Gowes Dulu dan Kini: Sempat Kelihatan Keren Sekarang Kena Stigma Nyebelin

Gowes Dulu dan Kini: Sempat Kelihatan Keren Sekarang Kena Stigma Nyebelin

Gowes Dulu dan Kini: Sempat Kelihatan Keren Sekarang Kena Stigma Nyebelin

MOJOK.COKira-kira bedanya orang yang gowes udah lama sama yang baru ngikutin tren pada masa pandemi apa aja sih? Kami coba ngikutin mereka.

Akhir-akhir ini tren gowes banyak mendapat sorotan di berbagai media sebagai fenomena global pada masa pandemi yang cenderung positif. Terutama kalau kita ngomongin soal upaya hidup sehat di tengah lonjakan pasien corona dan menurunnya polusi udara di jalan-jalan perkotaan.

Namun sebagaimana tren-tren lain yang pernah mampir di hidup kita, popularitas gowes pun mengundang polemik tersendiri. Khususnya, soal tata tertib. Bukan sekali dua kali, muncul video pesepeda yang ugal-ugalan sewaktu melaju di jalan.

Dari mulai nerobos lampu merah, masukin sepeda ke dalam kafe seenak udel sendiri, sampai rombongan yang kemruyuk menuhin jalan seolah itu jalan bikinan mbah buyutnya.

Alhasil sekarang ini pesepeda yang baru aktif di masa pandemi cenderung dianggap cuma ngikut tren, kerenan-kerenan, dan malah berpotensi bikin jalan makin semerawut.

Sementara di satu sisi, para pesepeda yang sudah aktif gowes jauh sebelum pandemi rata-rata menganggap ulah ngeselin segelintir pesepeda musiman itu bisa mengancam citra seluruh pesepeda. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Melihat femoena tersebut, saya pribadi jadi penasaran, kira-kira bedanya orang yang sepedaan lama sama yang ngikutin tren sekarang apa aja sih?

Terus, apa sifat gatheli di jalanan itu memang kecenderungan pemula yang cuma ngikut tren atau ini jangan-jangan fenomena yang bisa dialami siapa saja, bahkan oleh pesepeda yang sudah aktif jauh sebelum pandemi sekalipun?

Untuk menjawabnya, saya kemudian mewawancari sejumlah pesepeda. Nanya-nanya sambil ngobrol ngalor-ngidul gitulah.

Pesepeda pertama yang saya wawancarai bernama Anang Hidayat (30), warga asal Blunyah, Trimulyo, Sleman. Anang mulai aktif bersepeda sejak April 2020 untuk menemani istrinya yang kala itu juga mulai aktif gowes dan sekaligus mengisi waktu luang selagi WFH.

Sebagai orang yang baru aktif bersepeda secara intens pada masa pandemi ini, Anang melihat jarak temput menjadi pembeda yang cukup kentara antara dirinya dengan teman-temannya yang sudah cukup lawa menjadikan gowes sebagai kegiatan olah raganya.

“Pernah diajak gowes cukup jauh rutenya sama temen-temen kantor. Tapi karena tidak pernah gowes, akhirnya malah kewer alias ketinggalan,” tuturnya sembari tertawa. “Biasa, orang baru diospek dulu to, Mas.”

Selain soal jarak tempuh, Anang juga melihat pesepeda yang lebih lawas akan cenderung mementingkan keamanan dan kenyamanan bersepeda. Bukan asal beli lalu pancal. Misalnya, menyesuaikan sepeda dengan tinggi badannya. Juga senantiasa menggunakan helm standar gowes, celana berpadding, sepatu, alat pengukur detak jantung, dan lain-lain.

“Kalau sudah pro malah biasanya tahu tata cara dan unggah-ungguh di jalan juga, Mas,” tambahnya.

Unggah-ungguh di jalan yang dimaksud, salah satunya, seperti jangan ribut di jalan. Anang sendiri baru-baru ini menjumpai beberapa pesepeda yang kelakuannya bikin gedek sewaktu gowes ke tanjakan Jalan Turi. Lha gimana nggak gedek, udahlah menuhin jalan dengan posisi berjejer tiga baris, eh ditambah gandengan tangan juga sambil fota-foto.

Selain tertib di jalan, unggah-ungguh selanjutnya adalah memberi sapaan antarpesepeda dengan membunyikan bel atau menganggukkan kepala seraya tersenyum. Baik ketika papasan atau pas mau nyalip. Semacam etika nggak tertulis dalam bersepeda di jalan.

Risky Wahyudi (26), pesepeda asal Riau yang mukim lama di Jogja, membenarkan hal itu. Risky sudah aktif bersepeda sejak awal 2019 dan baginya menyapa sesama pesepeda di jalan merupakan salah satu kesenangan dalam gowes. Lebih-lebih ketika yang diberi salam, membalasnya serupa.

“Tapi nggak tahu ini aku yang emang baper atau gimana, cuma belakangan ini, aku udah beberapa kali ngasih salam ke pesepeda dan nggak dibales,” ungkap Risky.

Menurut Risky, seumur-umur dirinya gowes, biasanya cuma pesepeda road bike yang nggak bales sapaannya.

“Itu juga mungkin karena mereka pacu cepet-cepetan, jadi nggak sempat merhatiin lingkungan sekitarnya atau memang aku yang secara sosial bukan kelas mereka. Yah, aku nggak mau menggeneralisir sih,” katanya.

Pesepeda lain yang juga sudah lama aktif bersepeda jauh sebelum pandemi, Denny Afiriyanto (35), punya pemakluman kepada para pesepeda yang nggak balas salam di jalan. Lelaki yang menjadi salah satu pendiri komunitas Spartans Gowes itu menjelaskan ada beberapa kemungkinan yang bikin orang nggak mau membalas salam kita sewaktu bersepeda.

Misalnya, Denny mencontohkan, ketika kita berpapasan dengan pesepeda lain di jalan yang menanjak. Taruhlah posisi kita saat itu turun sedangkan si orang tersebut naik. Andai pas kita sapa menggunakan bel dia nggak balas, itu bisa jadi karena memang dia lagi capek nanjak. Jadi nggak sempet noleh kanan-kiri.

Sementara itu, menyoal pesepeda yang ugal-ugalan atau tidak tahu tata tertib di jalan, Denny mencoba melihatnya sebagai fenomena yang umum terjadi. Bukan hanya ketika bersepeda jadi tren gaya hidup di masa pandemi. Sama saja seperti pengendara sepeda motor atau mobil. Ada yang ugal-ugalan dan ada yang tertib.

Oleh karenanya, ia berpesan supaya orang-orang tidak langsung percaya dengan postingan di media sosial. Sepengalaman Denny sebagai pesepeda, kadang apa yang direkam dan disebar netizen di media sosial sengaja di-framing jelek. Padahal belum tentu.

“Kadang ada viral pesepeda sampai tiga jejer gitu, saya sering skeptis apakah rekamannya full atau nggak? Soalnya, kadang bertiga itu karena bisa aja yang satu mau nyalip. Tapi pas udah mau nyalip tenaganya habis, jadi barengan gitu, ngancing dia.”

Denny sendiri pernah punya pengalaman jadi korban zalim netizen. Saat bersepeda melintasi kawasan Ring Road UMY, Denny mengambil jalur cepat karena kebetulan jalur lambatnya sedang diperbaiki. Tiba-tiba dari belakang ada yang ngerekam dia pakai ponsel sambil bilang, “Ini lho gayanya sepeda, nggak mau di jalur lambat, dia makan jalur cepat.”

“Lha matane, diperbaiki kok ya nggak bisa lewat. Lewat situ ya bannya hancur,” ujar Denny sambil tertawa.

Selanjutnya bisa ditebak. Tidak lama kemudian, Denny mendapati rekamannya tersebut di medsos Info Cegatan Jogja (ICJ) berikut caci maki netizen yang memenuhi kolom komentarnya.

Framing semacam itu, bagi Denny, selain memperburuk citra gowes juga menambah stigma di kalangan pengendara sepeda motor dan mobil yang memang sudah sejak dulu sensi dengan pesepeda.

Padahal, di sisi lain, banyak kecelakaan lalu lintas yang menimpa pesepeda tidak jarang juga karena kecerobohan pengendara motor atau mobil. Kadang pesepedanya sudah hati-hati milih jalan di pinggir, tapi masih juga kena makian atau malah ditabrak.

Animo masyarakat terhadap gowes yang sedang tinggi-tingginya memang baik. Apa lagi di tengah suasana pandemi ini, bersepeda bisa jadi salah satu upaya menjaga kesehatan dan juga mengusir rasa bosan karena jarang kumpul dengan orang lain.

Walaupun orang yang baru aktif bersepeda di masa pandemi ini cenderung bakal dikatai cuma ngikuti tren, tapi untungnya sih banyak yang cuek aja.

Yah, yang penting selalu jaga ketertiban di jalan dan hati-hati sama netizen. Jangan sampai jadi konten buat diunggah ke sosmed terus dimaki rame-rame.

BACA JUGA 5 Perilaku Pengendara Motor yang Ultra-Mega-Ultimate Menyebalkannya atau tulisan LIPUTAN lainnya.

Exit mobile version