gimana coba?

Jadwal nggak beres, hukuman komdis nggak pernah tegas, tes doping nggak pernah ada, bahkan sebuah klub bisa punya perlakuan khusus kalau klubnya punya kedekatan dengan pengurus PSSI.

Ini semacam artis kejar tayang sinetron di tipi yang skripnya baru dibikin beberapa jam sebelum syuting, lalu tiba-tiba penggemarnya berharap si artis bisa masuk nominasi Oscar kategori artis terbaik.

Hadeh. Naga Shen Long juga bakal ketawa mampus kalo denger harapan goblok kayak gitu.

“Mas, kalau permintannya upgrade otak aja gimana?” tanya Shen Long udah dengan bahasa sesopan mungkin dan jauh dari ujaran kebencian.

Satu-satunya hal yang bisa dilakukan, paling tidak oleh saya yang nggak bakal ngaruh banyak ini adalah: ya boikot setiap apapun produk sepak bolanya PSSI. Mau liga kek, mau timnas. Semuanya.

Gini.

Orang-orang PSSI ini dari dulu bisa hidup karena bola bisa jadi “bisnis” menggiurkan.

Bisnis riil: hak siar tipi, pertandingan di stadion, jatah sponsor, dll. Semua bermuara pada potensi pasar yang besar dan tak terbatas: suporter sepak bola.

Bisnis sosial: potensi suara untuk yang mau nyaleg, nyagub, nyalwakot, dll. Dengan potensi suara yang sama-sama hampir tak terbatas: suporter bola.

Jadi ini sama seperti logika sinetron karena perkara rating selalu lebih menggiurkan daripada substansi. Ini benar-benar bisnis. Secara ekonomi-politik.

Jadi buat suporter timnas Indonesia, ngapain dipikirin serius amat seolah jadi perkara harga diri bangsa segala? Yang ngurusin aja nggak segitunya juga kok.

Nah, karena melawan gurita bisnis model begini, ya cara yang dipakai ya cara bisnis aja. Sebagai konsumen, saya nggak akan lagi “membeli” produk yang nggak terjaga kualitasnya.

Yup, baiknya kita pakai logika konsumen aja. Lagian, kenapa kita percaya sama produsen yang kita udah tahu betul bertahun-tahun selalu keluarin produk buruk gitu?

Produsen yang bikin produk nggak pernah dengerin komplain konsumennya kok tetep mau dipercaya? Haya benar aja mereka nggak perlu merasa berubah. Tetep laku keras kok. Ngapain berubah ya kan?

Orang-orang federasi nggak perlu revolusi PSSI itu alasannya simpel, Lur: penonton produk mereka tetap banyak. Tetep ada yang beli terus produknya. Mau sesampah apapun itu produk, masih banyak yang mau konsumsi.

Oleh karena itu, agar produksi sampah ini nggak terus terjadi, satu-satunya cara ya dengan tidak lagi membeli produk apapun dari mereka lagi.

Lha gimana? Dibikin satgas anti-mafia bola aja nggak mempan, dirembug di Mata Najwa hampir tiap dua tahun juga nggak ada kapok-kapoknya, ya udah saatnya memutus rantai bisnis ini dari hilirnya aja.

Dan cara ini baru berhasil kalau ekspetasi kita sama timnas udah pada sampai level: mau main, mau kagak main, saya nggak peduli. Mau main sambil kayang kek, hambok karepmu, ora tak gagas babar blas.

Sebab, percayalah, membeli sampah hanya akan memperbanyak sampah.

Dan tidak membeli sampah, adalah selemah-lemahnya iman yang bisa dilakukan oleh mereka yang masih mau ngaku sebagai suporter timnas Indonesia. Karena kepedulian, kadang rasanya harus terasa pahit paripurna.


BACA JUGA Drama Timnas U-19 dan Tidak Rasionalnya Sepak Bola Kita atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.

Exit mobile version