Haringga Sirla Sudah Ajari Kita, Jangan Mengharapkan Apa pun Bahkan Pada Sepak Bola

MOJOK.CO – Haringga Sirla. Umur 23 tahun. Warga Bangunusa, Kelurahan Cengkareng Timur, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Suporter Persija Jakarta, The Jak Mania.

Beberapa jam sebelum ke Stasiun Gambir, persiapan berangkat ke Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), demi menyaksikan secara langsung pertandingan Liga 1 Indonesia, antara Persib Bandung lawan Persija Jakarta. Lewat instagram @Khepen162, Haringga Sirla menulis instastory kata-kata bijaksana.

Hidup telah mengajari saya 
jangan pernah mengharapkan apa pun dari siapapun

Sendirian dia pergi. Tidak hanya itu, lewat twitter pribadinya, Haringga Sirla juga menulis pesan untuk Persija Jakarta, dengan foto sebuah tiket kereta, stiker Persija, dan beberapa mangkok kosong.

Jangan biarkan macan berjuang sendirian, ayo jangan kendor @Persija_jkt #PersijaDay

Kata itu, mewakili apa yang Haringga rasakan saat itu, sekaligus kata penutup terakhirnya. Nyawanya harus direnggut di Stadion GBLA, dikeroyok oleh pasukan biru-biru, pendukung Persib Bandung.

Menurut keterangan dari suporter yang berada di GBLA, pukul 13.00 WIB di luar stadion—tepatnya di area parkir gerbang biru—Haringga dikejar oleh massa yang diduga Bobotoh, sebutan bagi pendukung Persib Bandung. Massa tersebut berteriak bahwa orang yang dikejar adalah pendukung Persija Jakarta.

Kematian yang sangat tidak manusiawi. Dalam video yang tersebar di media sosial, Haringga yang sudah bertelanjang dada diseret, dilempari berbagai macam benda tumpul, helm, pecahan kaca piring, balok kayu, dan lain sebagainya. Lebih tragis lagi, ketika korban tidak sadarkan diri, dia diseret dalam kondisi berlumuran darah.

***

Video tragedi kematian Haringga tersebar di media sosial. Saya hanya sekali menonton video tersebut ketika mendapatkan kiriman dari salah satu grup whatsapp. Setelah menonton video itu, saya langsung hapus dan selebihnya geleng-geleng kepala.

Alasan pertama saya kenapa saya hapus, karena saya pribadi sangat menghargai perasaan keluarga yang ditinggalkan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana keluarga, terutama ibunya menonton video tersebut.

Mira nama ibunda Haringga. Ketika mendengar anak bungsunya meninggal dunia, Mira menangis meronta, tangisannya kian keras ketika mengingat anak bungusnya itu. Meskipun ditenangkan beberapa kali oleh sanak keluarga, namun Mira tidak kuasa, sampai tubuhnya kian lemas tidak sadarkan diri, sampai bingsan beberapa kali.

Astagfirullahaladzim. Ya, Allah, kenapa anak saya harus pergi seperti ini,” teriak Mira, sebelum tidak sadarkan diri di rumahnya, di Jalan Bangununas, Cengkareng Timur, Cengkareng, Jakarta Barat, Minggu (23/9) malam.

Saya hanya ingin bertanya pada pelaku pengroyokan, bagaimana apabila kejadian tersebut terjadi pada saudara, anak, atau sahabat Anda?

Kedua, pengguna media sosial itu bermacam-macam. Semakin banyak ujaran kebencian dan tidak bermoral lainnya yang bermunculan, seperti “kita akan balas”, “kami tunggu di kandang kami”, bahkan sampai sikap pesimis “tidak usah ada sepak bola lagi kalau caranya begini”, serta, kesannya hanya melihat video itu dan bahkan dijadikan hiburan waktu kosong, “Oh, itu orangnya yang mati dikeroyok.”

Mungkin, langkah yang sangat bijaksana adalah menghapus video itu, selamanya.

Bagi suporter Indonesia—apalagi yang sekelas The Jak Mania—mungkin Haringga Sirla bukanlah siapa-siapa. Haringga merupakan suporter Indonesia pada umumnya. Datang ke markas tim tamu, dengan tekad yang teguh, semangat menggebu, warna oranye di dada, serta membawa panji dukungan tanpa minta balasan apa-apa.

Satu dari jutaan umat suporter yang namanya tidak terlalu penting untuk diingat. Datang ke stadion memakai atribut, teriak-teriak meneriakkan semangat kepada pemain, serta berbagai ekspresi sedih, terharu, atau gembira ketika timnya menerima kekalahan atau kemenangan di stadion.

Perbandingannya jelas jauh berbeda dengan para pentolan suporter, ketua, sesepuh, atau suporter elite yang kadang dijadikan sebagai narasumber wawancara media.

Akan tetapi, Minggu, 23 September 2018, seluruh Indonesia membicarakan, mendoakan, dan prihatin terhadap saudara kita semua, Haringga Sirla.

Prihatin saja tidak cukup, Bung, tidak cukup. Saya khawatir besok-besok semua sudah lupa.

Begini, Bung, kita sering membanggakan bahwa sepak bola menyatukan semua perbedaan. Bahasa diplomatisnya menyatukan Indonesia. Tapi perbedaan yang mana dulu? Sementara dalam hati kita yang paling dalam, masih menyimpan dendam kesumat yang selalu diingat dan tidak ada ujung-pangkalnya.

Lebih-lebih, kadang masih saja ada suporter yang menyukai yel-yel provokatif sebagai pemicu huru-hara atau doktrin-doktrin kebencian yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kecenderungan ini bahkan sampai membuat pelaku-pelaku pengroyokan terhadap Haringga barangkali tidak mengerti betul, untuk apa mereka memupuk rasa benci kepada suporter rival.

Saya jadi ingin bertanya, apakah ini kesalahan sejarah? Karena keduanya memasang pagar masing-masing karena kelompok mereka yang diganggu duluan?

Jika memang kesalahan sejarah, apakah selalu buruk-buruknya saja yang diceritakan? Sementara yang baik-baiknya tidak usah diingat dan generasi selanjutnya selalu didongengi keburukan bahwa kelompok kita telah tewas sekian, pernah dijegat, pernah dilempar, pernah dijebak, pernah dipukul, pokoknya pernah diintimidasi seperti ini dan begini, maka sudah saatnya kita berhak selalu menuntut balas?

Persoalannya, masih saja ada yang mengatakan bahwa hal-hal semacam itu merupakan warna-warni dari sepak bola. Rivalitas dan bentrokan antar-suporter adalah hal lumrah di Indonesia. Suporter di belahan dunia pun juga melakukan hal yang sama, jadi tidak perlu dibawa melankolis atau sentimentil. Bah, kurang ajar sekali jika ada yang masih berpendapat seperti itu, Bung.

Memang benar, rivalitas hanya 90 menit di atas lapangan yang sama, selebihnya kita saudara. Tapi jika tidak dipraktikkan, semua hanyalah omong kosong semata, Bung. Deklarasi damai di mana-mana tapi saling menyimpan dendam kesumat yang tak terlacak seperti bom waktu dalam sekam.

Saudara kami, Haringga Sirla. Dilihat dari media sosial dan raut wajahnya, saya duga merupakan pribadi yang periang dan benar-benar mencintai sepak bola Indonesia dengan tulus. Ketulusan yang dialamatkan lebih khusus untuk Persija Jakarta—tentu saja.

Orang yang murni, polos, dan tulus mencintai Persija, seutuhnya, tanpa ada embel-embel politik atau bentuk pencitraan lainnya. Tidak ada pikiran bahwa 10 tahun yang akan datang dia bisa saja nyaleg dengan memanfaatkan jaringan suporter dan lain-lain. Yang Haringga tahu, dia hanya ingin mendukung apa yang dicintainya, yakni Persija Jakarta. Titik. Itu saja.

Sampai kemudian Haringga berjalan sendiri, ke lorong sunyi. Pukulan brutal dari berbagai benda tumpul, bogeman mentah, tendangan, injakan keras, makian, serta perlakuan kasar lainnya harus diterima. Lebih brutalnya lagi, mendadak tidak ada kemanusiaan ketika semua itu terjadi.

Dalam hati yang paling dalam, saya membayangkan Haringga hanya ingin berpesan, “Ampun. Aku hanya nonton bola karena aku cinta. Tidak ingin seperti ini.”

Sayangnya, tangis Haringga pecah dengan lumuran darah yang ada di sekujur tubuh. Napasnya semakin menipis dan sampai pada akhirnya dia harus meninggal dunia di tempat yang dia cintai, di bumi sepak bola Indonesia, tapi dengan cara yang tak pernah diharapkan siapa pun.

Permasalahan ini bukanlah hanya ditujukan bagi kedua belah pihak suporter yang bertikai. Akan tetapi, pada kita semua, bagaimana berpikir rasional, jernih, damai, baik, saling menerima, memaafkan, serta walau berbeda bendera, bisa berdiri di tribun tanpa mengenal perbedaan. ‘

Sebelumnya, sudah ada banyak korban yang berjatuhan.

Ini adalah duka besar dan mendalam. Mereka juga adalah pahlawan perdamaian sepak bola dan kemanusiaan. Pahlawan yang akan diingat, dikenang, dan memberikan pesan agar kedua suporter harus berdamai.

Apakah saudara kami, Haringga Sirila dan pahlawan sepak bola lainnya yang meninggal, pantas mendapatkan kematian seperti itu?

Tidak! Sama sekali tidak. Cukup. Semuanya sudah cukup. Jangan ada lagi korban yang berjatuhan. Sebagaimana wasiatnya;

Hidup telah mengajari saya 
jangan pernah mengharapkan apa pun dari siapapun.

Haringga Sirla juga sudah mengajari saya, jangan mengharapkan apa pun. Bahkan—mungkin—pada sepak bola yang dicinta tanpa perlu meminta balasan apa-apa.

Exit mobile version