Jamu Ginggang Pakualaman, 5 Generasi Menjaga Tradisi

“Datang saja waktu sore hari mas. Lebih ramai dari pada pagi atau siang hari,” kata Rudi Supriyadi (56), generasi ke-5 penerus Jamu Ginggang Pakualaman pada saya Rabu 3 Maret 2021. Saya datang memang saat kondisi warung jamu yang terletak di sebelah barat Pura Pakualaman ini tengah sepi pembeli. Saya penasaran ingin bertemu dengan orang-orang yang masih rutin minum jamu.

Sejak berdiri hingga kini proses pembuatan Jamu Ginggang masih dengan cara tradisional. Empon-empon atau bahan jamu diolah dengan cara deplok (ditumbuk), dan dipipis (dihaluskan/digerus) serta digodhog (direbus).

Beberapa hari setelahnya, saya datang kembali ke Jamu Ginggang bersama kawan saya, Annisa (26), yang penasaran dengan warung jamu yang lima tahun lagi berusia 100 tahun ini. Tempatnya mudah dicari, dari Jalan Kusumanegara jika dari arah timur masuk ke Alun-Alun Sewandanan, Pura Pakualaman, belok kiri, begitu menjumpai Masjid Gedhe Pakualaman melewati tikungan, sekitar 100 meter akan ada bangunan berwarna kuning kusam di sebelah kiri.

Jika dari arah selatan, tepat pertigaan sebelum bekas Bioskop Permata belok kiri. Sekitar 50 meter di sebelah kanan jalan terlihat papan bertuliskan Jalan Masjid. Ikuti jalan tersebut, sekitar 200 meter di sebelah kanan akan terlihat rumah dengan papan Jamu Ginggang.

Saya yang sengaja datang lagi untuk nyanggong pengunjung warung jamu kemudian memesan jamu paitan. Jamu yang terkenal paling pahit karena berisi sari brotowali dan sambiloto.  Bahkan meski saya sudah pesan komplit, artinya ada tambahan telur, madu, dan anggur, rasa pahitnya tidak mau pergi dari lidah.

Saya memesannya karena jamu ini katanya berkhasiat melancarkan peredaran darah, mengeluarkan kotoran dalam darah. Badan memang terasa hangat dan keringat keluar. Teman saya, Annisa yang mencoba sesendok jamu paitan memejamkan mata dan menunjukan ekspresi mual. “Ini seperti jamu cekokan waktu kecil,” katanya lantas minum kunir asem untuk menetralkan rasa pahit di lidahnya.

Ia sendiri memesan jamu ngeres linu. Jamu untuk menyembuhkan sakit pegal-pegal. Ia menyukainya meski ada kuning telur mentah dan anggur. “Edyaaan, bangun pagi badanku seger mas, kudu langganan iki,” katanya saat keesokan harinya memberi kabar.

Saat kami duduk itu, pengunjung berdatangan. Dua anak muda menempati kursi-meja di samping kami. Keduanya mahasiswa Institut Teknologi Yogyakarta (ITY), Ikhsan (21) dan Haidar (20). Ikhsan yang mahasiwa Teknik Industri ini memesan es beras kencur komplit sedang Haidar, mahasiswa Teknik Lingkungan memilih jamu sehat pria komplit.

Warung Jamu Ginggang buka setiap hari pukul 09.00 – 20.00 WIB. Foto Oleh Agung Purwandono/Mojok.co

“Penasaran mas, lihat story temannya teman, langsung janjian kesini,” kata Ikhsan. Ia sendiri sebenarnya hobi minum jamu, tapi biasanya jamu beras kencur biasa. “Beras kencur kan biasanya ya hanya beras kencur mas, ini nyoba yang ada telur ayamnya,” katanya menyeruput jamunya.
“Euenaaak!” katanya kepada Haidar yang masih memperhatikan jamu sehat pria miliknya.

Ikhsan yang melihat sahabatnya memesan jamu sehat pria mengolok-olok, karena setahunya jamu itu untuk laki-laki yang sudah beristri. :Lho enggak, ini biar staminanya kuat kok,” kata Haidar membela diri. Setiap pulang kampung di Nganjuk, Jawa Timur ibunya sering membeli jamu untuk keluarga. Sehingga minum jamu bukan sesuatu yang asing baginya.

Tak lama ada ibu-ibu dan anaknya yang menginjak remaja datang. Mereka tidak minum di tempat, tapi membawanya pulang.

Nur Alifa (50) sudah jadi langganan Jamu Ginggang sejak usia 15 tahun hingga sekarang usianya 50 tahun. Awalnya ia kerap diajak ibunya ke Jamu Ginggang. “Sejak ibu masih sugeng (hidup) sampai sekarang anak saya sudah remaja, saya langganan di sini,” kata Nur Alifa menunjuk gadis remaja di sampingnya.

Sore itu ia membeli jamu galian putri dan galian kakung. Dua jamu itu ia beli untuk dikonsumsi di rumah. Satu untuknya, satu lagi untuk suaminya. “Untuk menghilangkan capek-capek,” kata guru sekolah dasar ini. Selain kedua jamu tersebut, ia juga mengandalkan jamu Ginggang jika ada anggota keluarganya yang batuk.

Berdiri sejak 1926

Warung Jamu Gingang tidak begitu besar. Ada empat titik tempat duduk di ruangan itu. Beberapa poster memberikan informasi tertulis, bahwa Ginggang ada sejak tahun 1950. Namun, Jamu Ginggang sebenarnya ada jauh sebelum itu, tepatnya tahun 1926.

“Angka tahun 1950 itu maksudnya, mulai jualan di rumah ini. Sebelumnya jualan di emperan kadang juga jualan keliling,” kata Rudi Supriyadi.

Adalah Mbah Joyo tan Genggang, seorang tabib yang merupakan abdi dalem yang dipercaya membuat jamu untuk keluarga Kadipaten Pakualaman. Meski Rudi mengatakan bahwa nama Jamu Genggang diberikan Paku Alam VI, namun jika dilihat dari keterangan waktu maka Mbah Joyo mengabdi saat Kadipaten Pakualaman dipimpin Paku Alam VII yang memimpin antara 1907-1937.

Pada 1930, Paku Alam VII kepada Mbah Bilowo yang merupakan penerus Mbah Joyo, memerintahkan agar jamu yang dibuat juga bisa dinikmati masyarakat umum.

Sejak tahun itu, selain keluarga Pakualaman, jamu buatan keluarga Mbah Bilowo bisa dinikmati orang kebanyakan. Jamu Ginggang mulai menetap di bangunan yang sekarang ditempati mulai tahun 1950. Tahun di mana Indonesia, negara yang baru berusia 5 tahun menjadikan Kadipaten Pakualaman bersama-sama Kesultanan Yogyakarta sebagai daerah otonomi khusus yang disebut Daerah Istimewa Yogyakarta melalui UU No 3 Tahun 1950.

Menurut Rudi, jamu tidak bisa dilepaskan dari keseharian keluarga kraton atau kadipaten Pakualaman karena menjadi bagian dari tiga hal yang saling terkait.

Tiga hal tersebut yaitu, pertama, olahraga atau latihan fisik yang digambarkan melalui aktivitas menari. Anggota keluarga di lingkungan Pura Pakualaman harus bisa menari, termasuk pemimpinnya. Paku Alam X, yang saat ini memimpin Pura Pakualaman pun mahir menari. Salah satunya ditunjukan dengan menciptakan satu tarian yakni Bedhaya Kembang Mas untuk ditampilkan dalam pernikahan putra mahkota yang berlangsung tahun 2019.

Kedua, olahrasa yang digambarkan melalui aktivitas membatik. Disebut olahrasa karena saat membatik memerlukan konsentrasi yang tinggi, kesabaran, dan ketekunan.

Ketiga, usada atau kesehatan. Kesehatan digambarkan melalui aktivitas rutin meminum jamu. Jika tiga hal tersebut dilakukan secara rutin, maka akan menjadikan seseorang sehat bukan hanya fisiknya tapi juga batinnya.

Jamu itu bukan obat

Menurut Rudi, varian jamu di Jamu Genggang sebenarnya cukup banyak namun setidaknya dibagi 3 sesuai peruntukannya, yaitu remaja, dewasa dan orang tua. Untuk laki-laki dan jamu untuk perempuan.

Jamu remaja, terutama remaja perempuan disarankan untuk minum pertamakali saat haid pertama. Tujuannya agar kondisi badan selalu terjaga. “Kata simbah-simbah saya, rutin minum jamu ini membuat waktu menopause bagi perempuan lebih lama,” kata Rudi. Selain itu siklus haid menjadi lancar.

Sedangkan jamu khusus pria dewasa, Rudi menjelaskan bahwa pria identik dengan pekerja keras. Maka jamu yang ada fungsinya adalah mengembalikan stamina, menghilangkan capai.

“Ada jamu kuat pak, yang katanya menambah stamina dalam hubungannya seksual?” tanya saya.

Mendengan pertanyaan tersebut Rudi tertawa. “Orang menyebutnya jamu perkasa, orang bisa perkasa itu kalau sehat. Bagaimanapun orang kalau sehat, dia akan prima, akan fit, akan kuat. Orang akan sehat, kalau rutin minum jamu,” katanya.

Rudi mengingatkan, jamu bukan obat. Jamu tidak cespleng. Begitu minum sembuh dari penyakit. Jamu lebih menjadi pencegah dari penyakit yang mungkin datang. Jika rutin minum jamu, maka dia punya fungsi untuk mencegah. Sama dengan orang-orang yang berharap dengan minum jamu langsung punya stamina prima. “Kalau dia rajin olahraga, badannya sehat ditambah jamu-jamuan, ya jelas jadi strooong!!” kata Rudi.

Lalu bagaimana dengan jamu khusus perempuan, seperti galian singset yang katanya membuat perempuan menjadi kencang di usia yang tidak muda lagi. “Itu sebenarya mitos, sugesti juga, karena kuncinya agar orang punya tubuh bagus ya kembali ke aktivitas fisik dia, olahraganya bagaimana. Mungkin dulu dengan menari, kalau sekarang olahraga kan banyak. Yang penting mengeluarkan keringat. Baru kemudian ditunjang dengan jamu-jamuan. Sekali lagi jamu itu bukan instan, tapi proses,” jelas Rudi.

Ada memang jamu yang memberikan efek langsung sembuh seperti jamu watukan, yang diperuntukan orang-orang yang sedang batuk. Jamu ini memberi efek penyembuh karena bahan-bahan yang digunakan memang membuat tenggorokan lega, seperti jahe, sunti, daun mint, getah inggu.

Selain watukan ada juga jamu-jamu yang langsung berefek seperti untuk haid atau mens, jamu untuk menghilangkan rasa capai seperti ngeres linu. “Kalau jamu yang paling laris, kunir asem, beras kencur, sehat pria, sehat wanita dan jamu untuk orang tua,” kata Rudi.

Untuk mempermudah penerusnya membuat jamu sesuai dengan takaran, pada tahun 1950, buku berisi catatan resep jamu Ginggang dibuat oleh generasi ke-3, Mbah Puspo. “Dari dulu ya nggak berubah,” kata Rudi melemparkan pandangannya ke daftar menu jamu di dinding.

Menu jamu di Jamu Ginggang. Foto oleh Agung Purwandono/Mojok.co

Rudi memaparkan, ada tiga jamu pokok yang menjadi pakem di Jamu Ginggang yaitu beras kencur, kunir asem dan paitan. Ketiganya tersebut kemudian memiliki turunan. Misalnya beras kencur tidak hanya terbuatdari beras kencur saja, tapi ada tambahan lagi rempah-rempahnya, misalnya cengkeh. Paitan, juga bukan hanya brotowali tapi juga ada tambahannya, misalnya cengkeh. “Tambahan-tambahan itu mengacu dari resep yang diberikan simbah-simbah dulu, jadi dai sisi bahan tidak ditambah atau dikurangi,” kata Rudi.

Di papan yang ada di dalam warung Jamu setidaknya ada 17 jamu yang menjadi pakem dari Jamu Ginggang seperti jamu sehat pria, galian putri, galian singset, galian parem, galian sawanan, sawan tahun, ngeres linu, cabai lempuyang, paitan, parem cuwer, kencur biasa, kencur keras, kunir asem, uyup-uyup, temulawak, telat bulan, dan watukan.

Jamu-jamu biasa tersebut dibanderol rata-rata di harga antara 4.000-6.000 rupiah, kecuali jamu telat bulan yang harganya Rp 25 ribu. Ada juga jamu komplit, yaitu jamu biasa yang kemudian ditambah bahan-bahan lain seperti kuning telur ayam kampung, madu dan anggur. Saya yang membeli jamu paitan komplit dan teman saya ngeres linu komplit habis 26 ribu rupiah.

Diminati orang asing

Jamu Ginggang tidak anti pada modernisasi, namun, berkaca dari pengalaman yang pernah dialami, modernisasi hanya terbatas pada hal-hal tertentu. Dulu, misalnya Jamu Ginggang pernah membuat jamu dengan cara diblender dan menggunakan mesin-mesin. Namun, banyak konsumen yang ternyata komplain karena rasanya berbeda.

“Jadi kami kembali ke awal dalam proses pembuatan yaitu dideplok, dipipis dan diperas diambil sarinya. Ampas yang sudah tidak terpakai dulu digunakan untuk pakan ternak karena bisa menambah nafsu makan ternak.

Efek minum jamu akan lebih terasa jika diminum rutin. Kadan hal itu yang membuat orang malas mengonsumsi jamu. Justru orang-orang asing yang tertarik dengan jamu.

Back to nature istilah mereka. Saya pernah diminta ke Jepang untuk mengembangkan jamu di sana, tapi saya tolak,” kata Rudi. Alasannya bahan jamu di Jepang dengan di Indonesia saja berbeda. Sedangkan kalau ia harus membawa bahan baku dari Yogya, harus dalam jumlah banyak. Ia tidak mampu karena soal bahan baku tidak mudah mendapatkannya.

Cerita lain datang dari wisatawan asal Malaysia yang menginap di hotel tak jauh dari Jamu Ginggang. Setelah menikmati Yogya, wisatawan itu mampir untuk minum jamu. Esok harinya wisatawan itu mengaku badannya lebih segar, siap untuk menikmati lagi suasana Jogja.

“Setiap kali liburan ke Yogya, wisatawan ini selalu datang ke sini,” kata Rudi. Tidak sedikit mahasiswa atau peneliti asing yang datang melakukan penelitian di Jamu Ginggang. Ada orang Korea, Kanada, Perancis dan dari beberapa negara lainnya yang datang ingin mencari tahu khasiat Jamu.

Ritual membuat jamu

Ada mahasiswa Perancis yang ingin minum jamu sekaligus melihat proses pembuatannya. Melihat yang datang orang Eropa, Rudi meminta pegawainya saat membuat jamu menggunakan sarung tangan. Ia ingin menunjukan bahwa jamunya dibuat dengan higienis.

Namun, selepas membuat jamu dengan sarung tangan, pegawainya ia minta untuk membuat jamu dengan tangan telanjang. Termasuk saat memeras empon-empon yang sudah dihaluskan. Ia kemudian meminta orang Perancis itu untuk mencicipi dua jamu yang sama dengan proses yang berbeda.

“Dia bilang enak yang dibuat pakai tangan telanjang.” Kepada turis itu Rudi bercerita, orang-orang yang membuat Jamu Ginggang sudah bertahun-bertahun membuat jamu. Tangan-tangan yang digunakan untuk ndeplok, mipis dan memeras menyerap sari-sari jamu. Itu yang menurut Rudi memberikan cita rasa berbeda di Jamu Ginggang. Soal kebersihan. Rudi menjamin bersih, karena setiap membuat jamu ada ritual khususnya.

Ritual yang ditekankan oleh pendahulu sejak awal mula berdiri. Ritual inilah yang menjamin Jamu Ginggang itu dibuat dengan bersih. Ritual yang jadi SOP turun temurun.

“Dulu orang yang membuat jamu itu sebelum subuh mandi, agar bersih. Sekarang ya habis subuhan. Tapi alat-alat yang digunakan sudah dibersihkan sebelumnya,” kata Rudi.
Soal kebersihan membuat jamu, itu adalah prinsip yang selalu ditekan dari generasi ke generasi di Jamu Ginggang, mulai dari bahan baku, tempat hingga ala yang digunakan untuk membuat.

Tidak ada ritual khusus semacam doa-doa? Kalau ritual seperti itu menurut Rudi tidak ada. Justru kalau pun ada, itu dilakukan oleh orang yang mau minum jamu. Jamu itu sendiri adalah doa agar sehat. “Tamba teka lara lunga, itu kan harapan ketika seseorang minum jamu,” kata Rudi.

Harapan jelang 100 tahun

Untuk menjamin bahan baku yang digunakan, secara turun temurun, pemasoknya berasal dari keluarga yang sama ketika Jamu Ginggang dibuat. Tujuannya untuk memastikan asal usul bahan jamu yang digunakan berasal dari tempat yang jelas serta punya kualitas yang jelas pula. “Misalnya dulu yang jual Mbah Joyo, nah sekarang anak cucunya yang turun temurun jadi pemasok kami,” kata Rudi.

Setiap bahan jamu punya kualitas masing-masing. Misal kencur dari Gunungkidul berbeda dengan kencur yang ditanam di tempat lain. Selama ini, Jamu Ginggang mengambil bahan jamu dari berbagai daerah. Untuk kencur misalnya, masih mengandalkan dari daerah Kulonporogo. Sedang, getah inggu, Jamu Ginggang mendatangkan dari daerah utara (Pantura).

Bahan baku memang jadi tantangan sendiri bagi Jamu Ginggang karena tekait kualitas. Saat ini dengan peminat yang stabil setiap harinya Jamu Ginggang membutuhkan puluhan kilogram. Tidak banyak memang. Jauh dari saat Jamu Ginggang mengalami zaman keemasan di tahun 70-an. “Bisa berkwintal-kwintal,” kata Rudi.

Soal bahan baku ini pula yang membuat Jamu Ginggang masih berpikir dua kali untuk membuka cabang atau memperbanyak produksi. Solusinya, harus punya lahan sendiri Namun, belum lama ini ada kepedulian dari Universitas Islam Indonesia yang siap membantu kebutuhan bahan baku Jamu Ginggang. Rudi dan keluarganya harus memastikan bahan jamu harus jelas asal-usulnya serta tidak terkontaminasi pupuk kimia.

Keinginan untuk membawa Jamu Ginggang memproduksi jamu dalam skala besar merupakan angan-angan keluarga. Namun, ia memastikan dalam proses pembuatannya masih mengutamakan cara tradisional.

“Jamu basah itu ya harus diminum saat itu, karena tidak ada pengawet. Paling bertahan tiga hari kalau dibawa pulang,” kata Rudi.

Dalam waktu 2-5 tahun ke depan atau saat memasuki usia 100 tahun, ia berangan-angan Jamu Ginggang sudah punya warung yang menarik anak muda. Tempat minum jamu yang dikemas seperti kafe-kafe kekinian.

Rudi dan keluarga berharap di usia ke-100 Jamu Ginggang bisa punya warung layaknya kafe yang khusus menjual jamu. Foto oleh Agung Purwandono/Mojok.co

Rudi mengatakan, ada masa-masa Jamu Ginggang mengalami kesulitan. Bahkan terancam tutup. Tapi Rudi ingat pesan ibunya, Darsiah (87) Jamu Ginggang tidak boleh ditutup. “Piye-piye aku tetep dodolan iki, wong sik nggawe urip yo iki. Ora tombok dilakoni, tombok tetep tak lakoni-Bagaimanapun saya tetap jualan jamu, yang membuat hidup keluarga ini ya jamu. Tidak rugi saya jalankan, rugi tetap saya jalankan-,” kata Rudi menirukan ibunya. Saat ini ada sekitar 10 orang yang menggantungkan nasibnya di Jamu Ginggang.

Bahkan untuk memastikan operasional Jamu Ginggang, hingga saat ini Darsiah masih aktif mengontrol manajemen Jamu Ginggang. “Masalah keuangan masih ibu yang pegang, belum mau digantikan,” kata Rudi.

Setiap hari, setelah warung jamu tutup. Ibunya akan mencatat uang masuk dan keluar. Uang yang didapat hari itu akan dimasukan ke dalam amplop sesuai peruntukannya. Misal untuk gaji karyawan maka dimasukan ke amplop bernama karyawan. Setiap hari. Begitu juga amplop untuk membayar listrik, dan belanja bahan baku. Bahkan amplop untuk membayar THR sudah disiapkan. Begitu saatnya, amplop-amplop itu akan dibagikan sesuai nama yang tertera.

Rudi sendiri tertarik untuk meneruskan usaha jamu keluarga tersebut setelah pakdenya atau kakaknya meninggal. Dia berpesan agar besok jamunya yang mengurusi dia. Sejak kelas 1 SMA ia sudah membantu operasional jamu meski saat itu tugasnya memasukan jamu-jamu godhogan dalam wadah.

Sebagai generasi ke-5, tentu ia berharap Jamu Ginggang akan terus ada. Selain menyiapkan generasi berikutnya, Rudi dan keluarganya masih memiliki angan-angan, mereka ingin memiliki cabang dengan desain yang lebih menarik anak muda agar mengonsumsi jamu. Bagaimanapun jamu akan tetap ada jika ada yang mengonsumsinya. Harapan itu ada di anak-anak muda.

BACA JUGA Nares Essential Oils: Memikat Dunia dengan Aroma Khas Indonesia dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL

[Sassy_Social_Share]

Exit mobile version