Ketika Cinta Beda Agama Hadir dalam Kisah Kami

MOJOK.CO – Seorang perempuan muslim bercerita tentang kisah cinta beda agama-nya dengan seorang laki-laki penganut agama Budha.

TANYA

Halo Mojok….

Sebelumnya, perkenalkan nama saya Delfina, usia 22 tahun. Saya curhat ke Mojok soalnya saya nggak tau harus cerita ke siapa lagi. Saya nggak bisa cerita ke teman atau keluarga saya karena sejak awal, apa yang akan saya ceritakan ini—hubungan saya dengan masnya—saya rahasiakan ke mereka.

Kenapa dirahasiakan? Ada dua alasan.

Pertama, masnya adalah laki-laki yang punya reputasi nggak baik. Kalau nggak salah, namanya f**k boy. Jadi masnya ini suka banget deketin perempuan untuk dibikin baper, habis dia bosen dia tinggalin gitu aja.

Kedua, kami beda agama. Saya Muslim dan dia Buddhist. Kalau saya cerita ke teman-teman atau keluarga saya, haqqul yakin pasti disuruh untuk jauh-jauh sama masnya. Apalagi teman-teman mengenal saya sebagai seorang “ukhti” alias Muslimah yang taat. Pacaran aja dilarang sama teman dan keluarga, eh ini udah pacaran, pacarannya sama orang beda agama lagi.

Ceritanya, kami bisa dekat karena kami terlibat dalam sebuah project kerja jangka panjang. Kebersamaan yang memaksa kami harus bersama-sama setiap harinya dalam waktu 4 bulan.

Awalnya, sebagai seorang f**k boy sejati, masnya iseng untuk “main-main” dengan saya, alias berusaha bikin saya baper. Eh malah dia yang baper beneran sama saya, padahal saya nggak ngapa-ngapain, lho. Mungkin ini kali yak yang namanya instant karma hahaha.

Karena terpaksa harus bersama-sama dalam waktu yang cukup lama tadi, saya akhirnya ketularan baper juga karena dia—surprisingly—sangat baik, perhatian, dan menerima semua keanehan, insecurity, dan anxiety yang saya miliki. Kami kemudian pacaran, dan semuanya berjalan sangat baik, terlalu baik bahkan.

Masalahnya, kami berdua sama-sama sadar kalau hubungan kami tidak mungkin dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Kedua keluarga kami sama-sama nggak sepakat dengan pernikahan beda agama.

Kalaupun harus ada yang mengorbankan agama demi cinta, saya yakin bukan masnya yang convert ke Islam. Tapi saya yang jadi Buddhist karena saya nggak bisa mencontohkan Islam yang paripurna seperti masnya mencontohkan kedamaian dan cinta kasih yang diajarkan Budha.

Lagipula, meskipun saya (amit-amit) sampai convert, saya tetap nggak akan bisa bersama masnya karena keluarga masnya adalah—maaf—orang China tulen yang menginginkan darah china murni untuk bergabung ke dalam dinasti mereka.

Saya harus gimana, Joook. Nggak pengin putus tapi kalau dilanjutkan ke depannya akan makin sulit karena akan ada potensi kami semakin sayang dan semakin nggak mau putus.

 

JAWAB

Hai Delfina, cieee lagi galau dengan hubungan percintaannya, ya? Gimana rasanya? Berasa nyut-nyutan gitu nggak? Ngomong-ngomong, masalah cintamu ribet banget, ya. Padahal dari awal kamu tahu bahwa dia bukanlah orang yang bakalan tepat untukmu. Tapi kok ya kamu membiarkan begitu saja perasaan yang menjalar dalam dirimu. Jadi, kalau pada akhirnya kamu baper, ini bukan salah siapa-siapa. Bukan salah masnya, bukan juga salah citra f**k boy masnya yang ternyata menyimpan kebaikan. Ini ya salahmu sendiri. Kok ya, nggak dijaga dengan baik perasaannya. Jadinya sakit sendiri, kan?

Begini, Ferguso, Delfina, harusnya kamu paham dari awal, kalau yang namanya drama percintaan itu, mudah dimulai namun sulit diakhiri. Kalau cuma sekedar suka sama orang sih, itu nggak masalah. Namun, kita harus berhati-hati, jangan sampai perasaan itu dengan mudahnya menjadi sayang, lalu cinta.

Sebab, kalau kamu sudah terlanjur sayang dan cinta, ya sudah, bakal sulit untuk diselesaikan begitu saja. Apalagi, kamu sudah menyadari dan jelas-jelas bilang, bahwa akan banyak kesulitan yang terjadi jika kamu meneruskan hubungan yang sebegitu rumitnya.

Dia dengan agama Budha-nya yang kuat, plus memiliki keluarga yang China tulen, dan menginginkan mantu dari darah China murni untuk bergabung dalam dinasti mereka. Sudahlah, Delfina, untuk hal ini tidak perlu kamu pertanyakan lagi.

Sesungguhnya, untuk si masnya itu, jangankan untuk menyatu bersamamu, tugasnya sebagai seorang anak saja, bakal sulit dengan permintaan mencari istri dari darah China murni. Ya, bagaimana bisa, di budaya yang sudah semakin tercampur-campur seperti ini, dia mencari seorang perempuan yang dari keturunan buyutnya yang pertama adalah berdarah China. Padahal kita tahu, bahwa manusia pertama adalah Nabi Adam, yang mana, ya begitulah.

Kalau pun kamu tetap memaksa untuk berlanjut, coba pikirkan baik-baik, Delfina. Bayangkan beberapa hal yang bakal kalian perjuangkan bersama, tidaklah mudah.

Pertama, meskipun kalian mendapatkan restu dari orang tua, perkara selanjutnya bukanlah sesuatu yang mudah. Bayangkan ribetnya kalian dalam ngurusin pernikahan. Dari ngurusin masalah surat izin sampai ngurusin printilan adat istiadat yang bakal kalian kerjakan ketika pernikahan itu. Jangan lupa loh, jangan sampai hanya secara agama saja yang sah, namun secara negara juga perlu disahkan.

Kedua, bayangkan kalau nanti kalian punya anak, kira-kira kalau tiba waktu berdoa bersama sebelum makan, si anak bakalan berdoa dengan cara bagaimana? Kalau dia bingung gimana? Hayo loh.

Ketiga, akan lebih banyak pengeluaran yang dikeluarkan untuk keluarga kalian untuk perbedaan budaya tersebut.

Nah, gimana? Ya, kalau memang kamu tetap yakin dengan hubungan itu sih, nggak masalah. Kami ini kan hanya sebatas ngasih gambaran aja. Siapa tahu, bisa berguna untuk jadi bahan pertimbanganmu.

Ngomong-ngomong nih, Delfina, kalau kamu memang sudah tahu tidak ada keyakinan barang sedikit pun untuk tetap bertahan dengan perasaanmu—kecuali hanya tentang perasaan yang menggebu, ya sudah putusin aja—oke, ini berasa seperti ucapan seorang Ustaz dalam buku hits-nya. Daripada nantinya, perasaan tersebut semakin kebablasan dan tidak dapat lagi dikendalikan.

Saya, memahami pasti akan ada rasa sakit-sakitnya, namun, daripada nanti kamu semakin bersakit-sakit ria. Untuk apa? Untuk apa, Delfina? Untuk apa cinta—yang harusnya membuat bahagia—harus dilanjutkan dengan cara sesulit itu?

Jadi, bagi saya yang orangnya normatif dan takut mengambil risiko, nih. Jawaban dari pertanyaan kamu itu ya, sesederhana itu. Kalau kamu memang berani mengambil risiko yang lebih, yaudah nggak usah tanya ke saya. Coba tanya ke yang lainnya, siapa tahu mendapatkan jawaban yang kamu harapkan. Misalnya: memberikan support buat kamu untuk melanjutkan hubungan yang bakal menjadikan hidupmu menjadi lebih rumit. Gitu.

Delfina, meski katanya, ‘untuk apa Tuhan menciptakan kita berbeda kalau tidak boleh bersama’, menjadi motto hidupmu saat ini. Kalau bagi saya, sih, udahlah dilepas dulu saja, siapa tahu memang suatu saat nanti, kamu bakal menemukan jalan yang dapat memudahkanmu untuk dipertemukan lagi dengannya dalam situasi yang jauh lebih baik.

Kata pepatah lama sih, “If you love someone, just let him/her go. If he/she comes back to you, it’s forever. If he/she doesn’t, it isn’t.”

Kamu masih sangat muda, Nak. Coba energi rasa sayang dan cintanya, dialihkan ke hal yang lain dulu, ya.

Exit mobile version