Nggak Enaknya Jadi Orang Nggak Enakan

MOJOK.CO Kebiasaan untuk menjadi orang nggak enakan ini berawal dari rasa ketakutan menghadapi konflik. Daripada marahan, kita cenderung memilih untuk mengiyakan.

Seorang penjual jam tangan di pinggir jalan mendekati kami—saya dan seorang teman—dalam perjalanan menuju tempat parkir bus rombongan. Saat itu, saya masih kelas 5 SD dan  sedang mengikuti study tour di Jakarta. Sepuluh menit kami habis pada upaya memahami apa yang penjual tadi katakan. Jam tangan kami bagus, impor dari Italia, bahkan berbonus parfum yang asli dari Prancis—atau hal-hal semacam itu. Harganya cuma 20 ribu—padahal impor—lengkap dengan bonus parfum yang botolnya berbentuk bulat dan diberi pita.

Lima menit kemudian, kami sampai di bus—membawa sepasang jam tangan dan botol parfum. Teman-teman terkejut karena kami membelinya. Ternyata, mereka semua ditawari, tapi langsung menolak. Saya cuma bisa nginyem dan menyahut, “Nggak enak mau nggak beli.”

Jangankan keesokan harinya—dua jam kemudian, jam tangannya sudah tidak berfungsi lagi. Modyar!

Tapi, ke-nggak-enak-an saya berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian, tanpa kapok. Seorang teman meminta tolong temani ke warnet untuk bertemu dengan pacar kencan butanya, membuat saya memaksa diri mengubah rencana awal untuk pergi ke toko buku. Kekasih saya, di bangku SMA, mengajak saya menonton anime dan saya menyetujuinya, meskipun saya tahu saya bakal langsung mengantuk tepat 5 detik setelah lagu pembukaan dimulai. Teman-teman kelompok saya saling menolak bicara saat presentasi di depan kelas, mendorong saya yang tidak bisa menolak untuk (terpaksa) bicara.

Bukan cuma saya, nyatanya memang banyak orang mengalami kesulitan berbicara, “Tidak,” pada momen-momen tertentu. Di kepala kita (hah, kita???), menolak permintaan atau ajakan orang lain adalah sesuatu yang harus dihindari dan nggak kece sama sekali (Duh, siapa sih yang masih pakai kata ‘kece’ di tahun 2019???).

Pertanyaannya: sebenarnya kenapa, sih??? Kenapa kok kita jadi orang nggak enakan melulu??? Emangnya enak, ya, kalau apa-apa ‘iya-iya’ aja, padahal relung hati berteriak dan melolong sendu??? Hmm???

Usut punya usut, kebiasaan untuk tidak menolak alias menjadi orang nggak enakan ini berawal dari rasa ketakutan menghadapi konflik. Daripada marahan, kita (hah, kita???) cenderung memilih untuk mengiyakan apa yang  orang lain minta kita lakukan, baik dari pacar kita, sahabat, tetangga, atau partner kerja. Pernah, kan, lagi libur kerja, tapi ujug-ujug ditelepon si bos dan disuruh ngerjain kerjaan mendadak—dan kita cuma bisa bilang ‘oke’??? Pernah, kan??? Kesel, kan??? KESEL, KAN???

Fyuh. Sebentar. Tarik napas…. Oke, lanjut.

Konon, kebiasaan ini berangkat dari pengalaman masa kecil yang dipenuhi dengan aturan. Orang tua, guru, hingga saudara yang lebih tua dianggap memiliki power yang besar terhadap diri kita dan berhak memberi perintah. Kalau membangkang, ada konsekuensi yang harus dihadapi: dikurung di kamar mandi (wkwkwk), disuruh mengerjakan PR 50 kali (ya, ya, ya, saya pernah~), atau tidak boleh main gobag sodor sore-sore bareng tetangga di depan rumah. Dan percayalah, rasanya dihukum itu menyesakkan sekali!

Sialnya, ketakutan ini terbawa hingga dewasa—sadar atau tidak sadar. Keengganan untuk menolak juga biasanya berkaitan dengan perasaan khawatir bahwa orang-orang akan berhenti mencintai kita. Yaaaaah, DDI gitu, deh: Dikit-Dikit Insecure :(((

Lucunya, perasaan nggak enakan ini konon lebih sering ditemui pada perempuan, khususnya terkait sikap terhadap laki-laki. Ya, ya, ya, ketahuilah: rasanya sungguh nggak enak bagi kami—para perempuan—untuk bilang, “Tidak,” pada kamu sekalian, Mas-Mas yang budiman. Kenapa? Ya soalnya cita-cita kami dari lahir itu jadi orang baik yang nggak suka menyakiti hati orang lain!

Itulah sebabnya, Teman-teman sekalian, banyak orang menyebut bahwa perempuan cenderung tidak rela kehilangan “penggemarnya”. Maksudnya, kami dianggap tidak tegas menolak seorang lelaki yang menyukai kami dan justru terkesan mempermainkannya hanya karena kami ingin selalu dipuja-puja. Padahal sebenarnya…

…ya gimana kami mau bilang, “Emoh, Mas,” kalau kamu tiap hari usaha tanpa henti, padahal kami sudah secara halus menolak dengan cara nggak pernah balas pesanmu cepat-cepat dan tidak mengangkat teleponmu tiap malam??? Hmm??? Gimana, coba???

Fyuh. Sebentar. Tarik napas…. Oke, lanjut.

Saudara-saudara sekalian, FYI aja nih: ternyata, perasaan nggak enakan yang diteruskan tanpa ujung justru akan membuatmu kian tersiksa dan merasa nggak enak sama diri sendiri.

[!!!!!!!!!111!!!!11!!!!]

Perlu kamu ingat, menjadi orang baik memang hal yang penting. Tapi, menjadi orang baik yang berpikiran logis juga merupakan hal yang tak kalah penting. Saking nggak enakannya kita, hati-hati saja, kita justru bisa menjadi sasaran empuk oknum-oknum tertentu yang suka memanfaatkan. Mentang-mentang kita nggak enakan nolak, mereka seenaknya nyuruh-nyuruh kita melakukan banyak hal yang vital dan harus kita turuti. Mentang-mentang kita sayang, mereka seenaknya selingkuh ke mana-mana.

Lagi pula, menjadi orang nggak enakan juga bisa membuat kita suka mengeluh, terutama kalau kita menyadari betul bahwa apa yang kita lakukan semata-mata hanya karena terpaksa. Lantas, apa menariknya jadi orang baik, tapi kerjaannya sambat melulu setiap detik, Ferguso???

Nih, coba, deh, perhatikan Doraemon yang ngasih alat ajaib ke Nobita, tapi sebenernya nggak rela: mulutnya monyong-monyong, kan??? Lucu nggak dia kayak gitu??? Hah??? Nggak, kan???

Tapi, bukan cuma sekadar mulut monyong-monyong dan ke-tidak-ikhlas-an kita, sikap nggak enakan ini memang sepantasnya dikikis biar matang. Eh, tunggu sebentar—itu mah dikukus, ya, biar matang. Hehe~

Ya pokoknya, sikap nggak enakan itu sesungguhnya hanya akan mengundang perasaan nggak enak bagi diri sendiri. Mulai dari sekarang, cobalah untuk belajar bilang, “Tidak,” perlahan-lahan. Mulai saja dari hal kecil, misalnya menjawab, “Nggak, Mbak,” waktu ditanya kasir Alfamart, “Tiga ratusnya boleh didonasikan?” atau bilang, “Aku pengin makan sate,” waktu diajak pacarmu makan sop kambing tiga belas malam berturut-turut dan kamu selalu mengiyakannya karena nggak enak.

Buat pula daftar alasan cepat di kepalamu tentang mengapa kamu harus bilang, “Oke,” pada orang-orang yang minta bantuan. Yang terpenting, pastikan kamu melakukannya hanya karena kamu mau, bukan karena terpaksa.

Maksud saya, ngapain kamu bilang, “Nggak papa, silakan,” pada teman yang meminjam uangmu dalam jumlah besar untuk liburan, padahal kamu sendiri sedang sangat membutuhkan uang untuk kebutuhan yang lebih penting? Memangnya kamu nggak merasa nggak enak sama diri sendiri nantinya?

Exit mobile version