Romantisme Sepeda yang Selalu Beririsan dengan Kemiskinan

sepeda

MOJOK.CODulu sepeda identik dengan kendaraan kelas bawah, kini semuanya berbeda.

Demam sepeda tampaknya memang sedang mencapai momentum puncaknya. Ia menjadi sebuah gaya hidup baru bagi banyak orang. Jumlah pesepeda yang lalu lalang di jalanan semakin banyak. Toko-toko sepeda ketiban pulung. Penjualan sepeda naik pesat. Dari sepeda paling murahan yang sadelnya keras seperti bangku SD Inpres, sampai sepeda super mahal yang dengan melihat jeruji rodanya saja sudah cukup untuk membuat orang bergaji pas-pasan langsung minder dan lebih memilih membeli gerobak celeng saja.

Banyaknya jumlah pengguna sepeda yang memenuhi jalan raya bahkan sampai membuat Kemenhub menyusun regulasi khusus yang ditujukan untuk para pengguna sepeda. Hal yang selama ini mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Dalam kondisi begini, rasanya pas sekali buat mengingat romantisme masa lalu kita akan sepeda. Tak bisa tidak, bagi hampir sebagian besar orang, sepeda adalah kendaraan pertama mereka.

Saya ingat betul, sepeda yang saya punya adalah sebuah sepeda kecil bermerk Subaru yang jelas imitasi. Sepeda kecil yang pembeliannya pastilah memaksa bapak saya untuk pontang-panting tunjang-palang dalam bekerja. Maklum saja, sepeda kecil, setidakbermerek apa pun, pastilah tetap menjadi komoditi yang mahal bagi keuangan keluarga kami saat itu.

Sepeda kecil berwarna ungu dengan dua roda kecil yang terpasang di samping kanan dan kiri roda bagian belakang itu tampak begitu memukau di mata saya.

Sebagai keluarga melarat, sepeda ungu itu lebih dari cukup untuk meningkatkan kepercayaan diri saya dalam lingkaran pergaulan masa kecil yang terasa begitu hedon pada kadar dan masanya itu.

Kelak, usia sepeda ungu tersebut boleh dibilang kelewat awet. Ehm, lebih tepatnya, dipaksa awet. Sebab, ketika kawan-kawan sebaya saya sudah mulai berganti sepeda yang lebih besar, sepeda saya masih tetap sepeda kecil ungu itu. Bedanya hanya dua roda kecil yang ada di samping kiri kanan roda bagian belakang itu sudah tak ada.

Saya bukannya tak memaksa bapak agar membelikan saya sepeda yang lebih besar, hanya saja, paksaan dari saya ternyata memang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan paksaan kebutuhan rumah tangga.

Saya baru bisa mendapatkan sepeda yang agak besar setelah saya kelas 2 SMP. Sepeda BMX bermerek Wim Cycle berwarna kuning ala Partai Berkarya. Sepeda itu dibeli murah seharga 200 ribu dari kawan saya yang tampaknya kepepet butuh duit dan mau berbaik hati menjual sepedanya kepada saya.

Walau harganya murah (untuk ukuran Wim Cycle, 200 ribu adalah harga yang kelewat miring), tetap saja butuh akrobat dan atraksi untuk bisa membelinya.

Saking masih melaratnya keluarga saya, proses pembelian sepeda itu pun sampai memerlukan birokrasi yang panjang dan bertele-tele. Bapak saya hanya punya uang 100 ribu, padahal kawan saya butuh uang cepat. Akhirnya, bapak saya menggadaikan sepeda tersebut di Pegadaian seharga 100 ribu. Pas. 200 ribu.

Saya baru bisa menggunakan sepeda yang sudah saya beli itu sekitar satu bulan berselang setelah bapak saya menebusnya dari pegadaian.

Sepeda kuning yang saya beri nama Wim Cokor itu bisa bertahan lama sampai saya lulus SMA. Kali ini benar-benar tahan lama, bukan dipaksa tahan lama. Maklum, Wim Cycle. Kualitetnya jelas jempolan bila dibandingkan dengan sepeda-sepeda lain yang mereknya tiada familiar itu.

Kalaupun sepeda itu harus tumbang, itu bukan karena rusak, melainkan karena hilang dimaling orang. Saya bersedih sejadi-jadinya saat itu. Lha gimana, sepeda kesayangan je.

Bapak saya kemudian berinisiatif untuk mencari sepeda itu di dekat pasar Gotong Royong yang memang terkenal sebagai tempat maling menjual barang curiannya. Benar saja, sepeda saya ketemu. Maling keparat itu menjual sepeda saya di salah satu penjual di sana. Bapak saya harus menebus 150 ribu saat itu.

Sepeda saya berikutnya adalah sepeda onthel kebo bermerek Hercules yang saya beli dari tetangga saya seharga 400 ribu

Sepeda itu saya beli sekitar tahun 2013 saat saya mulai bekerja di Jogja. Sepeda ini sampai sekarang masih ada dan masih tetap terawat. Tak salah namanya Hercules. Benar-benar sepeda putra Zeus.

Pada masanya, sepeda ini pernah menemani masa-masa sulit saya selama hidup di Jogja. Saya pernah berada di fase tinggal di Jogja tanpa pekerjaan. Padahal saya harus membayar kos dan biaya hidup. Dengan sepeda itulah saya berkeliling Jogja mencari pekerjaan.

Pernah suatu ketika, saya benar-benar tak punya uang untuk makan. Saya pun nekat dan terpaksa pulang ke Magelang mengayuh sepeda. Hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Di Magelang, saya mendapatkan suntikan sedikit dana dari Emak saya yang tak tega dengan kondisi keuangan saya.

Bapak saya yang tak tega melihat saya harus kembali ke Jogja mengayuh sepeda kemudian menemani saya. Kami berdua bergantian membonceng walau tentu saja porsi bapak saya jauh lebih besar sebagai pengayuh ketimbang penumpang.

Entah kenapa, semua narasi tentang sepeda pada diri saya selalu beririsan dengan kemiskinan. Sebuah simbol betapa saya masih melarat karena cukup lama belum juga bisa membeli kendaraan bermotor sehingga terpaksa harus terus setia mengayuh sepeda.

Dunia berputar dengan cepat. Kini, di masa yang unik ini, ketika saya sudah mampu beli motor, sepeda justru menjelma menjadi lambang kekayaan yang baru. Deretan pesepeda yang meramaikan jalanan itu kini didominasi oleh orang-orang yang berkecukupan. Orang-orang yang sanggup membeli sepeda berjuta-juta harganya tanpa harus melalui pegadaian.

Mendadak, saya jadi ingat dengan meme guyonan yang dishare oleh kawan saya di Facebook.

“Biyen aku mlaku. kancane numpak pit. Aku iso tuku pit, kancane numpak motor. Aku iso tuku motor, kancane wis do numpak mobil. Mbasan saiki aku wis iso tuku mobil, kancane malah do nganggo pit meneh. Lha ancene bajingan asu edan ra kathokan, og.”

Ah, segala yang berhubungan dengan kemelaratan memang selalu menggelikan.

Exit mobile version