Dengan Lima Ribu Bisa Makan Apa di Jogja?  

MOJOK.COSering saya mendengar orang berkata, harga kuliner di Jogja relatif lebih murah bila dibanding kota lain. Tertarik untuk membuktikan hal itu, saya kemudian berkeliling ke beberapa warung dengan satu tujuan; berburu makanan yang harganya kisaran lima ribu.

Pagi itu, saya mengawali perburuan dengan mampir ke Warung Basmallah yang terletak di kawasan Jalan Kaliurang Km 14,5 Yogyakarta. Dibanding warung-warung lain di sekitar jalan itu, Basmallah memang termasuk yang rajin buka pagi.

Begitu masuk, saya langsung melirik harga yang dicantumkan di menu Warung Basmallah dan mulai mengalkulasikannya. Nasi tiga ribu, berarti kalau mau makan pas lima ribu, paling tidak mesti pakai lauk tempe yang satunya harga seribu atau sosis yang seharga dua ribu.

Sebelum saya memutuskan untuk memesan makanan, saya bertanya pada salah seorang pelayan warung, “Mbak, kok sayurnya nggak dicantumin di menu?”

“Oh, sayurnya gratis Mas, sambelnya juga,” jawabnya. “Kalau nasinya ambil sendiri.”

“Berarti dengan tiga ribu, bisa ambil nasi sepuasnya nih?”

“Iya, Mas.” Pelayan itu mengangguk.

Pagi itu, saya cuma mengambil dua centong nasi. Ini saya lakukan semata-mata karena ingin menyisakan ruang dalam perut untuk berburu makanan lagi.

Untuk sayurnya, saya memilih tumis kacang, sementara lauknya dua tempe ekstra besar. Tak lupa saya mengoleskan sambal kecap di seluruh permukaan nasi, kemudian saya mengambil sedikit sambal tomat. Terakhir, saya memesan segelas air tawar. Sehingga, di warung itu saya betul-betul menghabiskan uang lima ribu. Pas.

Setelah menghabiskan makanan di Warung Basmallah, saya kemudian melanjutkan perburuan. Awalnya saya ingin mencoba jajanan pasar, tapi di tengah jalan, mata saya langsung disodori sebuah warung bakso yang spanduknya bertuliskan “Bakso Kerikil Rp5.000” di bawahnya lagi ada tambahan tulisan “Mie Ayam Rp5.000”.

Sontak, saya berhenti di depan warung yang namanya “Bakso Mandala” itu. Letaknya di daerah Gentan, sekitar Jalan Kaliurang Km 10. Warung itu ukurannya relatif kecil. Dalam ruang makannya saja cuma disediakan tak lebih dari dua belas meja. Setiap pelanggan yang datang juga harus duduk lesehan.

Penjaga Bakso Mandala adalah seorang lelaki tua yang wajahnya tampak sedikit galak. Waktu saya bertanya apa bisa pesan separuh porsi, lelaki itu menjawabnya dengan judes, “Ya, nggak bisa Mas.”

Saya bukannya sekadar iseng. Dulu, waktu kecil saya biasa membeli bakso atau mie ayam separuh porsi saja. Sudah lama saya tak mencoba membeli separuh, jadi harap maklum kalau saya bertanya begitu.

“Di sini yang harganya lima ribu cuma bakso kerikil, Pak?” tanya saya.

“Iya, Mas,” jawabnya.

“Lho, itu mie ayamnya?”

“Kan sudah dicoret, Mas.”

Saya lalu melihat spanduk itu lebih cermat lagi. Memang, pada tulisan mie ayam sudah dicoret tanda silang berwarna merah. Hanya saja agak pudar. Karena sudah terlanjur berhenti dan sok-sok nanya, maka saya pun membeli satu porsi bakso kerikil.

Walau harganya cuma lima ribu, tapi jumlah bakso dalam mangkok lumayan banyak. Ada belasan, mungkin setara dengan bila kamu membeli cilok di pinggir jalan dengan harga yang sama. Bedanya, nilai lebih bakso itu ada di penambahan mie dan racikan kuah, juga daging yang cukup terasa di dalamnya.

Sekilas, bakso kecil yang jumlahnya banyak itu seperti kerikil dalam kuah. Saya menduga inilah asal-usul nama julukannya. Sebetulnya sama sih, dengan bakso-bakso pada umumnya, cuma menurut saya, bapak itu sedikit kreatif saja menamai dagangannya.

Begitu selesai menyantap bakso-bakso mungil itu, saya kembali tancap gas. Kali ini, saya mencari jajanan pasar, tentu sambil menikmati jalan pagi Jogja yang tidak terlalu macet. Saya kemudian berhenti di depan Universitas Sanata Dharma. Di sana, berjejer para pedagang jajanan pasar. Saya menuju ke sebuah lapak yang dijaga seorang perempuan paruh baya.

Dan seperti sebelumnya, saya pun mulai bertanya, “Harga klepon berapaan, Bu?”

“Seribu lima ratus saja, Nak,” jawabnya.

“Kalau kue lapis?”

“Sama.”

“Onde-ondenya juga?”

Perempuan itu mengangguk.

Saya pun membeli tiga jajanan itu lalu duduk-duduk santai. Saya beli masing-masing satu. Jadi, totalnya lima ribu dapat kembalian lima ratus.

Setelah makan nasi yang banyak, ditambah bakso, dan tiga macam jajanan pasar, perut saya mulai terasa berat. Tapi, saya masih ingin berburu makanan yang kisaran harganya lima ribu atau di bawahnya. Saya berpikir untuk mencari makanan yang agak ringan di perut. Saya kemudian teringat dengan satu makanan legendaris ala mahasiswa Jogja yang gemar nangkring di warung burjo. Makanan itu tak lain ialah mie instan.

Mie instan adalah penyelamat umat, khususnya mahasiswa yang krisis uang di penghujung bulan. Harga matang mie instan di warung burjo juga cuma lima ribu, tapi itu yang tanpa telor. Walau tanpa telor, menurut saya, sebagai sebuah makanan instan seharga lima ribu, mie instan cukup komplit.

Tanpa ragu, saya langung memacu sepeda motor, mencari warung burjo di kawasan Demangan, dekat dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Karena kebetulan saya juga sedang melintasi daerah itu.

Saya akhirnya mampir di Burjo Pribumi Cafe. Di sana, saya langsung memesan satu Mie Goreng Tante (tanpa telor) dan satu gelas air tawar.

Suasana di Pribumi Cafe siang itu cukup sejuk. Barangkali, karena desain tempatnya yang dibuat lebih terbuka, sehingga memungkinkan udara masuk. Selain itu, letak burjo itu jauh dari jalan raya sehingga tak ada suara bising kendaraan yang mengganggu. Agak lama, saya termenung menikmati keheningan di burjo itu, sampai Aa’ pemilik burjo mengagetkan saya.

“Monggo, Mas,” kata Aa’ pemilik burjo, sambil menyodorkan semangkuk mie goreng.

Saya menyantap mie seharga lima ribu itu pelan-pelan. Menikmati rasa gurih bumbu dan kriuk bawangnya. Sambil menunggu siang berlalu.

Pukul setengah tiga saya beranjak dari burjo tersebut. Sengaja saya berlama-lama di sana walau cuma memesan satu Indomie dan segelas air tawar. Saya melakukan itu supaya perut saya siap untuk perburuan terakhir: mampir ke angkringan.

Angkringan menjadi salah satu alasan kenapa Jogja sering disebut-sebut murah dan menampilkan corak kesederhanaan. Barangkali, karena konsepnya yang hanya bermodal gerobak dan tempat duduk memanjang.

Harga yang dipatok di angkringan juga murah, satu nasi kucing umumnya dihargai kisaran dua ribu. Kalau gorengannya, per item lima ratus. Hanya sate-satean saja yang berharga di atas dua ribuan.

Sore itu, setelah melalui kemacetan yang cukup menjengkelkan, saya akhirnya mampir di sebuah angkringan di kawasan Jalan Pandanaran. Saya memesan dua nasi kucing yang isinya sambal teri, dua gorengan tempe, dan lagi-lagi, segelas air tawar.

Sambal teri memang juara dalam hal membangkitkan rasa lapar. Perut saya yang sudah kemasukan beraneka makanan sejak pagi pun takluk di hadapannya. Apalagi, harga yang murah meriah, membuat saya makan tanpa pusing. Hanya saya ingat nasehat seorang teman, “Angkringan memang murah, tapi jangan salah. Angkringan bisa membuatmu terlena.”

Omongan teman saya ini kalau dipikir ada benarnya juga. Sering saya makan di angkringan, main comat-comot nasi kucing begitu saja karena merasa di sana murah dan kemasan yang kecil cenderung membuat saya tidak mudah puas. Padahal, ketika dijumlah saya kadang bisa habis hingga 20 ribuan. Tapi, waktu itu untunglah saya bisa mengerem hasrat kerakusan saya. Walhasil, saya berhasil makan di angkringan tanpa mengeluarkan uang lebih dari lima ribu. Jujur, saya agak bangga.

Jogja memang kota yang tak pernah sepi dari pendatang. Saban tahun, jumlah mereka terus meningkat. Ada yang sekadar berwisata, ada pula yang menetap untuk waktu lama. Walau demikian, Jogja masih terhitung murah di kantong pendatang, khususnya untuk pelajar seperti saya.

Perburuan saya hari ini berhasil membuktikan bahwa di Jogja, lima ribu masih bisa bikin kenyang, atau kalau memang kenyang itu relatif, paling tidak dengan lima ribu kita masih bisa beli makan.

 

Exit mobile version