Wahai Kawanku yang Meminjam Buku

buku curhat

Curhat

Dear Gus, Cik, yang saya hormati dan saya banggakan.

Perkenalkan, nama saya Rakasiwi (plis, jangan ganti nama saya dengan Rambat), panggil saja Siwi. Saya asli Bogor, dan sekarang sedang berusaha menyelesaikan kuliah saya di salah satu Universitas Negeri di Semarang.

Langsung saja ya Gus, Cik.

Sebagai seorang mahasiswa yang Alhamdulillah cukup melek dengan dunia literasi, saya punya koleksi buku banyak sekali. Saking banyaknya buku yang saya punya, kamar kost saya bahkan terlihat lebih mirip taman bacaan ketimbang sebuah kamar kost mahasiswa. Kalau cuma 200-300 buku sih ada. Itu baru koleksi buku yang ada di kost, sedangkan koleksi buku yang ada di rumah di Bogor dan tidak sempat saya bawa jumlahnya jauh lebih banyak lagi.

Nah, di sini permasalahannya Gus, Cik. Banyak kawan-kawan saya yang sering dolan ke kost saya, lalu iseng baca-baca satu dua koleksi buku saya, yang kemudian diakhiri dengan aksi peminjaman. Namanya juga teman sendiri, tentu saya pinjami. Saya tak ingin dianggap pelit sama kawan hanya karena tak mau meminjami buku.

Celakanya, kebaikan hati saya ini seringkali tak terbalas oleh kesadaran kawan-kawan saya. Banyak dari mereka yang meminjam tapi tidak segera mengembalikan sesuai dengan tenggat yang mereka janjikan. Saya jadi rikuh sendiri, mau nagih-nagih dikira perhitungan, tapi kalau nggak ditagih mereka nggak pernah sadar diri. Saya jadi merasa serba salah. Memang sih, buku yang saya pinjamkan itu rata-rata sudah pernah saya baca, tapi rasanya kok ya tetep anyel dan mangkel kalau buku itu tidak kembali.

Sampai sekarang, saya hitung, mungkin ada sekitar 20-25 buku milik saya yang belum kembali. Ada yang minjam cuma satu buku, dan ada beberapa yang minjam dua buku. Jumlah ini mungkin bisa bertambah, mengingat saya ini orangnya nggak tegaan. Niat hati nggak mau meminjami, tapi ujungnya-ujungnya, saya pinjami juga walau pada akhirnya, saya sudah meraba akan bagaimana jadinya.

Menurut Gus Mul atau Cik Prim, apa yang harus saya lakukan?

Jawab

Dear Siwi yang baik hatinya.

Saya paham betul dengan apa yang sampeyan rasakan. Sebab, walau saya nggak melek-melek amat soal dunia literasi, namun saya juga punya cukup banyak koleksi buku, dan ndilalah juga sering dipinjam teman untuk kemudian hilang ditelan peradaban.

Saya jadi ingat salah kejadian yang paling membuat saya mangkel setengah modiar. Kejadiannya waktu saya masih SMP. Saat itu, saya membeli satu buku sepakbola berjudul “Dasar-Dasar Sepak bola Modern” yang ditulis oleh Timo Scheunemann. Waktu itu, saya memang sedang seneng-senengnya bermain sepakbola. Saya beli buku tersebut kalau tidak salah dua belas ribu rupiah. Harga yang bisa saya tebus setelah saya menghemat uang saku sekolah berhari-hari lamanya.

Seminggu berlalu, entah bagaimana ceritanya, buku itu kemudian dipinjam oleh kawan saya, Marcopolo namanya. Saya pinjamkan sebab ia berjanji akan mengembalikannya dalam tempo dua hari saja.

Di hari perjanjian, saya pun menagihnya. Tahukah sampeyan apa jawaban Marcopolo?

“Wah, maaf, Gus, bukunya dipakai sama nenekku buat gêgênèn (dibakar untuk memancing nyala api pada tungku)” Jawab Marcopolo dengan wajah yang tidak menunjukkan sedikitpun rasa penyesalan.

Asu edan ra kathokan. Enak betul dia bilang buku saya dipakai buat gêgênèn, lha dipikirnya itu buku bekas yang harganya dibeli kiloan apa. Itu buku dua belas ribu cuk, harga yang kalau dibelikan cabai bisa lebih dari cukup buat ngraupi wajahmu.

Oke, saya mencoba berbaik sangka, mungkin pria di hadapan saya itu sedang bercanda. Masak buku pinjaman kok seenaknya dibakar, buat gêgênèn lagi, itu kan nggak mungkin. Hingga akhirnya saya melihat sendiri, potongan-potongan kertas buku saya di tungku dapur rumah Marcopolo.

Hal yang kemudian membuat saya begitu yakin bahwa Marcopolo, kawan saya itu adalah sejenis makhluk yang kekurangan Omega 3.

Sejak saat itulah, saya mulai sadar, bahwa meminjamkan buku kepada orang lain adalah salah satu hal yang sebaiknya tidak dilakukan, sebab ia rentan untuk tidak dikembalikan.

Benar apa kata Gus Dur, “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya. Dan hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang sudah dia pinjam.”

Nah, tapi ternyata, ada banyak hal yang kemudian memaksa kita untuk menjadi bodoh dengan meminjamkan buku koleksi kita. Mulai dari rasa takut dibilang pelit, sampai alasan persahabatan. Rupa-rupa alasan yang tetap saja menjebol pertahanan kita.

Kalau sudah begini, ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk minimal mencegah tindak penggaburan buku koleksi oleh kawan sendiri. Semoga ini bisa membantu.

Pertama, Jika terpaksa harus meminjamkan buku kepada kawan atau orang lain, katakan padanya bahwa buku tersebut penting dan dibeli dengan penuh perjuangan. Ini mungkin klise, tapi kata “penting” dan “penuh perjuangan” ini setidaknya akan mampu mencolek sedikit bagian otak dan hati si peminjam seumpama ia bermaksud untuk menggabur buku koleksi sampeyan.

Kedua, jika kawan sampeyan cukup bandel dan agak kosong rasa rikuh-pekewuh-nya, sebelum meminjamkan buku kepada dia, katakan bahwa buku tersebut bukan milik sampeyan, bilang saja itu buku punya pakdhe atau kakak sampeyan.

“Ini buku punya pakdheku, jaga baik-baik, kembalikan secepatnya, soalnya minggu depan orangnya mau kesini!”

Seorang kawan bisa dengan tanpa beban tidak mengembalikan buku yang sudah ia pinjam dari sampeyan sebab ia merasa antara dia dan sampeyan ada satu kedekatan emosional yang seolah membuat satu buah buku tidak akan berarti apa-apa. Namun akan beda ceritanya jika buku tersebut adalah milik pakdhe sampeyan, sebab kawan sampeyan tidak punya kedekatan emosional dengan pakdhe sampeyan, sehingga mau tak mau, ia punya beban untuk mengembalikan buku yang sudah ia pinjam.

Tapi itu kan berbohong namanya? Iya, dan tidak mengembalikan buku pun juga termasuk sebuah kebohongan. Pada titik tertentu, kebohongan kadang memang harus dilawan dengan kebohongan yang lain.

Ketika, jika cara pertama dan kedua bagi sampeyan dirasa terlalu halus, maka cara ini boleh jadi bisa menjadi pilihan terakhir. Saat meminjami buku, sisipkan buku saku “siksa neraka” di sela-sela buku yang dipinjam kawan sampeyan. Nantinya,ia akan bertanya apa maksud sampeyan menyisipkan buku siksa neraka tersebut ke dalam buku yang dipinjamnya.

Kalau sudah begitu, jawab saja.“Biar dirimu tahu, apa siksa bagi orang-orang yang meminjam buku tapi kemudian tidak mengembalikannya.”

Exit mobile version