Presiden FIFA Perlu Belajar dari PSSI

Presiden FIFA Perlu Belajar dari PSSI

Presiden FIFA Perlu Belajar dari PSSI

Ditangkapnya beberapa petinggi FIFA oleh FBI dan FOJ (Kejaksaan Agung Swiss) baru-baru ini benar-benar jadi berita yang mengejutkan seluruh dunia. Dugaan korupsi di tubuh FIFA memang sudah cukup lama mengemuka, terutama soal terpilihnya Rusia dan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Selain itu, rontoknya satu per satu calon presiden sampai tinggal menyisakan Ali bin Al-Hussain, Pangeran Yordania, yang sendirian menantang rezim kepemimpinan Sepp Blatter, Presiden FIFA di lima periode berturut-turut sejak 1998, juga membuat kecurigaan semakin kuat. Terlebih, semalam akhirnya Blatter terpilih lagi.

Hebohnya berita penangkapan ini cukup bisa dimaklumi. Sebab praktis masih banyak yang meragukan bahwa lembaga internasional seperti FIFA bisa diadili jika melakukan tindakan melanggar hukum. Mengingat lembaga internasional semacam ini selalu punya dalih kuat karena tidak bisa terikat dengan hukum dari negara mana pun.

Di momen yang hampir bersamaan, sepak bola Indonesia juga mengalami polemik yang sedikit mirip. Situasi di mana perseteruan antara Menpora dengan PSSI yang ditandai dengan pembekuan kewenangan pengurus PSSI dan membuat kompetisi sepak bola tanah air harus dihentikan. Situasi terakhir dari konflik ini adalah “arus kemenangan” yang kini mulai berpihak ke PSSI. “Kemenangan” ini didapat setelah FIFA menolak tim transisi bentukan Menpora, hingga membuat Wakil Presiden menginstruksikan agar surat pembekuan PSSI harus segera dicabut sebelum FIFA benar-benar menghukum sepak bola Indonesia.

Akibat catatan “keberhasilan” itu, maka ada baiknya Presiden FIFA, Sepp Blatter, mau sedikit belajar dari PSSI dalam mencari strategi untuk menghadapi lembaga-lembaga hukum pemerintahan yang gatal dan sukanya ikut campur urusan rumah tangga federasi sepak bola. Tidak perlu malu buat belajar dari sebuah organisasi yang lebih kecil. Ingat, Pak Presiden FIFA, ada pepatah kuno dari Kepulauan Solomon yang berbunyi begini; “Ilmu bisa didapatkan dari siapa saja, sekalipun itu hanya ilmu hikmah dari mantan.” Toh, nyatanya, sampai sekarang, PSSI masih tangguh melawan hukum pemerintah di Indonesia. Semua yang mau mendekat saja langsung mental bak penolakan pernyataan cinta.

Nah, apa saja langkah-langkah yang perlu dilakukan FIFA? Pertama-tama, mengeluarkan senjata yang selalu jadi andalan PSSI, namanya: STATUTA FIFA.

Pak Presiden FIFA yang terhormat, dengan menggunakan senjata ini, selama beberapa tahun ini PSSI selalu berhasil lolos dari jeratan musuh-musuhnya. Di segala kondisi, cuaca, dan medan, Statuta FIFA menjadi tameng adamantium yang tidak bisa ditembus oleh tombak transparansi dan  reformasi. Tameng ini bahkan konon lebih tahan tembus daripada pembalut wanita.

Di statuta FIFA disebutkan, intervensi lembaga pemerintah terhadap federasi sepak bola itu haram hukumnya. Jika ngeyel dan melanggar, maka federasi sepak bola negara terkait akan dibekukan dan dikucilkan dari gelaran kompetisi sepak bola internasional. Artinya, negara yang bersangkutan tidak akan bisa bertanding di Piala Dunia, Liga Champions regionalnya, bahkan pertandingan persahabatan dengan negara lain pun tidak akan masuk dalam catatan pertandingan FIFA.

Nah, dengan senjata seperti ini, maka FIFA bisa membekukan federasi sepak bola dua negara asal FBI dan FOJ; Amerika Serikat dan Swiss. Kedua negara ini memang sudah kelewatan, bukan hanya mengintervensi federasi sepak bola mereka sendiri, keduanya malah nglunjak dengan melakukan intervensi empunya federasi sepak bola. Ini kan durhaka namanya, bisa dikutuk jadi batu akik lho. Bahaya.

Paman Sam memang masih punya olahraga-olahraga lain yang lebih populer ketimbang sepak bola. Ada basket, baseball, dan American Football. Tapi coba bayangkan bagaimana nasib legenda-legenda sepak bola macam Thierry Henry, Alesandro Nesta, dan dua gelandang Inggris; Steven Gerrard dan Frank Lampard yang sedang menikmati masa tua di MLS (Liga Amerika)? Tentu suara keluhan mereka karena MLS dibekukan bakal membuat citra Amerika jadi terpuruk di mata dunia internasional.

Swiss juga setali tiga uang. Daripada cuma dikira sekelompok sukarelawan Palang Merah di ajang kompetisi sekelas Piala Dunia atau Piala Eropa, negara ini memang sudah saatnya lebih berkonsentrasi dengan usaha penyimpanan uangnya yang dikenal terkenal di film-film Hollywood dan Bollywood sebagai “Negeri Bank” dengan tingkat keamanan yang luar biasa lebay.

FIFA pun tak perlu malu meski faktanya berkantor di Zurich dan selama ini menggunakan fasilitas negara Swiss. Toh, PSSI yang di Jakarta saja tidak malu kok menggunakan fasilitas negara dan pemerintah, sekalipun tidak pernah mau tunduk sama aturan keduanya. Zaman sekarang, hal semacam itu sudah bukan lagi hal yang memalukan. Di awal saja bakal merasa enggak enak, jika sudah kebiasaan juga rasanya biasa saja kok. Ingat pepatah Jawa; “rai tembok jalaran seko kulina.”

Cara berikutnya yang bisa dilakukan FIFA dan sudah terbukti ampuh ketika diterapkan PSSI adalah menghentikan kompetisi sepak bola. Ya, Anda tidak salah baca; hentikan kompetisi sepak bola. Jika PSSI menghentikan kompetisi hanya secara nasional, maka FIFA tentu punya kuasa untuk menghentikan kompetisi secara global. Hentikan semua kompetisi sepak bola dari bawah sampai atas, dari usia muda sampai usia lanjut, dari cabe-cabean sampai terong-terongan, dari tingkat kompetisi domestik hingga kompetisi antar negara.

Pastikan juga bahwa FBI dan FOJ sebagai sebagai kambing hitam atas terjadinya pemberhentian ini. Lembaga dan negara asal keduanya itu tentu akan dihujat oleh miliaran penggemar sepak bola seluruh dunia. Seperti yang pernah juga dialami oleh Menpora ketika dihujat penggemar sepak bola Indonesia.

Bayangkan saja bagaimana nasib jutaan pemain profesional di seluruh dunia yang tiba-tiba harus jadi pengangguran karena klub-klub tidak bisa bertanding. Pemain-pemain hebat seperti Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo tidak lagi digaji, lalu tiba-tiba jatuh miskin, tinggal di mes latihan. Sehari-hari mencari jadwal pertandingan tarkam, siapa tahu bisa main dan dibayar. Kalau sudah kepepet, terpaksa minta sumbangan dari suporter supaya bisa terus menyambung hidup dan harapan di sudut perempatan Argentina dan Portugal.

Sayangnya, dampak semacam ini tentu tidak berarti banyak bagi pemain profesional di Indonesia. Para pemain negeri ini adalah pemain dengan sikap low profile dan etos kerja yang sangar. Jangankan tidak ada kompetisi, lha wong ada kompetisi saja tetap tidak digaji kok. Jadi langkah yang dilakukan FIFA ini praktis akan ditanggapi dengan biasa saja dan santai. Sudah tradisi, Pak Bos! Justru yang bakal paling kena dampak dari ketiadaan kompetisi itu para bandar judi, staf, atau official pertandingan yang suka ngatur-ngatur skor. Lha arep piye je? Yang diatur saja sudah tidak ada lagi sekarang.

Bagaimana pula dengan—misalnya—nasib Carlo Ancelotti atau Pep Guardiola kalau jadi pengangguran karena tidak punya klub untuk dilatih? Apa mereka harus ikut nyaleg seperti Kang Mas Manny Pacquiao dan Bapak Anang Hermansyah? Atau Jose Mourinho yang bakal jadi pesaing kuat Fadli Zon dan Fahri Hamzah di acara-acara debat televisi nasional?

Itu efek yang mengerikan bagi pelaku-pelaku utama sepak bola jika kompetisi sepak bola secara global dihentikan total. Di luar sepak bola tentu akan terjadi lebih banyak lagi kekacauan. Terutama dalam hal ekonomi. Bagaimana coba nasib para sponsor apparel seperti perusahaan raksasa Adidas atau Nike—penyedia jersey klub-klub kelas dunia? Ribuan hingga jutaan buruh berisiko dipecat gara-gara penjual jersey klub sepak bola di sepanjang Selokan Mataram kini sudah ganti jualan batik bola karena tidak ada lagi klub yang bisa berkompetisi.

Selain itu, masih banyak lagi pihak-pihak yang akan dirugikan. Misalnya nasib buku Sepak Bola Seribu Tafsir bikinan Eddward S. K. yang sudah cetak ulang triliunan eksemplar itu. Nasib Footbal Fandom Indonesia yang baru saja punya kantor yang nebeng sama Indie Book Corner (IBC). Masak mereka harus layu sebelum berkembang karena kehilangan objek tulisan? Nasib Mas Puthut EA karena AS Roma benar-benar beralih jadi perusahan biskuit. Atau nasib Mas Arman Dhani yang akan kehilangan alibi tidak bisa pacaran di malam minggu. Hi, serem euy.

Dampak-dampak itulah yang rasanya bakal sanggup meluluhkan hati FBI dan FOJ untuk segera mencabut dakwaan korupsi kepada belasan pejabat FIFA yang saat ini sedang ditahan. Di Indonesia yang “negara hukum” saja, tradisi kebal hukum masih dipertahankan sampai sekarang karena dianggap sebagai warisan budaya layaknya kebal bacok, apalagi di negara bebas seperti Amerika dan Swiss. Jadi, tunggu apalagi Pak Presiden FIFA? Segera laksanaken.

Exit mobile version