Malas Pulang ke Rumah karena Bosan Ditanyain Soal Jodoh dan Pekerjaan

MOJOK.COSeorang perempuan menceritakan tentang rasa malas pulang ke rumah. Lantaran dia merasa bosan dengan pertanyaan orang rumah perihal jodoh dan pekerjaan.

TANYA

Dear, Mbak Au, yang suka jawabin curhatan-curhatan Mojok.

Saya mau ikut curhat. Jadi gini ceritanya:

Saya sudah hampir 3 tahun merantau di ibu kota. Jarak tempat rantauan saya dengan kampung halaman cukup lumayan: 5 jam kalau naik kereta. Nggak jauh-jauh amat, tapi ya nggak deket-deket juga.

Waktu kuliah, saya juga tinggal di kota rantau ini dan cukup sering pulang kampung, setidaknya 2 minggu sekali. Nah, di masa-masa saya kerja, semuanya lantas terasa berbeda.

Sebelumnya saya mau cerita: sekitar 7 bulan lalu, saya baru saja putus cinta setelah berpacaran 2 tahun yang cukup serius. Saya hancur sekali sampai menghabiskan banyak waktu mengisolasi diri, termasuk tidak pulang ke rumah berminggu-minggu.

Di keluarga besar, saya sekarang adalah sepupu tertua yang belum menikah. Artinya, semua orang dalam keluarga mulai mempertanyakan kapan saya akan menikah. Keadaan ini awalnya biasa saja untuk saya, mungkin karena saat itu saya masih punya pacar. Namun, setelah kami putus gara-gara dia berselingkuh, kepercayaan saya pada orang lain dan diri saya langsung runtuh seruntuh-runtuhnya.

Saya takut pulang.

Setelah melalui proses healing beberapa bulan, saya mulai merasa lebih baik. Saya memberanikan diri untuk pulang, tapi harus merasa sedih lagi karena—benar dugaan saya—masa-masa di rumah selalu habis dengan cecaran pertanyaan ibu saya: kapan nikah? Kapan dilamar?

Seolah belum cukup, bapak saya mulai mempermasalahkan karier saya. Sebenarnya ini juga sudah lama berlangsung, tapi belakangan mulai lebih sering, mungkin karena usia saya yang kian bertambah. Bapak selalu mempertanyakan, mau sampai kapan saya bekerja di perusahaan start up yang masa depannya dianggap tidak jelas. Bapak seperti tidak rela waktu saya gagal tes CPNS atau saat saya menolak mendaftar BUMN. Saya sudah bilang alasannya: tidak ada jurusan saya yang dibutuhkan BUMN tersebut, tapi beliau malah marah.

Beberapa kali, bapak berkata, “Coba kalau dulu kamu tidak pindah kuliah, pasti sekarang kerjanya enak!” Saya sedih sekali mendengarnya. Memang saya pernah pindah kuliah. Tapi saat itu pindah dengan restu orang tua. Saya tidak menyangka bapak saya akan terus mengungkitnya seakan ini adalah langkah yang sangat salah.

Harus saya akui, semua orang di keluarga saya—bapak, ibu, kakak, dan suami kakak saya—adalah orang yang bekerja di BUMN maupun PNS. Saya yang cuma penulis di media swasta jelas berbeda dengan mereka, tapi apa harus diberi tekanan terus menerus? Apakah salah kalau saya bekerja sesuai apa yang menjadi keinginan saya? Toh, saya merasa baik-baik saja—meski tidak bagi mereka.

Plus, saya baru saja putus cinta lagi. Ibu saya tahu akan hal ini dan saya pun tahu apa yang akan terjadi selanjutnya: beliau akan bertanya kenapa saya harus putus lagi dan kapan saya akan menikah. Padahal, kalau saya bisa mengatur skenario hidup saya sendiri, saya kan juga nggak ingin putus. Saya juga ingin punya hubungan serius yang mengarah ke pernikahan.

Sekarang, sudah tiga bulan saya nggak pulang—waktu yang cukup bagi orang tua saya untuk protes pada saya karena nggak pulang-pulang, atau bahkan sekadar telepon. Ya, saya tahu, obrolan melalui telepon maupun ketemu langsung dengan mereka akan SELALU mengarah kepada tekanan-tekanan itu.

Saya lelah sekali punya hidup yang tampaknya nggak disukai kedua orang tua saya. Saya harus gimana, ya?

Terima kasih atas waktunya membaca keluhan saya. Semoga harimu menyenangkan dan didukung orang-orang sekelilingmu, Mbak.

Salam,

K.

JAWAB

Mbak K, yang sedang berada di tanah rantau. Peluk jauh dari kami, dengan keteguhan hati sampeyan yang cukup kuat menahan permasalahan dan tekanan-tekanan yang bertubi-tubi ini sendiri. Tidak banyak orang yang setangguh sampeyan.

Pasti sulit rasanya ketika kita tidak merasakan rumah betul-betul sebagai rumah. Sebagai sebuah tempat, yang kita harapkan dapat menerima kita apa adanya. Sebagai satu-satunya tempat yang akan kita tuju, saat merasa hancur sehancur-hancunyanya. Sebagai tempat yang kita kira dapat menyembuhkan setiap luka, namun justru menjadi sumber segala masalah bermula.

Mbak K, mengenai tuntutan dari ibu dan bapak sampeyan, saya yakin sampeyan juga memahaminya. Bahwa setiap orang tua, pasti menginginkan keterjaminan dan keamanan finansial bagi anak-anaknya. Mereka tidak ingin anak-anaknya harus hidup susah seperti kehidupan jatuh bangun mereka dulu. Oleh karenanya, mereka hanya ingin kehidupan yang terbaik bagi anaknya. Lantas, dalam pikiran mereka, anaknya akan bahagia, jika mereka menjalani kehidupan seperti yang mereka pikirkan.

Sayangnya mereka belum tahu dan belum bisa betul-betul memahami: bahwa ada kehidupan versi lain yang diam-diam juga bisa membuat anaknya bahagia.

Memberikan pemahaman ini tentu saja memerlukan waktu. Tidak semudah meminta mereka mengerti bahwa kita lapar dan butuh makan. Salah satu cara yang lantas bisa membungkam semua pemaksaan konsep mereka ke sampeyan hanyalah pembuktian. Ya, membuktikan bahwa sampeyan tetap bisa bertahan hidup dengan jalan hidup yang sampeyan pilih. Membuktikan kalau sampeyan justru merasa dapat hidup seutuhnya dengan cara yang mereka anggap tidak memberikan keterjaminan apa-apa.

Mbak K, kalau saran dari kami, seburuk apa pun keadaan di rumah. Pulanglah. Pulanglah untuk mereka yang selama ini selalu mendoakan sampeyan lamat-lamat. Pulanglah untuk mereka yang sebetulnya berusaha membuat sampeyan bahagia, tapi tidak tahu cara menyampaikannya. Pulanglah untuk mereka yang sebetulnya sangat mengkhawatirkan kondisi sampeyan. Dan pulanglah untuk mereka, yang telah rela melepas anak gadisnya merantau untuk memilih jalan hidupnya sendiri.

Kalau sampeyan masih kesulitan untuk memutuskan pulang. Lantaran malas dan justru takut merasa semakin demotivasi selama berada di sana. Bicaralah terus terang pada bapak atau ibu. Ya, meski saya tahu, hal ini tidak akan semudah itu dilakukan.

Tapi kan, kata sampeyan, mereka sangat meminta bahkan memaksa sampeyan untuk pulang. Kalau begitu, nggak perlu ragu untuk mencoba bilang, bahwa sampeyan ingin pulang ke rumah dalam keadaan rumah yang betul-betul nyaman. Sebetulnya, selama ini sampeyan malas berada di rumah karena merasa sikap orang-orang di rumah cukup bikin nggak nyaman.

Oleh karenanya, jika sudah tahu apa yang sebetulnya sampeyan butuhkan. Nggak ada salahnya kalau sampeyan bikin aturan ataupun persyaratan, selama nanti berada di rumah. Misalnya, kalau nanti pulang, orang-orang di rumah nggak ada yang boleh membahas hal-hal yang bikin sampeyan nggak nyaman. Masalah nikah dan karier itu menjadi ranah privasi sampeyan. Nggak ada orang yang boleh cawe-cawe. Termasuk orang di rumah sekalipun.

Untuk semakin meyakinkan diri bahwa mereka betul-betul akan memenuhi persyaratan tersebut, jangan lupa pakai embel-embel, “Bapak dan Ibu sayang sama aku, kan?”

Kalau mereka betul-betul kangen dan mengharapkan sampeyan pulang, saya rasa sih, persyaratan yang sederhana ini bukan menjadi suatu hal yang berat untuk dilakukan.

Semangat menata hati ya, Mbak K. Semoga punya energi dan siap untuk berterus terang.

Exit mobile version