Sebuah Pelajaran Agar Jangan Membanggakan Keramahan Warga Indonesia Secara Berlebihan

tukang becak

MOJOK.COHanya karena sering masuk daftar negara paling ramah di dunia, tidak berarti semua orang Indonesia ramah semuanya.

Keramahan adalah sebuah nilai yang bukan hanya layak dibanggakan, lebih dari itu, ia juga menjadi nilai jual yang mampu meningkatkan kepercayaan diri.

Sudah sejak lama Indonesia dikenal sebagai negara yang ramah penduduknya. Tentu saja ini bukan hanya ukuran yang asumtif. Sudah banyak penelitian maupun survei yang melegitimasi fakta tersebut. Dari survei yang dilakukan sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, sampai survei yang baru dihelat kemarin sore.

Menurut survei yang dilakukan situs Rough Guides pada pembacanya 2017 lalu, misalnya, disebutkan beberapa negara yang penduduk lokalnya dianggap paling ramah terhadap turis. Dalam daftar tersebut, Indonesia menempati peringkat keenam.

Sementara itu, berdasarkan survei Expat Insider 2019 yang dilakukan InterNations terhadap 20.259 expatriat yang tinggal di berbagai negara di seluruh dunia, menempatkan Indonesia sebagai peringkat kedelapan negara paling ramah.

Pokoknya, dari tahun ke tahun, keramahan warga Indonesia selalu tak bisa dibantah.

Perkara keramahan itulah yang pada suatu ketika, saya ceritakan dan saya banggakan berkali-kali kepada empat warga Filipina saat saya diminta untuk menemani mereka berlibur selama dua hari di Jogja dan Magelang beberapa tahun yang lalu.

Saya sedang ikut dalam semacam acara temu blogger Asia Tenggara di Solo saat itu. Beberapa blogger dari Filipina tidak ingin langsung pulang saat acara selesai, mereka ingin berlibur barang sehari dua hari di Jogja dan Magelang sebelum terbang kembali ke negara mereka.

Sebagai satu-satunya blogger dari Magelang yang tersisa (empat blogger dari Magelang lainnya sudah lebih dulu pulang) saat itu, saya terpaksa harus menjadi tour guide bagi orang-orang Filipina itu.

Maka, saya terima belaka tugas itu.

Sepanjang perjalanan dari Solo ke Jogja naik kereta, saya berkali-kali menceritakan rekam jejak keramahan orang Indonesia kepada kawan-kawan baru dari Filipina itu. Betapa orang Indonesia itu ramahnya setengah mampus. Betapa orang Indonesia itu punya stok senyum yang melimpah. Betapa banyak orang asing yang jatuh cinta pada Indonesia karena kehangatan warga lokalnya. Dsb… dsb…

Perjalanan satu jam terasa singkat. Kami berlima kemudian tiba di stasiun untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke hotel.

Dari stasiun, kami memutuskan naik becak. Kami menyewa dua becak. Satu buat tiga orang, satu lagi buat dua sisanya.

Di atas becak, saya masih tetap melanjutkan “kuliah umum” saya tentang keramahan orang-orang Indonesia itu. Dari mulai kebiasaan, sampai asumsi-asumsi ngawur saya tentang kenapa orang-orang Indonesia bisa menjadi warga yang ramah.

Obrolan tentang keramahan itu tampaknya bakal berjalan dengan sukses. Terlebih saat saya mulai menangkap tanda-tanda kalau mereka memancarkan tanda-tanda kekaguman.

Tema tentang keramahan yang sudah saya bangun sejak dari kereta itu kemudian runtuh karena satu hal: tukang becak yang mengantarkan kami.

Saat becak melewati jalan kampung yang dipenuhi oleh anak-anak, terpancinglah emosi dari tukang becak yang mengantarkan kami.

“Minggir kabeh!” teriaknya dengan galak dan pasang tampang emosi.

“Wooo, bocah goblok!” teriaknya lagi.

Saya dan dua kawan Filipina saya menoleh ke belakang. Tampak sekali wajah bengis yang terpancar jelas pada gurat-gurat bapak tukang becak ini.

“Wah, modiar iki,” batin saya.

Setiap kali becak melewati jalanan yang penuh dengan anak kecil atau jalan yang tidak mulus, si bapak tukang becak mengumpat melulu.

Saya jadi malu dengan kawan Filipina saya. Tengsin. Sebab penjelasan saya soal keramahan warga Indonesia langsung menjadi omong kosong belaka karena ulah tukang becak kebanggaan kita ini.

Tentu saja saya merasa apes, sebab selama ini, sepanjang pengalaman saya naik becak, saya hampir tak pernah mendapatkan tukang becak yang emosional begini. Hampir semua tukang becak yang pernah saya tumpangi adalah sosok yang ramah dan enak diajak ngobrol. Ndilalah pas harus bawa penumpang luar negeri kayak begini kok ya dapetnya tukang becak yang juteknya setengah mampus.

“Ada apa dengan tukang becaknya? apa yang tadi dia katakan kepada anak-anak kecil itu?” tanya kawan manca saya.

Saya hanya meringis. Saya ingin menjawab “Dia bilang ‘Halo anak-anak manis,’ tadi,” namun segera saya urungkan. Sebab saya yakin, di belahan bumi mana pun, tidak ada orang yang mengatakan “Halo anak-anak manis” dengan mata melotot dan kulit muka yang keras.

Dalam hati saya berharap, semoga di Filipina, ada banyak tukang becak atau supir taksi dengan emosi berlebih seperti bapak tukang becak kebanggaan kami itu.

Exit mobile version