Surat buat Penganiaya Audrey

MOJOK.CO Kalian mungkin memang beraksi berdua belas, tapi ingat ini baik-baik: Audrey jelas tidak akan pernah sendirian. Tidak akan.

Halo, selamat pagi. Atau siang. Atau sore. Atau malam—kapan saja kamu, atau kalian, membaca tulisan ini.

Sejak hari kemarin, berita-berita di media sosial, feed dan Story di Instagram, hingga utas-utas di Twitter bercerita soal kisah yang sama. Kisah ini diawali dan diakhiri dengan tagar yang seragam: #JusticeForAudrey, lengkap dengan link petisi yang hingga pagi ini terus saya dapatkan, bahkan di kolom chat WhatsApp.

Kalian kenal Audrey, kan? Ah, saya rasa, seluruh Indonesia pun kini tahu kalau kalian jelas tahu siapa itu Audrey.

Saya akan memulai surat ini dengan cerita pendek.

Waktu saya SMA, pernah ada keributan terjadi di lapangan basket belakang sekolah. Ternyata, ada seorang adik kelas saya dilabrak ramai-ramai oleh kakak kelas—tanpa pemukulan, sih, tapi tetap mengerikan. Masalahnya? Hanya “gara-gara” cowok.

Sayangnya, saya terlalu pengecut untuk melerai. Bahkan sampai hari ini, saya menyesali keputusan saya untuk berbelok ke kantin alih-alih menarik lengan si adik kelas yang menangis ketakutan.

Hati saya sakit sekali membaca laporan-laporan yang beredar soal keadaan Audrey. Wujud kakak kelas saya yang dulu itu kini seolah menjelma menjadi kamu—atau kalian—lengkap dengan kekerasan fisik yang sama sekali nggak pernah saya bayangkan bisa dilakukan seorang perempuan ke perempuan lainnya.

Maksud saya—tega benar kalian melakukan kekerasan bahkan ke alat vital Audrey? Like, seriously?

Saya jadi bertanya-tanya: pernah nggak sih kalian menstruasi, lalu kena iritasi pembalut? Saya pernah, dan biar saya beri tahu rasanya: sakit. Sakit banget, malah. Bahkan, saya pernah ada dalam posisi nggak bisa jalan selama tiga hari gara-gara keadaan tersebut.

Itu baru iritasi pembalut. Luka saya jelas nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan Audrey. Sungguh, apa kalian nggak berpikir seberapa sakitnya Audrey sekarang dengan luka yang kalian buat itu—yang saya yakin berkali-kali lipat perihnya dibandingkan iritasi pembalut?

Kita ini sesama perempuan, kan, Cantik? Bayangkan saja punyamu-lah yang mengalami hal buruk itu—memang kamu nggak merasa ngilu dan ingin menangis? Duh.

Pertanyaan saya nggak berhenti sampai di sini. Jadi tolong, duduk lagi dan jawab pertanyaan-pertanyaan saya berikutnya ini, ya.

Pernah nggak, sih, kamu ulangan Biologi dan ternyata nilaimu ada di bawah batas “aman”? Kamu harus remidi seorang diri, sementara teman-teman satu gengmu semuanya dapat nilai 80—pernah nggak?

Saya pernah, dan rasanya tak karuan. Sebal, karena kok saya harus jadi satu-satunya orang yang “kalah”, padahal kami belajar bersama, padahal saya yakin bahwa saya nggak bego-bego amat, padahal saya sudah berdoa dengan tekun, dan “padahal-padahal” yang lain. Bahkan dengan perasaan sebenci apa pun pada guru Biologi yang dengan tega memberikan nilai 60 di kertas ulangan, saya tetap harus ikut remidi.

Dan, yang terpenting, saya remidi sendirian. Kita—saya kasih tahu aja nih—memang harus remidi sendirian, tanpa ditemani teman-teman geng, bahkan kalau alasannya adalah “solidaritas”.

Maksud saya, kalau remidi ulangan saja harus sendirian, ngapain kamu ngeroyok anak orang bareng-bareng temanmu? Kalau kamu rasa ada yang harus diselesaikan—seperti urusanmu dengan seorang anak SMP, misalnya—kenapa nggak dihadapi sendiri saja dan berhenti bersikap seperti pengecut kelas kakap?

Ah, atau jangan-jangan, kamu sebenarnya memang pengecut, ya?

Apa? Kamu sebal karena komentar Audrey di media sosial? Tapi, serius deh, memangnya kamu nggak pernah tahu ada tombol block yang disediakan berbagai platform? Kalau kurang marem, kamu juga bisa deactive akun sekalian, loh.

Malah lebih tenang, kan, hidup tanpa notifikasi medsos? Kamu jadi bisa pergi les Matematika dengan tenang, malam mingguan dengan gembira, atau nonton film di bioskop tanpa harus sebentar-sebentar ngecek jumlah like di foto terbaru. Iya, kan?

Adik(-adik) yang manis, pernah nggak, sih, kamu punya pacar yang posesif dan overprotektif?

Saya nggak pernah—tapi teman saya pernah. Mau pergi ke mana pun teman saya, pacarnya pasti melarang kalau bukan pergi dengannya. Mau bertukar SMS dengan siapa saja, pacarnya pasti marah kalau bukan dengannya.

Saya sendiri jadi sebal gara-gara ini. Masa untuk bertemu dengan saya saja, si teman harus diam-diam membuat rencana agar tidak ketahuan pacarnya? Memangnya, apa peduli pacarnya itu pada teman saya? Apa haknya dia ngatur-ngatur teman saya—orang yang bahkan saya kenal lebih dulu dibanding si pacar sialan itu?

Kalau kamu jadi saya, kamu pasti kesal juga. Melihat temanmu diatur-atur seenaknya, saya rasa, bakal membuatmu terbakar emosi, terlebih kalau hal itu membuat hubunganmu dengan si teman kian menjauh. Tapi saya juga heran: kok situ berani-beraninya ngatur-ngatur Audrey dengan melarangnya ngadu pada siapa pun soal penganiayaan ini? Apa, sih, hak yang kamu punya atas Audrey? Kamu ibunya? Kamu Tuhannya?

Dih.

Pernah nggak, sih, kamu ngikutin Instagram Story-nya Jenny Jusuf, sajak Ma’ruf-nya Mojok, kalimat-kalimat puitisnya Fiersa Besari, twit recehnya Firgiawan Ramaulana, atau bahkan ilmu cocokloginya Handoko Tjung?

Kalau nggak pernah, coba deh lakukan sekarang. Tapi kalau pernah, coba baca ulang sekarang. Saya rasa, konten-konten tersebut jauuuuuh lebih menarik dan membahagiakan dibandingkan foto selfie dan boomerang kalian di kantor polisi.

Pernah nggak sih kamu nonton Harry Potter and the Deathly Hallows Part 1 dan mengingat adegan Hermione Granger disiksa sama Bellatrix Lestrange? Adegan kekerasannya tidak ditampilkan secara detail, tapi Hermione berteriak keras sekali karena  kesakitan—teriakan yang sama yang saya yakin kalian dengar dari mulut Audrey.

Harry Potter dan Ron Weasley dikurung saat itu, tapi jelas mereka tampak gelisah setengah mati dan ingin keluar menolong Hermione.

Nah, saya ingin tahu: saat kamu melakukan kekerasan itu pada Audrey, apakah kamu membayangkan ketakutan dan kesedihan yang sama bakal dialami teman Audrey? Lantas, kalau kamu yang ada di posisi Audrey, kamu pikir temanmu juga akan diam saja?

Ah, tapi saya rasa pertanyaan saya ini kurang pas. Ya gimana lagi—kalian bahkan sudah licik sejak awal, kok. Tidak ada celah bagi “teman Audrey” untuk datang dan menolong saat itu, sementara kalian—kamu dan teman-temanmu—ada untuk mendukung satu sama lain. Bukankah itu bisa disebut curang, licik, culas, jahat, tidak seimbang, dan egois setengah mati?

Tapi begini, ya, saya rasa kalian perlu tahu hal ini:

Kalian memang beraksi berdua belas—dan tentu akan selalu dilindungi oleh orang-orang terdekat kalian, apalagi kalau mereka merupakan orang penting di negara ini—sedangkan Audrey, tidak.

O, tapi tenang saja. Dia akan ditemani oleh kami semua, orang-orang yang tak akan berhenti mendoakannya meski sebagiannya masih terbatas pada petisi online dan komentar-komentar di media sosial.

Dengan kata lain, Audrey—ingat ini baik-baik—tidak akan pernah sendirian.

Exit mobile version