Betapa Ngawurnya Open Donasi Bodong dengan Mengeksploitasi Kemiskinan

Open Donasi Bodong Mengeksploitasi Kemiskinan MOJOK.CO

MOJOK.COKemiskinan memang masih menjadi komoditas yang menarik untuk dieksploitasi. Tidak sekadar untuk konten, tapi juga untuk penipuan yang berkedok donasi.

Kita mengenal reality show Bedah Rumah, Andai Aku Menjadi, ataupun Mikrofon Pelunas Utang, sebagai deretan acara yang menjual kemiskinan. Lantas menempatkan kemiskinan sebagai komoditas utama supaya acara tersebut ditonton oleh masyarakat Indonesia. Rentetan cerita dalam tayangan tersebut mampu mengaduk-aduk emosi para penontonnya. Bahkan, nenek saya pernah menangis sesegukan ketika menonton salah satu episodenya.

Terlepas dari apakah acara tersebut hanya sekadar settingan atau memang keadaan sesungguhnya. Nyatanya, konten yang menjual kemiskinan memang masih laku untuk menaikkan rating dan menangkap iklan sebanyak-banyaknya—jauh lebih tinggi dari donasi yang diberikan itu sendiri. Sehingga, menayangkan acara tersebut saat prime time, merupakan keputusan yang tepat.

Kemiskinan memang bisa dijual di mana-mana. Selain jadi komoditas kampanye para politikus menjelang Pemilihan Umum, dia juga sering kali menjadi konten untuk meningkatkan engagement sebuah tayangan. Baik itu di televisi, maupun di media sosial.

Tidak cukup sampai di situ. Kemiskinan dan segala kondisi belas kasihan tersebut juga dijadikan senjata untuk melancarkan aksi penipuan berkedok donasi. Seperti yang baru saja ramai terjadi di Twitter.

Singkat cerita, sebuah akun Twitter @ndoeeet_ menceritakan kalau dia akan mengambil baju ke seorang penjahit. Namun, ternyata sesampai di sana, mesin jahit milik bapak penjahit tersebut dicuri. Hal tersebut jelas membuat bapak penjahit tersebut kehilangan modal utama untuk bekerja. Bla-bla-bla, lantas dia mengajak para warga Twitter untuk turut membantu bapak penjahit tersebut untuk membeli mesin jahit, karena uang yang dia (@ndoeeet_) miliki masih kurang dan tidak cukup untuk membeli mesin jahit yang dibutuhkan.

Ternyata, donasi yang masuk ke rekening @ndoeeet_ melebihi target awal. Lantas, dia menaikkan sekalian perkiraan dari capaian donasi yang terkumpul. Dengan alasan sekalian untuk membeli peralatan jahit yang lain, kain, hingga sembako. Semua tampak aman-aman saja dan seolah memang begitu meyakinkan karena @ndoeeet_ juga meng-upload video dengan si bapak penjahit. Hingga akhirnya ada yang berkomentar, bahwa foto dan video dalam thread Twitter tersebut sudah pernah ditayangkan oleh akun lain di Instagram. Alias, @ndoeeet_ pakai konten lama dan membuat seolah-olah donasi tersebut baru saja dia lakukan.

Warga Twitter pun marah-marah karena menganggap dia telah melakukan penipuan. Awalnya @ndoeeet_ berusaha berkelit. Namun, tidak lama kemudian ia memutuskan tutup akun. Hal yang jelas semakin bikin orang mencak-mencak. Apalagi yang sudah ikut donasi.

Sebetulnya, meminta donasi lewat media online sudah marak terjadi. Tidak hanya dilakukan oleh orang bersangkutan yang sedang membutuhkan bantuan. Akan tetapi, juga banyak bermunculan “makelar-makelar” yang menyediakan dirinya untuk menjadi perantara donasi tersebut supaya tersalurkan kepada orang-orang yang “katanya” membutuhkan.

Dengan narasi soal bagaimana orang-orang yang dianggap miskin ini mampu berjuang dan bertahan hidup di tengah segala kesulitan dan ketidakadilan yang ada. Memang menjadi tidak sulit untuk menguras simpati kita. Membuat rasa kemanusiaan kita meledak-ledak. Hingga memunculkan rasa syukur dan merasa di posisi yang lebih beruntung.

Kemiskinan memang mudah untuk dieksploitasi untuk kemudian memunculkan rasa iba. Dan itu sebetulnya tidak apa-apa. Tidak salah secara hukum, kalau saja tidak ada penipuan di dalamnya. Kalau saja, para makelar ini betul-betul menyerahkan dana hasil donasi tersebut dengan amanah.

Namun, meski begitu, terus menerus memberi ruang pada praktik donasi dengan “jualan kesedihan” kisah seseorang, justru menjadikan kita terjebak untuk tidak menyelesaikan akar masalah dari kemiskinan itu sendiri. Sebaliknya, seolah-olah kemiskinan malah diusahakan untuk tetap ada. Supaya bisa terus dieksploitasi.

Mungkin, kita sering kali lupa bahwa membantu orang-orang untuk beranjak dari kemiskinannya, bukan berarti sekadar memberikan donasi dan bantuan modal—yang biasanya malah langsung habis untuk membayar utang. Namun, kemiskinan juga soal pendidikan, soal memberdayakan kualitas manusianya. Supaya, mereka juga dapat lebih kuat dan bakoh untuk ikut turut andil seperti masyarakat yang dianggap “normal” lainnya.

Tapi, kalau memang ngebet pengin bantu, prioritaskan saja membantu orang-orang di sekitar. Biar nanti nggak ngamuk-ngamuk amat kalau ternyata orang yang nun jauh di sana dan kayaknya butuh dibantu itu, ternyata malah melakukan penipuan. Atau malah kayak yang kejadian di Twitter tadi. Udah percaya. Udah transfer 2 juta, eh, malah ditipu sama makelarnya.

Tapi, kalau memang sampeyan ini orangnya gampang legawa dan bodo amat. Yaudah monggo, kalau pengin sedekah, ya sedekah aja. Urusan dosa biar ditanggung sama yang nipu masing-masing.

Exit mobile version