Bukan Cuma Tendangan, Paspampres Juga Jago Cubitan

Paspampres

MOJOK.COPasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) itu bukan hanya jago tendangan. Merek juga jago soal cubitan.

Peristiwa ditendangnya bikers oleh Paspampres mengingatkan saya akan satu peristiwa saat saya harus ‘berurusan’ dengan Paspampres di tahun 2006 silam. Saat itu, beberapa bulan setelah Yogya diguncang gempa, banyak pejabat dari pemerintah pusat yang berkantor sementara di kota ini. Salah satunya Presiden SBY.

Ceritanya di siang yang terik itu, saat berkendara roda dua saya mendapat mendapat telepon dari kantor.

“Posisi di mana Gung?”
“Di Jalan Solo.”
“Segera ke pangkalan TNI AU, presiden mau jumpa pers. Sekarang!”
“Tapi saya nggak pakai batik”
“Nggak papa.”
“Saya nggak pakai sepatu.”
“Sudah, langsung kesana saja, nanti hubungi nomor ini, protokoler istana.”

Saya tidak sedang menolak tugas dari kantor. Tapi, memang selama ini kalau yang namanya liputan presiden atau wakil presiden, ada drescode wajib yang harus dikenakan.

Setahu saya, wartawan-wartawan yang biasa ngepos di istana, kalau ikut rombongan presiden atau wakil presiden itu rapi jali. Selain rambut klimis, baju yang dipakai adalah batik. Celana biasanya harus kain nggak boleh jin, apalagi sarung. Sepatu itu harus pantofel warna hitam.

Teman saya pernah tidak diperbolehkan masuk ke Gedung Agung Yogyakarta yang merupakan istana kepresidenan, untuk liputan acara presiden karena dia pakai celana jin. Untungnya ada pasar Beringharjo, sehingga dia bisa bergegas membeli rok berbahan kain.

Itu standar pakaian wartawan saat itu, ya. Waktu presidennya masih SBY. Nggak tahu sekarang, mengingat presiden kita yang satu ini lebih suka pakai sneakers.

Saat itu saya pakai kemeja, celana jin warna hitam dan sandal gunung. Jauh dari standar pakaian yang harus dikenakan saat liputan pemimpin negara. Saya tidak sempat lagi balik ke kos kalau harus ganti batik dan pakai sepatu. Jadi saya berharap saja, protokoler liputan presiden tidak seperti biasanya.

Selain ribetnya pakaian yang harus dikenakan, ada satu hal lagi yang biasanya membuat wartawan daerah kadang jengkel ketika ada presiden atau wakil presiden datang. Kita tidak bisa liputan begitu saja ke tempat acara yang dihadiri presiden. Meski sudah berkalungkan Id card atau identitas wartawan, tetap saja itu tidak berlaku.

Ini ada kaitannya dengan tugas Paspampres. Tidak menjamin orang yang memakai identitas wartawan itu wartawan beneran. Wong sekarang saja banyak yang bukan wartawan bisa punya kartu pers. Paspampres tentu saja punya SOP yang harus ditaati. Siapa tahu wartawan itu seorang intelejen asing yang sedang menyamar rupa orang Jawa. Maka identitas pengenal yang berlaku saat liputan presiden dan wakil presiden adalah tanda pengenal yang dikeluarkan oleh Komando Resor Militer (Korem). Setelah kita setor nama, surat pengantar dari kantor, foto, baru kita dapat tanda pengenal itu.

Biasanya wartawan yang diizinkan meliput acara presiden itu terbatas jumlahnya. Selain itu barang-barang yang dibawa pun tidak lepas dari pemeriksaan Paspampres. Fotografer biasanya akan diminta untuk lepas lensa serta diminta menjepretkan kameranya lebih dulu sebelum masuk ke ruangan yang ada presiden atau wakil presiden. Kamera perlu dilepas lensanya dan dicoba saat itu, untuk berjaga-jaga, jangan sampai kamera itu ternyata senapan otomatis yang mengeluarkan kritikan pedas netizen.

Jadi ketika saat itu saya diminta untuk langsung datang ke acara presiden di Pangkalan TNI AU saya bilang itu di luar kewajaran karena tidak biasanya. Mungkin saja karena saat itu masih dalam suasana bencana sehingga banyak protokoler yang dipangkas.

Sampai di pangkalan, saya segera menghubungi nomor protokoler yang diberikan ke saya. Mengatakan bahwa saya akan meliput kegiatan presiden di Pangkalan TNI AU. Begitu saya bertemu dengan orang protokoler tersebut, matanya menatap saya dari ujung rambut sampai kaki.

“Mas kok pakai sandal?” ibu itu tidak lihat kalau celana warna hitam yang saya pakai sebenarnya adalah celana jin. Mungkin karena bahannya yang tipis ia mengira kain.
“Maaf bu, saya tadi terburu-buru. Besok lagi nggak saya ulangi,” kata saya dengan wajah memohon. Nggak lucu jika sampai saya ditolak liputan hanya gara-gara pakaian.

Kalau saat itu ibu-ibu protokoler presiden itu minta saya menuliskan kalimat permintaan maaf sebanyak 200 kali di atas kertas pasti saya lakukan. Bodo amat, yang penting dapat berita.

“Jangan sampai terlihat Paspampres mas. Jalannya di tengah-tengah rombongan saja,” katanya pelan. Duh baik banget ibu ini. Bukan hanya mengkritik, tapi memberi solusi.

Saya bergabung dengan teman-teman wartawan dari Jakarta yang ikut rombongan presiden.  Dandanannya necis, menggunakan batik, rambut klimis dan wangi. Saya melirik ke teman-teman wartawan Jogja yang juga datang. Mungkin mereka dapat informasi lebih awal. Pakaian yang mereka kenakan matching dengan teman-teman wartawan Jakarta.

Biasanya kami diperiksa satu-satu oleh Paspampres, tapi kali ini tidak. Kami justru digiring ke sebuah aula untuk jumpa pers. Posisi saya yang berada di tengah-tengan rombongan wartawan dari jakarta tidak terlalu mencolok. Kemeja saya mungkin terlihat mencolok, tapi saat itu yang saya perjuangkan adalah bagaimana bagian kaki saya tidak terlihat.

Saya mulai deg-degan ketika mata saya beradu pandang dengan salah satu Paspampres. Entah kenapa orang ini selalu memperhatikan gerak-gerik saya. Mungkin ini makna dari slogan Paspampres, ‘Setia Waspada’

Saya sendiri berusaha untuk menerapkan ilmu akting saya selama aktif di teater. Sekian detik saya tidak melihat Paspampres tersebut. Saya fokus dengan materi yang disampaikan presiden sampai kemudian ada suara pelan di telinga saya.

“Besok lagi, jangan pakai sandal mas,” kata suara itu lirih. Bukan hanya bisikan tapi juga sebuah cubitan yang membuat nafas saya seketika berhenti. Padahal, kalau nafas saya lancar saat itu saya ingin berteriak.
“Siaaaap ndan!!”

Saya cuma mengangguk saat itu. Paspampres itu kemudian bergeser, berdiri di belakang wartawan. Hebat memang Paspampres, salah satu syarat jadi Paspampres memang dia harus bisa membaca mimik, gesture/gerak tubuh. Jadi itu mengapa, gerak-gerik saya tidak luput dari pantauannya.

Setelah acara, saya berpikir kenapa sepatu sandal jadi persoalan ketika liputan presiden. Sampai kemudian di tahun 2008 ada peristiwa yang menimpa Presiden AS George W Bush di Irak. Seorang wartawan Irak, Muntader al-Zaidi melemparkan sepatunya ke arah Bush dengan sumpah serapah saat jumpa pers.

Nah, mungkin saja perkara sandal ini bukan hal yang remeh bagi Paspampres. Secara bentuk, sandal lebih mudah dilepaskan yang artinya mudah untuk melemparkannya.

Waktu selesai acara, teman-teman saya bertanya apa yang dikatakan Paspampres ke saya. Tidak banyak kata, saya singsingkan baju saya. Coba saya tunjukan ke teman saya. Tapi bekas cupitan itu tidak ada. Teman-teman saya tidak percaya kalau saya dicubit, padahal jelas-jelas saya merasa sakit. Jangan-jangan Paspampres yang melakukannya punya ilmu totok layaknya di cerita-cerita karya Asmaraman Kho Ping Hoo.

Saya yang dicubit dan pengendara yang ditendang itu sebenarnya masih mending, coba kalau didoooor…

 

BACA JUGA Hal Konyol di Tempat Makan yang Kita Pernah Khilaf Melakukannya dan tulisan  di rubrik POJOKAN lainnya.

Exit mobile version