Suka atau Tidak, Si Doel Memang Tipikal Lelaki yang Tidak Pantas Sukses

si doel anak sekolahan ulasan karakter si doel mojok.co sukses

si doel anak sekolahan ulasan karakter si doel mojok.co sukses

MOJOK.COSi Doel memang anak berpendidikan. Andalan dan kebanggaan keluarga. Namun kalau kelak ternyata ia tak sukses, maka itu memang sudah seharusnya.

Dalam serial legendaris Si Doel Anak Sekolahan, sosok Kasdoellah alias Doel digambarkan sebagai sosok cerdas dan terampil. Sosok lelananging jagad. Cakep (konon katanya, di jaman segitu, kumis ala-ala Doel itu memang mempesona), berpendidikan, taat pada orang tua, berwibawa, bisa diandalkan, menjadi rebutan banyak perempuan, dan tentu saja, saleh. Kerjaannya saja sembahyang dan mengaji.

Sebagai sosok pria yang nyaris sempurna–saya katakan nyaris karena ia tidak kaya, Doel benar-benar mampu menjadi gambaran yang sahih atas sosok lelaki Betawi idaman.

Kendati demikian, kelak, pada perkembangannya, nasib Doel ternyata nggak baik-baik amat. Pernikahannya dengan Sarah pada akhirnya kandas. Nasib ekonominya juga tak mapan-mapan amat sebab ia bahkan sampai menganggur dan sempat bekerja serabutan.

Kalau mau merunut pada karakter sosok Doel, ketidaksuksesan Doel memang cukup beralasan. Doel memanglah tipikal orang yang susah bahkan tidak layak untuk sukses.

Ini serius, setidaknya ada beberapa karakter Si Doel yang memang membuat seseorang susah untuk maju.

Goblok

“Kadang gue males sekolah tinggi-tinggi, takut jadi dongo kaya elu,” kata Mandra suatu kali kepada Doel. Pernyataan Mandra tersebut boleh jadi tak salah-salah amat, bahkan cenderung benar. Si Doel, pada titik tertentu memang punya kedongoannya sendiri.

Bahwa Doel memang unggul di bidang akademik, itu jelas. Bahwa ia piawai dalam urusan reparasi mesin apa pun, dari mesin pres batako sampai mesin traktor, bahkan mungkin mesin laser sunat sekalipun, itu juga tak bisa dibantah. Namun, urusan di luar mesin, Doel itu guobloknya setengah mampus.

Salah satu bukti kegoblokan Doel terjadi dalam salah satu fragmen ikonik ketika rombongan keluarga Si Doel mau ziarah dan menggelar doa bersama di dalam Stadion Gelora Bung Karno di depan gawang saat masih ada pertandingan. Sebagai orang berpendidikan, ia seharusnya bisa menegor Babe dan yang lainnya sesaat sebelum masuk ke lapangan agar tidak melakukan hal konyol tersebut.

Tapi apa yang terjadi? Doel justru ikutan-ikutan, dan bahkan sempat-sempatnya membantu Babe menggelar tikar. Kurang goblok gimana coba?

Naif

Ini jelas. Sebagai seorang insinyur, Doel terlalu pemilih. Ia tak mau bekerja kalau pekerjaannya tidak sesuai dengan bidang yang ia tekuni, padahal ada banyak tawaran pekerjaan yang mampir.

Ia pemilih sekali soal pekerjaan justru ketika babenya sangat berharap anaknya mendapatkan pekerjaan. Padahal seandainya ia mau menerima pekerjaan tersebut, ia pastilah bakal membahagiakan Babe. Perkara mengembangkan kemampuan di bidang mesin, itu nanti bisa dilakukan sembari jalan. Tapi yah, namanya juga Si Doel. Sudahlah goblok, naif pula.

Jauh sebelum ia lulus dan menjadi tukang Insinyur, ia juga pernah terancam tidak bisa ikut ujian karena tak punya biaya dan menolak bantuan pinjaman uang dari Hans. Katanya ia nggak mau berutang dalam keadaan apa pun. Hal yang tentu saja begitu bodoh, sebab kalau sampai ia gagal ikut ujian dan tidak lulus, babenyalah yang justru akan malu dan repot.

Tidak tegas

Si Doel adalah sosok yang tak tegas dan peragu. Dalam hal apa pun, termasuk urusan asmara. Ia tak pernah menunjukkan ketegasan untuk menentukan mana yang ia pilih: Sarah atau Zaenab. Si Doel bersikap selayaknya seorang fakboi yang gamang dan pada akhirnya justru memberikan angin kepada keduanya.

Doel pun kemudian berada dalam posisi yang sulit. Ia kelak menikahi Sarah dan Zaenah (Sarah dinikahi secara resmi, sedangkan Zaenab secara siri). Ketika kemudian konflik memanas dan  Doel harus memilih untuk menceraikan salah satu pun, Si Doel lagi-lagi tidak tegas.

Ketidaktegasannya itulah yang sebenarnya justru bikin orang lain kerepotan.

Tidak mau berbagi

Sebagai lelaki yang punya pengaruh besar buat keluarga, Doel seharusnya bisa memengaruhi Babe untuk memberikan uang kepada Atun yang sudah sejak lama ingin sekali kursus. Tapi hal tersebut tak pernah ia lakukan. Atun baru mendapatkan uang untuk biaya kursus salon setelah ia nekat menjadi kenek demi mengumpulkan uang agar bisa membayar biaya kursus.

Ia juga enggan berbagi pengetahuan. Bayangkan, Mandra berkali-kali bertanya kepada Doel tentang apa arti kata primitif, namun Doel sama sekali tak pernah menjelaskannya apa arti primitif.

Bukan hanya alokasi uang pendidikan, soal pengetahuan pun, ia malas berbagi.

Seandainya saya jadi Mandra atau Atun, mungkin sudah saya kepret itu mukanya Doel sampai kumisnya berceceran dan pindah ke dagu.

BACA JUGA Kisah Getir Keluarga Si Doel Anak Sekolahan Jika Ditonton Sekarang dan tulisan Agus Mulyadi lainnya.

Exit mobile version