Sayang Orang Lain Terus, Udah Sayang Diri Sendiri Belum?

MOJOK.CO Kita terjebak dalam realita, terlalu sibuk memikirkan orang lain, tetapi lupa dengan diri sendiri. Lupa untuk sayang diri sendiri.

Dengan hadirnya teknologi, kini kita hidup di dunia yang serba cepat. Serba padat. Serba dikejar deadline. Sampai-sampai, terkadang kita merasa kesulitan untuk menemukan ketenangan meski sejenak. Untuk sekadar menikmati segala hal yang telah dianugerahkan Tuhan dan berada di sekitar kita.

Bahkan, tidak sedikit dari kita, yang sulit menemukan kelegaan meski katanya sedang liburan. Diri kita tetap dipaksa menerima banyak informasi, jarang diberikan kesempatan untuk benar-benar beristirahat.

Sederhana saja, ketika ingin tidur, kita justru memilih men-scroll smartphone kita. Melihat meme, menonton Youtube, atau membaca caption, artikel dan Whatsapp. Tidak rela membiarkan waktu yang sepersekian menit sebelum terlelap itu, jika tidak dimasuki suatu informasi apa pun.

Katanya sih, banyak yang merasa tidak bermasalah dengan segala deadline yang padat itu. Bahkan mendaku bahwa dirinya dapat menikmati hal tersebut dengan baik. Merasa hidupnya lebih baik jika berada di tengah keadaan itu. Benarkah mereka benar-benar dapat menikmati target-target di kehidupannya tanpa masalah berarti dan baik-baik saja?

Ataukah hal ini hanya sekadar menutup rasa lelah dengan kelelahan yang lain? Sehingga kemudian tidak dapat benar-benar memahami dan membedakan: yang mana rasa nikmat dan yang mana rasa terlalu lelah?

Apakah kita tidak ingin membiarkan diri kita beristirahat sejenak, berusaha memahami apa yang sebenarnya kita butuhkan. Dengan sedikit mengabaikan standar ‘kehidupan seharusnya’ yang disampaikan oleh orang-orang sekitar kita.

Mengutip perkataan Sekretaris Redaksi Mojok dengan sedikit perubahan, harusnya begini cara kita melakoni hidup. Seharunya kita menjalankan kehidupan dengan beberapa tingkatan prioritas.

Pertama, mengutamakan kesehatan mental.

Kedua, mengutamakan kesehatan jasmani.

Ketiga, mengutamakan keluarga.

Keempat, mengutamakan pekerjaan.

Jangan sampai kebalik. Jangan sampai, kita terlalu terhanyut dengan target-target semu, tapi melupakan hal yang sebetulnya menjadi kebutuhan utama kita. Yang sangat perlu kita prioritaskan.

Begini, banyak orang yang rela-rela saja mengeluarkan sebagian pendapatannya digunakan untuk mengasuransikan kesehatan jasmaninya. Namun, berapa banyak orang yang kira-kira rela mengasuransikan kesehatan mentalnya?

Bukankah keduanya merupakan hal yang sama-sama pentingnya? Bukankah keduanya sama-sama dapat jatuh sakit dengan tiba-tiba tanpa kita perkirakan sebelumnya?

Sakit fisik itu biasanya terlihat dan dapat dirasakan sumber sakitnya, yang dapat menyerang semua bagian tubuh kita. Berbeda dengan sakit mental, yang biasanya hanya menyerang hati dan otak. Hati dan otak di sini bukan sebagai organ tubuh kita. Namun hati sebagai perasaan dan otak sebagai pikiran. Yang kemudian rasa sakit di kedua bagian itu, dapat mempengaruhi seluruh bagian tubuh kita.

Karena wujudnya yang tidak sejelas sakit fisik, sakit mental ini justru sering diabaikan, tidak ingin dirasakan, lalu menganggap bahwa dirinya baik-baik saja.

Padahal, masalah kesehatan mental ini sangat penting untuk diprioritaskan. Pasalnya, seseorang yang sehat secara mental, ia akan dapat menggunakan potensi dirinya dengan maksimal dalam menghadapi setiap permasalahan dalam hidup, dan tidak jarang akan berhasil membangun hubungan positif dengan orang lain.

Sebaliknya, orang yang mengalami masalah dengan kesehatan mentalnya, biasanya ia cenderung akan mengalami gangguan mood, kemampuan dalam berpikir serta mengontrol emosi. Hal ini akan berdampak pada perilaku yang kurang baik menurut norma sosial.

Gangguan kesehatan mental ini biasanya terjadi akibat adanya tuntutan hidup yang kurang mampu diselesaikan dengan maksimal. Lalu perasaan gagal dalam menghadapi tantangan di depan tersebut menjadi masalah. Diantaranya mengakibatkan depresi dan stres.

Tidak banyak orang yang tahu, kondisi depresi dan stres dengan tingkatan yang parah dapat menyebabkan kegilaan bahkan bisa membuat seseorang ingin bunuh diri. Pasalnya, ada perasaan sangat tidak mampu menanggung beban-beban itu.

Perasaan tidak mampu ini sering tidak disadari. Hanya dianggap sebagai angin lalu, lantas tidak menjadi prioritas dalam kehidupannya untuk diselesaikan.

Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri misalnya. Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014, memiliki indeks kebahagiaan di atas rata-rata. Yakni di atas angka 70%. Nilai ini dihitung dari kepuasaan 10 aspek kehidupan. Diantaranya kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, kondisi rumah dan aset, keadaan lingkungan serta kondisi keamanan.

Namun yang menyedihkan, justru tingkat bunuh diri di provinsi ini tidak dapat dikatakan kecil. Bahkan pada tahun 2015, Provinsi DIY memiliki angka bunuh diri tertinggi nomor empat di Indonesia. Dengan 59 kasus.

Kira-kira ada apakah ini? Apakah hal ini salah satu yang dapat menunjukkan ketidakjujuran kita pada diri sendiri? Tidak punya keberanian untuk jujur pada dirinya bahwa kita tidak sedang baik-baik saja. Memangnya, salahkah perasaan ‘tidak baik-baik saja’ itu?

Apakah hal ini dikarenakan kondisi lingkungan kita yang membentuk dan meminta kita untuk selalu baik pada orang lain? Untuk selalu kuat dalam menjalani kehidupan? Dan memaksa kita melakukan segala hal yang seharusnya dilakukan. Padahal, kondisi mental kita tidak bisa selalu sama. Tidak dapat selalu kuat dalam menjalani hidup. Toh, bagaimanapun juga, ada titik tertentu di mana kita memang membutuhkan istirahat dan tidak dapat terus menerus menekan diri sendiri.

Apakah hal ini disebabkan karena sejak kecil, kita diajarkan untuk dapat menyayangi orang lain? Ketika kecil, kita diajarkan sebuah lagu dengan lirik seperti ini,

Satu-satu aku sayang ibu

Dua-dua juga sayang ayah

Tiga-tiga sayang adik kakak

Satu dua tiga sayang semuanya

Sejak kecil kita diminta untuk sayang ibu, ayah, adik, dan kakak. Kita diajarkan untuk menyayangi orang lain, namun tidak pernah diajarkan untuk menyayangi dan membahagiakan diri kita terlebih dahulu.

Padahal, bagaimana caranya kita dapat membahagiakan orang lain, jika diri kita sebenarnya belum benar-benar dapat bahagia? Mau menutup dengan topeng berapa lapis lagi untuk tetap kekeuh menyiksa diri sendiri dengan berpura-pura baik-baik saja?

Exit mobile version