Sebagai Rakyat yang Mencla-Mencle, Saya Maklum pada Praktik Politik yang Mencla-Mencle Juga

mencla-mencle

MOJOK.COMencla-mencle memanglah sebuah praktik yang sangat “berbudaya”

Tiap kali orang-orang membicarakan tentang kemencla-menclean politisi dalam manuver-manuver mereka terkait dengan ketahanan politik, maka saya, tak bisa tidak, selalu teringat dengan kemencla-menclean hidup saya yang berkaitan dengan dunia politik pula.

Tentu saja saya bukan politisi. Selain tak punya modal sosial dan dana yang cukup, saya juga cukup sadar diri, saya tak punya potongan untuk berpidato di depan khalayak. Kalau saya memaksakan diri menjadi politisi dan nekat berpidato di depan banyak orang, maka itu bakal lebih mirip seorang penjual obat kuat yang sedang menjajakan dagangannya di pasar burung alih-alih seorang politisi yang sedang berorasi tentang visi dan misi politiknya.

Saya tak pernah punya keinginan untuk masuk dalam dunia politik. Kalaupun aktivitas kampanye dihitung sebagai selemah-lemahnya iman dalam dunia politik, maka karier terbesar saya dalam dunia politik adalah karier sebagai seseorang yang pernah mengorganisir kawan-kawan sebayanya untuk berpawai berkampanye keliling kampung mendukung PDI Perjuangan, saat masih SD. Ya, saat masih SD.

Alasan saya mendukung PDI Perjuangan saat itu tentu saja bukan alasan ideologis, melainkan alasan oportunis belaka, sebab saat itu, di kampung saya, partai itulah yang paling banyak pendukungnya dan paling mudah didapatkan ikat kepala dan benderanya. Cukup datang saja ke kios obras-bordir, minta sisa-sisa potongan kain warna merah, gunting memanjang, lalu tulis pakai tipe-x: “Pejah-gesang nderek Bu Mega”. Jadilah kau seorang pendukung PDI Perjuangan.

Kalau saja saat itu Partai Pengemis pimpinan Ang Cit Kong si Pendekar Pengemis Utara itu ikut pemilu dan ternyata berjaya serta bendera dan ikat kepalanya mudah didapatkan juga, niscaya saya pun pasti akan mendukungnya dan dengan senang hati berpawai untuknya.

Pilihan dukungan itu bisa berubah seketika kalau saya dolan ke rumah nenek saya di Kaliangkrik. Sebagai daerah yang cukup punya banyak pondok, partai yang berjaya di sana adalah PKB. Maka, seketika itu pulalah saya juga ikut berkampanye untuk PKB sebab kawan-kawan sebaya saya di Kaliangkrik rajin ikut pawai PKB.

Saya bahkan masih hafal lirik lagu lucu yang dulu dipakai saat kampanye mendukung PKB dulu.

Epiya iya iya, epiye iye iye, aku milih PKB wae.
Nek awan tak jak pawe, mbayare dhewe-dhewe.
Ora ketung ngedol cawete mbok’e.

(Epiya iya iya, epiye iye iye, saya pilih PKB saja)
(Kalau siang diajak pawai, bayarnya sendiri-sendiri)
(Walau sampai harus jual celana dalam punya ibu).

Bayangkan, pagi masih PDI Perjuangan, siang hari ganti jadi PKB.

Kelak, hal yang lebih kompleks terjadi saat saya sudah dewasa dan cukup umur. Di Pileg 2009, saya secara tak terduga diminta untuk menjadi saksi TPS buat Partai Demokrat. Saya mau. Sekali lagi, ini bukan alasan yang ideologis, kali ini, murni alasan duit. Honor jadi saksi ternyata lumayan juga buat nambah uang jajan wabil khusus beli Beng-Beng berkotak-kotak.

Setelah itu, hidup membawa saya untuk menjadi seorang simpatisan PKS. Kalau yang ini, alasannya agak ideologis. Saya dibiayai kursus desain oleh sebuah lembaga yang, walau tidak ada embel-embel partainya, namun saya tahu betul orang-orang di dalamnya merupakan orang-orang yang berafiliasi dengan PKS. Hal tersebut membuat saya mengenal banyak orang-orang PKS yang di mata saya, merupakan orang-orang yang baik dan amanah.

Sebagai seorang simpatisan yang dekat dengan orang-orang PKS, kiprah saya ini nggak main-main. Saya berkali-kali mengisi kelas capacity building bagi kader-kader PKS Jawa Tengah dan Yogyakarta. Saya bahkan pernah menjadi pemateri di acara PKS Muda Jawa Timur. Foto profil Facebook saya bahkan sempat berupa foto dengan background bendera PKS. Apa nggak dahsyat?

Nah, di Pileg 2014, seperti lima tahun sebelumnya, saya kembali menjadi saksi TPS. Kali ini bukan Partai Demokrat, melainkan Gerindra. Tidak seperti saat menjadi saksi buat Partai Demokrat, untuk menjadi saksi buat Gerindra ini, saya ternyata harus didaftarkan menjadi anggota partai. Jadi, secara administratif, sekarang ini, saya masih merupakan kader Partai Gerindra. Ya Tuhan. Kalau saja Prabowo tahu akan hal ini, dia pasti sudah sangat girang dan tidak terlalu bersedih saat dirinya kalah Pilpres sebab partainya punya kader seperti saya.

Sebagai seorang simpatisan PKS dan kader Gerindra (setidaknya secara administratif), di Pilpres 2014, saya seharusnya mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Namun pada kenyataannya, saya ternyata memilih Jokowi. Dan yang paling konyol, salah satu alasan saya mendukung Jokowi adalah karena saya terpengaruh oleh Anies Baswedan. Sosok yang ternyata, pada tahun 2017, maju sebagai sebagai calon gubernur di Pilgub DKI Jakarta dan diusung oleh PKS.

Di Pileg 2019, berbekal keyakinan pada partai baru bernama PSI, saya memutuskan untuk mencoblos kader-kader PSI, sedangkan untuk Pilpresnya, saya golput.

Bayangkan, pernah menghabiskan masa kecil sebagai pendukung PDI Perjuangan dan PKB, kemudian jadi saksi buat Partai Demokrat, lalu jadi simpatisan PKS, kemudian jadi kader Gerindra, lalu pilih Jokowi karena Anies Baswedan, lalu mencoblos kader-kader PSI, lalu golput. Sungguh saya tak pernah menyangka bahwa ada begitu banyak pergolakan kepartaian yang pernah menghiasi hidup saya. Dan sama sekali tidak ada yang namanya konsistensi dalam pergolakan itu.

Itulah kenapa, ketika banyak orang yang bilang bahwa bersatunya Prabowo dan Sandiaga Uno sebagai menterinya Jokowi merupakan bentuk paling nyata kemencla-menclean politik, saya merasa agak masygul untuk ikut mengejek kemencla-menclean tersebut. Sebab pada kenyataannya, saya ternyata tak kalah mencla-menclenya.

Saya merasa, pemerintah yang merupakan hasil dari politik yang mencla-mencle itu salah satunya karena memang banyak rakyatnya yang juga mencla-mencle. Saya salah satunya.

Politik dan pemerintah mah nggak bisa disalahkan. Tentu saja yang salah rakyatnya. Iya dong. Masa pemerintah salah, nggak mungkin banget lah. Ya, kan? Ingat, semua yang bernyawa, pasti bakal merasakan mati… dan tertipu politisi.

Ah, lamat-lamat, saya jadi ingat apa yang pernah dikatakan oleh Thomas Jefferson: “Tak tandur pari…” eh, salah, maksudnya “People have the government they deserve.”

BACA JUGA Belajar Bersyukur dari Kisah Tsutomu Yamaguchi dan artikel Agus Mulyadi lainnya

Exit mobile version