Seorang Perempuan Mengajakku Menikah, tapi Aku Ingin Meneleponmu

Baca cerita sebelumnya di sini.

Kisah kita ada di tanganmu.

From: Andangsaki Kalasan <as.kalasan@gmail.com>

Date: data system errors (configuration doesn’t show absolute time)

To: Witfana Aulia <fanawit.aulia@gmail.com>

Dear Fana,

Email-mu datang menyentak alam pikirku. Aku baru saja menemui sekawanan mahasiswa geek di fakultas sains dan berkonsultasi mengenai kemustahilan hubungan kita. Saat aku melihat sepucuk amplop berpendar di daftar notifikasi ponselku, bergegas aku pamit agar segera mengetahui kabarmu. Kubaca email-mu di lorong kampus yang lengang. Saat itu hujan deras. Pukul 17.00. Pucat di luar sana. Hanya satu-dua mahasiswa yang kulihat nekat menerobos hujan asam dengan masker wajah khusus dan mantel pelindung.

Email-mu membuatku lega luar biasa. Kamu masih hidup. Itu yang terpenting bagiku. Namun, caramu membalas email-ku yang penuh kekhawatiran sungguh mengagetkan. Kalimat-kalimatmu seperti ledakan gunung berapi: menyembur begitu saja dan seketika membuatku begitu ingin memelukmu. Menenangkanmu. Seharusnya kita masih baik-baik saja. Mengapa kamu musti mengatakan kita tak akan lagi chat, lalu mengucapkan salam perpisahan padaku? Apakah kamu tidak merasa ngilu menuliskan itu?

Fana. Fana. Fana…

Kamu masih muda dan aku tak pernah mengatakan kamu muda dan bodoh. Tidak Pernah. Kamu hanya tampak agak kekanak-kanakan buatku. Tapi itu wajar, bukan? Kamu masih 17 tahun di sana. Jika aku menemuimu di sini, Fana 27 tahun, kamu-lah yang akan melihatku sebaliknya: seorang mahasiswa pecundang yang kekanak-kanakan.

Tentu saja aku sepakat dengan ucapanmu bahwa Kala adalah seorang pengecut. Hanya saja, aku perlu mengoreksi tuduhanmu yang semena-mena. Alasan Raisa meninggalkanku bukan seperti asumsimu:

“Raisa pasti nggak tahan sama kepengecutan kamu. Nggak ada cewek yang tahan sama cowok pengecut, cowok yang kebanyakan mikirnya daripada bertindaknya.”

Justru sebaliknya. Ia meninggalkanku karena aku bergabung dengan suatu organisasi bawah tanah yang berambisi menggulingkan pemerintahan khilafah.

Apa aku belum pernah cerita padamu soal ini?

Mungkin belum, karena bagaimanapun kamu masih muda. Terlalu berbahaya jika aku menceritakan semuanya padamu. Terlebih, sekarang kamu tampak sangat kekanak-kanakan. Hanya karena kamu berkata tidak akan chat denganku lagi, aku mengakui hal ini. Aku salah satu dari lingkaran inti organisasi terlarang itu. Sewaktu-waktu aku dapat musnah, tertangkap aparat, dengan tuduhan yang terang-benderang. Makar.

Aku nggak pernah cari aman dalam hidupku, Witfana.

Kesimpulanmu mengenai aku yang terlalu takut menemuimu di Tugu memang begitu sembrono, tapi aku memaklumimu. Bukankah seseorang yang sedang cemburu tidak akan pernah bisa berpikir jernih? Kamu melihatku dengan mata kepalamu sendiri betapa muramnya diriku saat kematian ibu. Apa itu belum cukup untuk menjadi alasan bahwa mustahil Kala-12-tahun datang ke Tugu? Untuk apa? Menabur bunga? Menonton turis? Menanti seorang gadis SMA yang nyaris mati tertabrak gara-gara sibuk selfie?

Hari itu adalah hari terburukku. Kekalahan pertamaku. Menyaksikan perempuan yang paling kusayangi tidak berdaya melawan virus mematikan membuatku merasa menjadi anak laki-laki paling tidak berguna di muka bumi ini. Dan kamu lebih memprioritaskan rasa cemburumu. Di satu tempat dan waktu yang sama, bahkan kamu sama sekali tidak berniat menghiburku. Kamu justru sembunyi dan menangis melihat Raisa datang dan menemaniku.

Sekarang, siapa yang lebih pengecut di antara kita?

Witfana, para kawanan geek itu membantuku melacak identitasmu di tahun 2029. Mereka begitu bersimpati dengan “kasus kita”. Aplikasi kencan yang mereka bikin ternyata mempunyai kemampuan untuk mengembangkan algoritma tertentu yang dapat menerobos pusat data server dan mencari celah pada aplikasi kencan sejenis yang telah lama nonaktif. Tapi mereka tak dapat membantu kita agar bisa ngopi bareng. Perkembangan ilmu fisika kuantum belum secanggih itu.

Mereka berjanji segera membawa “kasus kita” ke seorang profesor senior yang selama ini disebut-sebut memiliki kombinasi kecerdasaran Stephen Hawking dan Alan Turing. Mungkin sebentar lagi kita berdua akan menjadi kelinci percobaan mereka. Aku membenci kemungkinan seperti ini, tapi kita butuh mereka untuk membantu kita mengupayakan keberlanjutan perasaan kita.

Ya. Perasaan kita.

Aku sudah mendapat alamatmu. Sesuai dugaanku, kamu termasuk dari sekian ratus ribu orang yang berganti nama. Witfana Aulia menjadi Jannah Az Zahra. Aku geleng-geleng kepala. Apa yang membuatmu memilih nama “Jannah” (surga) di tahun 2029? Apa karena pemanasan global semakin gila hingga bumi layaknya neraka sehingga kamu perlu menghibur diri dengan nama yang terdengar meneduhkan? Apa karena kamu bagian dari sistem busuk ini yang begitu memuja simbol relijius? Hahaha. Yang benar saja.

Aku membayangkan pertemuan yang canggung dan lucu. Mungkin aku perlu membeli sekotak pizza dan menyamar sebagai seorang kurir makanan cepat saji yang kebingungan karena salah alamat. Ide bagus, bukan?

Email balasanmu membuatku ingin segera menemui Jannah Az Zahra. Kamu tinggal di sebuah perumahan elite. Hujan masih menyisakan gerimis tipis. Aku naik MRT dengan lima kali transit untuk sampai ke kediamanmu. Tepat saat aku membaca papan nama klinik dokter anak yang bertuliskan nama barumu, sebuah mobil berhenti di halaman yang terawat rapi. Seorang pria dan perempuan berhijab keluar dari sana. Sang pria membukakan pintu mobil dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang payung. Aku tak dapat melihat wajah mereka berdua karena suasana cukup remang dan aku berjarak sekitar dua puluh meter dari rumahmu.

Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Ponselku mendadak bergetar. Panggilan dari Raisa. Kutolak. Tanpa berpikir panjang, aku berjalan cepat menuju rumahmu. Kutekan bel dan kuketuk pintu. Ponselku masih bergetar di dalam saku mantelku. Untuk sekian detik, aku menyiapkan diri. Tubuhku terasa dingin. Pintu terbuka. Pria berkaca mata dengan kumis tebal berdiri di depanku sekarang.

“Halo, bolehkah saya bertemu Bu Wit—maksud saya Bu Jannah Az Zahra?” tanyaku, terdengar kaku.

“Ada urusan apa, ya?”

“Saya… saya…”

“Oh, soal penggalangan dana KKN tempo lalu, ya? Istri saya sudah baca proposal kelompok KKN Adik. Menarik sekali. Program pengembangan kapasitas masyarakat perbatasan dengan teknologi berbasis ramah lingkungan saya pikir sudah waktunya diterapkan di sana.”

Aku kebingungan mendengar bualan pria asing ini. Kelompok KKN? Astaga! Aku lupa sedang mengenakan topi berlogo kampus yang dibagikan khusus untuk para mahasiswa yang hendak KKN tahun lalu. Mungkin, sebelum kedatanganku, seorang mahasiswa juga ke sini membawa proposal penggalangan dana. Entahlah.

“Honey, ada yang mencarimu. Adik mahasiswa tempo hari datang. Honey!”

Jantungku berdebar. Aku mendengar langkah kaki mendekat. Tak lama kemudian, Fana-27-tahun muncul dari balik punggung pria berkumis tebal. “Dik, proposal yang kemarin itu—”

Sebundel tipis proposal jatuh ke lantai. Air mukamu berubah tegang. Sepasang mataku dan matamu bertemu. Waktu terasa membeku. Refleks, kakiku melangkah mundur. Aku berbalik, berlari secepat yang aku bisa. Meninggalkan kediamanmu. Meninggalkan dirimu dan suamimu. Meninggalkan kehidupanmu yang mungkin kamu sebut surga.

Pertemuan ini melampaui dugaanku. Mengguncang kesadaranku. Aku tidak tahu bagaimana cara menerjemahkan tatapanmu tadi. Aku tidak berani. Itu bukan tatapan yang sewajarnya untuk seorang mahasiswa aneh yang memaksamu memberikan sumbangan. Itu tatapan yang menyimpan hal-hal yang seharusnya tak boleh kuketahui.

Di dalam MRT, kubuka ponselku. Ada 12 kali panggilan dari Raisa. Ia menanyakan di mana keberadaanku. Malam itu, akhirnya kami duduk berhadapan kembali, untuk pertama kalinya sejak ia meninggalkanku.

“Kamu baik-baik saja?”

Pertanyaan itu meluncur dari bibirnya dengan lembut. Raisa selalu dan akan selalu seperti itu. Tenang, penuh perhitungan, seolah dapat menguasai segala keadaan di sekitarnya. Aku membisu. Amarahku tiba-tiba menggumpal dan membuat lidahku kelu.

“Kamu baik-baik saja?”

Pertanyaan itu meluncur untuk kedua kalinya. Kami bertemu di depan kolam air mancur di alun-alun kota. Tak tampak satu pun polisi syariah. Malam terasa begitu senyap. Hanya suara gemericik air di kolam dan lampu sorot warna-warni yang membuatku dapat beralih perhatian.

“Kala, aku tahu sesuatu telah terjadi padamu.”

Persis sama dengan adegan yang kamu lihat di rumah sakit sepuluh tahun yang lalu. Ia memegang tanganku. Aku hanya membeku. Ia mengucapkan kata-kata yang panjang dan tenang dan lembut. Kedewasaannya selalu berhasil meruntuhkan egoku. Mataku basah. Perlahan ia mendekapku dan kening kami bertemu.

Fana, maafkan aku.

Maafkan aku harus menceritakan ini padamu. Aku hanya ingin jujur padamu. Aku mempercayaimu. Aku berharap kamu tak lagi meledak dan bisa berpikir lebih tenang. Masing-masing dari kita telah bertemu dengan diri kita yang lain, baik di masa lalu dan masa depan, baik di masamu maupun di masaku. Kita sama-sama tak siap menghadapi kejutan-kejutan ini.

Malam itu Raisa menawarkan komitmen kembali. Ia tersadar bahwa masa lalu kami terlalu panjang untuk dienyahkan begitu saja. Dengan kematangan yang aneh, aku susah menjelaskan ini: ia menawarkan pernikahan padaku selepas kami lulus kuliah. Aku tak menjawab apa pun. Masih terlalu menyakitkan mengingat ia beberapa bulan yang lalu melemparkanku ke lubang yang sangat gelap, yang bahkan aku sendiri tak membayangkan akan bisa keluar dari lubang tersebut.

Saat itulah, kamu—ya, kamu, Witfana—seperti Alice in Wonderland, tiba-tiba muncul, melongok ke dalam lubang dan menyapaku dengan riang. Mengajakku berpetualang ke duniamu.

Fana, bolehkah aku mendengar suaramu langsung?

Aku baru saja mendapat kabar bahwa profesor senior itu telah menemukan sebuah teori rumit yang membuat kita yang berbeda dimensi ruang dan waktu dapat saling menelepon. Kita resmi menjadi kelinci percobaan mereka, jika kamu mau. Aku lampirkan petunjuk teknis yang semoga mudah kamu pahami dan ikuti agar app kita dapat tersambung kembali dengan fitur layanan telepon. Sekarang, kisah kita ada di tanganmu. Semoga tiada ujung.

 

Aku menunggumu,

 

Kala

Baca cerita berikutnya di sini

Exit mobile version