Memahami Takdir, Azab, dan Bencana dari Gundulmu

MOJOK.CO – Lah kok enak menuding terdampak bencana sebagai sebab perilaku maksiat sampai disebut kena azab, emang siapa elu? Pejabat presensi neraka?

“Takdir, gundulmu!”

Demikian yang terlintas di benak saya ketika membaca postingan orang ngata-ngatain bahwa bencana di Lombok dan Palu juga jatuhnya pesawat Lion Air adalah takdir bagi orang-orang yang berbuat maksiat.

Namun karena saya seorang praktisi kesehatan yang harus menjaga etika pergaulan, harus jaim, harus terkesan intelek dan sabar, maka kalimat itu saya biarkan melintas tanpa keluar dari mulut—tapi lewat tulisan.

Dalam Islam, tafsir terhadap kata takdir itu bermacam rupa. Bisa dimaknai sebagai sebuah ketetapan Tuhan yang tidak mungkin diubah, seperti kamu lahir sebagai manusia bukan kambing, manusia yang lahir di Jawa bukan Amerika. Tafsir semacam ini disebut tafsir ala Jabariyah.

Di sisi lain takdir juga bisa dimaknai sebagai nasib yang bisa diperjuangkan. Tafsir kedua ini berlandaskan ayat yang menyebutkan bahwa Tuhan tidak akan mengubah kondisi suatu kecuali mereka mau berubah. Ini disebut tafsir ala Qadariyah.

Nah sekarang berarti tinggal penempatan tafsir itu, toh? Kapan pakai jabariyah kapan pakai qadariyah.

Takdir, dalam makna jabariyah, merupakan kata-kata sakti yang bisa meredam kesedihan, kemarahan dan tangisan korban bencana. “Yah, apa boleh buat? Ini sudah takdir, mari kita ikhlaskan saja.”

Pada poin ini takdir menjadi semacam afirmasi kepasrahan dan penguatan batin para korban dan orang-orang yang mengalami kehilangan. Sebagai bentuk penerimaan agar tidak merasakan penderitaan berkepanjangan.

Namun di sisi lain, penggunaan kata takdir ala jabariyah ini juga bisa dipakai untuk lari dari kesalahan.

Misal, pejabat yang bilang ke masyarakat terdampak banjir, “Sabar bapak-ibu, ini sudah takdir, mari terus bersabar dan berdoa agar bencana ini segera berakhir.” Sambil mewek sementara dia tetap mengijinkan pembalakan hutan dan tidak melakukan tata kelola air dan sampah secara baik.

Atau ucapan pelaku korupsi yang percaya dirinya sedang diuji, “Ini sudah takdir, ini sebuah ujian. Semoga saya bisa ikhlas.”

Padahal penanggung jawab kesalahan ya mestinya bilang “maaf” bukan “takdir”. Pada kategori ini, seharusnya yang dipakai adalah tafsir qadariyah. Dengan demikian mereka harus berusaha sekuat tenaga agar mencegah terjadinya kesalahan atau kekeliruan, bukan malah pasrah padahal mereka punya pilihan untuk berbuat lebih baik.

Yang lebih bikin ngenes adalah kata “takdir” yang dibumbui dengan: Bagi orang-orang yang berbuat maksiat. Ini merupakan azab setelah bakar bendera, setelah ada pesta LGBT, setelah salah pilih pemimpin, dan sebagainya.

Hal semacam ini kalau untuk konsumsi pribadi, self-reminder atau apalah, ya nggak ada masalah. Jadi kamu yakin kamu tidak berada di pihak bakar bendera, tidak di pihak produk-produk pendukung LGBT, atau bukan di sisi pemilih pemimpin yang tidak kamu sukai, ya itu nggak masalah karena hak kamu. Malah saya dukung. Tapi kalau itu dipakai untuk menuding para korban sebagai akibat dari adanya pelaku maksiat sampai menganggap salah satu korban adalah terduga kena azab, siapa elo? Pejabat presensi neraka?

Oleh sebab itu, ingin rasanya membisik ke telinga para orang-orang tersebut dengan bisikan penuh haru, “Berempatilah sejenak. Kalau kamu percaya azab, ya sudah yakini saja sendiri, tak usah kau umbar-umbar karena tuduhanmu malah bisa menyakiti lebih banyak orang yang sedang berduka.”

Saya lebih khawatir lagi, jangan-jangan ada terbersit sedikit kebahagiaan di hatimu waktu dengar ada musibah di negeri ini. “Nah, bener kan kata ane. Bakar bendera sih. Kriminalisasi ulama sih.”

Penyakit standar ganda semacam ini rupanya tidak hanya menjangkiti para koruptor, tapi juga sudah menular ke akar rumputnya. Kalau musibah menimpa diri sendiri disebut cobaan, kalau menimpa orang lain disebut azab. Apa musti keluarga situ yang terkena bencana agar tidak menyebut para korban sebagai tervonis azab?

Saya jadi bertanya-tanya, apa yang yang sebenarnya diajarkan kepada mereka oleh para guru ngajinya? Kepada siapa mereka belajar agama? Apakah kepada penceramah yang kalau ngaji dua jam, isi keagamaannya cuma lima menit tapi sisanya hanya berisi cacian dan kebencian?

Bicara soal bencana, seperti halnya ngomongin hal lainnya, harus berlandaskan pada perspektif manusia. Oleh karena itu, perlu penjelasan logika yang runtut agar tidak cuma sedikit-sedikit berlandas pada tuduhan-tuduhan dari awan imajinasi.

Kita ambil contoh. Belakangan ini ada saja orang yang menghubung-hubungkan gempa besar di Yogyakarta pada 2006 silam dengan perilaku animisme dinamisme yang masih dilakukan di daerah ini. Seperti penggunaan sesaji, sedekah laut, dan sebagainya.

Padahal, kalau kita sebentar saja mau googling, gempa di kawasan Yogyakarta sudah terjadi berulang-ulang selama ribuan tahun sebelum Yogyakarta ada. Artinya, sebelum ada sesaji dan sebagainya ada di kawasan ini, gempa sudah jadi kegiatan rutinan. Tentu dalam tempo ratusan sampai ribuan tahun.

Nah, gempa pada prinsipnya merupakan fenomena alam biasa yang kemudian menjadi bencana ketika berinteraksi dengan manusia. Apalagi kalau sampai memakan korban jiwa. Gempa tidak akan jadi bencana jika yang terdampak cuma hewan-hewan atau rerumputan yang bergoyang.

Oleh sebab itu, “gempa” mau ada manusia atau tidak tetaplah terjadi. Hanya saja akan tidak tepat kalau mengatakan “bencana” saat wilayah Yogyakarta masih berwujud hutan belantara tanpa ada penghuni manusianya.

Menafsirkan bahwa gempa hanya merupakan akibat dari maksiat merupakan kesalahan logika post hoc ergo propter hoc.

Artinya, menganggap sesuatu yang terjadi duluan merupakan penyebab sesuatu yang terjadi kemudian. Ini seperti kamu kesandung batu, mengumpat, lalu turun hujan. Dari hal tersebut kemudian kamu menyimpulkan turunnya hujan karena kamu kesandung atau mengumpat.

Betul ada maksiat, betul ada gempa. Tapi jawabannya B: benar, benar, tapi tidak mesti berhubungan. Kecuali, kamu memasukkan unsur “membangun rumah secara ngawur dan tak tahan gempa” sebagai salah satu bentuk dari kemaksiatan.

Eh, tapi kan menurut kitab suci, negeri Sodom dan Gomora dihancurkan Tuhan karena perilaku LGBT? Betul.

Tuhan berhak menghukum hambanya yang tidak taat. Tapi bukan berarti kamu serta-merta berhak menafsirkan secara sembarangan seraya menuduh sebuah kaum sama dengan rakyat Sodom dan Gomora. Sebab, kisah negeri Sodom di satu sisi, tafsir gegabahmu ada di sisi lainnya.

Lagian, kalau kamu muslim silakan coba buka kitab suci kita bersama-sama. Di dalam Al-Quran ada banyak kata yang terkait dengan bencana. Ada mushibah, bala’, fitnah, ‘azab, fasad, halak, tadmir, tamziq, iqab, dan nazilah, dengan makna, penempatan dan penggunaan yang berbeda-beda.

Sekarang masalahnya, apa kapasitas kita sebagai hamba yang penuh kebodohan ini sampai berani menyatakan dengan penuh kepastian bahwa bencana yang terjadi pasti berarti ‘azab?

Lalu kamu taruh ke mana ayat-ayat lain yang menggunakan istilah selain ‘azab? Apakah hanya karena yang kena bukan teman atau saudaramu? Apakah hanya karena yang mengalami tragedi itu merupakan orang-orang yang berseberangan denganmu?

Kalau iya, ingin sekali membisiki telingamu dengan kalimat yang lembut namun jelas, “Gundulmu!”

Exit mobile version