Kalau Pria Gay Itu Wangi, Memangnya Kamu Bau Comberan?

MOJOK.CO Pria gay pasti wangi, katanya. Sementara itu, perempuan lesbian diyakini adalah mereka-mereka yang sukanya bergandengan tangan. Halah, kata siapa?

Leni menggandeng tangan saya kuat-kuat. Saya mengaitkan tangan saya satunya ke tangan Risma. Kami bertiga bergandengan tangan dari depan kelas sampai ke kantin. Seorang guru yang lewat berceletuk, “Itu kalau yang satu jatuh, jatuh semua, loh.”

Seperti ramalan yang tokcer, Leni langsung tersandung tali sepatunya sendiri, menjadikan kami bertiga ngglundung bareng-bareng di lorong sekolah.

Apakah kami kapok bergandengan tangan? O, tentu tidak.

Kebiasaan saya, Leni, dan Risma untuk berjalan berpegangan tangan tak berhenti sejak kelulusan Sekolah Dasar selesai digelar. Bahkan saat kami sekarang sudah hampir berusia kepala tiga (astagfirullah ternyata udah tua), kalau bertemu pun kami masih suka bergandengan tangan, selagi bergiliran menggendong anak pertama Risma yang sudah hampir berusia 1 tahun. Hal yang sama saya lakukan pula dengan teman-teman perempuan yang lain.

Adakah perempuan yang tidak saling bergandengan tangan? O, tentu saja ada. Salah seorang teman yang lain mengaku kegelian setengah mati waktu tiba-tiba tangan saya menggamit lengannya. Daripada dia cekikikan sepanjang jalan, mending tangan saya menggandeng udara bebas aja, Sist~

Dulu saya kira, teman saya itu aneh karena tidak terbiasa bergandengan tangan dengan sesama teman perempuan. Maksud saya, gimana bisa, coba??? Gandengan tangan itu kan best friend goals banget!!! Dia tinggal di goa apa gimana dah???

Tapi, setelah menempuh perjalanan hidup bertahun-tahun, saya menemukan jawaban dari gundah gulana yang satu ini. Beberapa hari lalu, lini masa Twitter ramai dengan cuitan yang menampilkan data ciri-ciri pelaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) pada sebuah surat kabar, sebagai berikut:

Sebelum kamu mengomentari soal “tatapan teduh” yang konon menjadi salah satu ciri pria gay (percaya, deh, saya juga heran setengah mati), mari lihat dulu ke bagian kanan bawah yang menyebutkan tanda-tanda perempuan lesbian. Di sana tertulis bahwa mereka yang terindikasi lesbian cenderung membenci lelaki dan suka memburukkan (maksudnya ngejelek-jelekin kali, ya?), suka menyendiri, kuat cemburu, serta berjalan berpelukan dan berpegangan tangan.

[!!!!!!!11!!!1!!!!]

Mari saya ulangi poin terakhir: berpegangan tangan. Berpegangan tangan, Saudara-saudara!!! Jangan-jangan, inilah jawabannya mengapa saya selalu gagal dalam hubungan percintaan!!!

Saya mengingat teman saya yang tidak suka digandeng. Apakah dia adalah panutan bagi perempuan yang straight dan tidak lesbian??? Apakah dia menganggap saya lesbian??? Atau jangan-jangan, saya memang lesbian???

Saya membaca daftar dengan agak berdebar-debar. Poin pertama, membenci lelaki dan suka memburukkan lelaki. Saya melakukannya selama setengah tahun belakangan, setelah hubungan asmara saya kandas dengan menyedihkan. Tadinya saya kira ini adalah bagian dari proses healing, tapi jangan-jangan—sekali lagi—ini karena saya lesbian???

Poin kedua, suka menyendiri. Setiap pulang kerja, saya selalu pergi sendiri ke mana saja: salon, toko buku, working space, Malioboro, mal, atau sekadar berputar keliling kota di atas sepeda motor yang belum saya cuci berbulan-bulan. Beberapa teman mengajak bertemu, tapi saya menolak dengan halus. Entah kenapa, rasanya saya ingin menarik diri sejauh-jauhnya dari lingkungan sosial setelah putus cinta. Tadinya saya pikir ini normal, tapi jangan-jangan, ini gara-gara saya lesbian???

Poin ketiga, kuat cemburu. Saya agak nggak ngerti ini maksudnya gimana: kuat untuk bersikap cemburu, gitu? Karena kalau, ya, saya juga kadang suka cemburu, tuh.

Dulu, saya cemburu kalau pacar saya pergi sama perempuan lain. Saya juga cemburu waktu adik saya dibeliin baju baru, sedangkan saya dikasih baju bekas kakak, walaupun memang masih bagus. Saya juga pernah cemburu sama temen saya sendiri karena dia udah boleh naik motor, sedangkan saya belum. Ah, pokoknya hidup saya dan kecemburuan adalah sebuah keniscayaan, deh~

Belum lagi poin keempat: berpegangan tangan dan berpelukan. Di titik ini, saya langsung krisis identitas. Ya gimana—setiap kali ketemu temen perempuan, saya suka dipeluk, kadang juga meluk duluan. Tak jarang, pelukan ini malah diikuti dengan cipika-cipiki, lantas berjalan keliling sambil bergandengan tangan.

Terus, apakah ini semua adalah konspirasi alam yang ingin menyadarkan saya bahwa saya adalah seorang lesbian, berdasarkan sebuah surat kabar yang penulisnya nggak tahu dapat data dari mana ini???

Belum habis rasa penasaran saya, saya tetap nggak tahan juga membaca ciri-ciri pria gay dan LGBT lain yang ditulis di sana. Disebutkan, pria gay memiliki ciri-ciri antara lain: tampil modis, peduli penampilan, selalu menjaga bentuk tubuh, tampil wangi, menjaga jarak dengan wanita, suka belanja, suka pekerjaan dapur, pandai berbicara, suka menggunakan pakaian ketat dan branded, hingga…

…memiliki tatapan mata yang teduh!!!

Maksud saya—hellawwww, tatapan mata yang teduh itu kayak apa, sih? Yang bikin adem kayak kalau kita lagi berdiri di bawah pohon beringin di tengah alun-alun???

Pria gay itu pasti wangi dan peduli penampilan, kata mereka. Padahal, FYI aja nih, jutaan perempuan lain di dunia ini juga nggak ada yang mau, kaleee, sama mas-mas bau ketek dan penampilannya awut-awutan. Lagian, apa salahnya, sih, dengan menjadi wangi??? Kalau yang wangi itu cuma yang gay, memangnya kamu-kamu yang nggak gay itu gimana? Bau comberan?

Salah satu ciri yang disebut dimiliki oleh pria gay lainnya adalah menjaga jarak dengan wanita. Ini kalau dibaca sama akhi-akhi pendukung gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, apa nggak bakal jadi masalah? Bukankah akhi-akhi ini juga menjaga jarak dengan wanita agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan? Terus kenapa malah dikatain gay???

Suka belanja, suka pekerjaan dapur, pandai berbicara—duh, ya ampun. Hari gini masih menganggap laki-laki nggak suka belanja??? Nih, saya kasih solusi: 1) baca tulisan ini, atau 2) ajak masmu tersayang masuk ke Ace Hardware atau IKEA, lalu perhatikan betapa dia bakal tertarik sama barang yang ini dan itu.

Perkara suka pekerjaan dapur—kamu pikir Chef Juna itu apaan? Banyak, loh, koki yang laki-laki dan itu tidak lantas membuat mereka menjadi pria gay. Lagi pula, pandai berbicara juga bukan tolok ukur yang fair dalam menetapkan seseorang merupakan gay atau bukan. Memangnya kamu pikir pejabat-pejabat kita (hah, kita???), Pak Guru, sales asuransi, sampai ketua kelompokmu di kelas yang suka memimpin presentasi itu nggak pandai berbicara??? Hmm???

Tapi, yah, tahu apa saya soal kecerdasan analisis data ciri-ciri LGBT begitu? Lah wong ciri-ciri lesbian saja seakan-akan dibuat untuk menohok diri saya sendiri.

Dah ah, saya mau konsultasi dulu; jangan-jangan saya lesbian beneran.

Exit mobile version