Hari Ibu untuk Ibu yang Tak Sempat Merasakan Bangku Sekolah

ibu

MOJOK.CO – Ibu saya tak tahu Hari Ibu itu apa. Juga tak tahu di mana itu Amerika. Ibu cuma tahu kalau negara itu sangat jauh, dan anaknya nggak pulang-pulang karena ada di sana.

Kabar itu mendatangi Caddi, ibu saya, ketika dia sedang bekerja di sebuah pabrik mi instan di Makassar. Ibu Caddi alias nenek saya tewas.

Ya, saya tidak salah memilih diksi. Alih-alih memilih kata “meninggal dunia”, saya memang sengaja menulis tewas karena memang situasinya demikian. Beliau seperti namanya, MATI. Dan nenek saya tidak mati sendirian.

Di Marana, sebuah kampung terpencil di Sinjai Timur, nenek saya sedang mengajar mengaji pada seorang muridnya. Tiba-tiba seorang pria gila mendatangi nenek saya. Muridnya dibunuh lebih dahulu.

Nenek saya kabur dan masih sempat memanjat Pohon Coppeng (yang buahnya seperti anggur). Pada pertahanan yang ke sekian, badik menghabisinya bersama bayi yang masih berada dalam kandungannya.

Darah bersimbah. Nenek saya tewas. Mereka bertiga lalu dikubur pada lubang yang sama. Saya hanya pernah menziarahi kuburnya sambil memejamkan mata membayangkan peristiwa memilukan itu.

Setiap kali ibu saya menceritakan hal itu, ekspresinya tetap sama: datar. Tak ada guratan sedih, sesal, atau dendam yang jelas. Saya tidak tahu dari mana ibu saya belajar ilmu semacam itu. Mungkin dari hidup yang tak mengizinkannya banyak mengeluh.

Saya yakin ibu saya tidak pernah belajar ilmu keikhlasan di bangku-bangku sekolah atau di majelis-majelis taklim. Wong ibu saya itu tidak pernah sekolah. Tidak tahu membaca dan bahkan tidak tahu tanda tangan. Bahkan di KTP-nya tanggal lahir yang tertera cuma tanggal kira-kira serta di bagian tanda tangan pakai cap jempol.

Ibu saya pernah ikut program pemerintah pemberantasan buta huruf. Saya masih bocah—belum SD bahkan. Yang saya ingat beberapa kali ibu saya berjalan kaki yang jaraknya berkilo-kilo ke kantor desa untuk belajar. Suatu hari beliau pulang dengan keadaan basah kuyup.

Saya sempat ingat bukunya yang salah satu halamannya “Ini Budi. Ini ibu Budi. Ini ayah Budi.” Tetapi pemerintah gagal membuat ibu saya bisa membaca. Bahasa Indonesia ibu saya juga tidak lancar walau beliau pernah tinggal di Makassar untuk bekerja di pabrik mi instan.

Pernah suatu hari kami naik mobil angkutan desa. Hari itu hari pasar, jadi penumpang angkot lumayan banyak. Ibu saya menyuruh saya berpegang agar tidak terjatuh ketika mobil jalan. Tetapi alih-alih bilang “Pegang”, blio malah bilang “Pega…” tanpa [ng]. Sontak blio ditertawai seisi mobil.

Beberapa di antara mereka itu tentu lebih berpendidikan dari ibu saya. Ibu saya tertawa saja dan sama sekali tidak tersinggung. Tetapi tidak dengan saya. Ingatan ibu saya ditertawai tak pernah bisa hilang dari saya.

Maka ketika saya mendaftar proposal double major—TESOL dan Linguistik—di kampus saya di Amrik, kejadian itu menjadi salah satu motif saya. Selalu terbayang saja ketika belajar Kajian Linguistik, studi tentang kajian bahasa. Saya merasa semacam melakukan pembalasan dendam. Ibu saya mungkin marah kalau tahu saya mendendam karena itu. Meski dia selalu gagal menampakkan wajah marahnya pada anak-anaknya.

Sejak jadi piatu dan menjadi anak tunggal, karena calon adik kandungnya ikut terbunuh bersama nenek saya, beliau harus menggembala sapi di padang rumput sepi sejak subuh ketika masih remaja. Bangun pada subuh hari dan terbiasa melihat hal-hal aneh. Dia menyebutnya parakang, orang jadi-jadian dalam mitos masyarakat Bugis. Saya sih tidak terlalu percaya, tapi saya yakin ibu saya tidak pernah berbohong.

Tujuh anak lahir dari rahimnya. Tujuh kali pula dia mempertaruhkan nyawanya. Semuanya laki-laki.

Sejujurnya, Ibu mendambakan anak perempuan pada anak keenamnya. Masalahnya anak keenamnya itu saya. Yang bungsu juga laki-laki. Mungkin Tuhan mengabulkan pada cucunya. Dari 8 cucunya kini, 5 di antaranya adalah perempuan. Dan tentu saja, semua itu merupakan anak kakak-kakak saya.

Sebagai seorang istri di masyarakat kampung kami yang hidup, beliau harus mengurus segalanya. Mengurus anak, ke pasar menjual hasil kebun dan berbelanja, mengurus rumah, dan memasak, mengurus dan mempersiapkan bekal bapak saya yang akan bekerja dari subuh hingga malam di kebun. Mereka berdua membangun segalanya dari nol.

Beliau merupakan istri dan ibu yang patuh dan—sebagaimana tidak bisa membaca—ibu saya juga tidak tahu cara menolak. Apapun yang diminta anaknya akan dipenuhi, termasuk menjual barang berharganya ketika anaknya butuh biaya.

Ibu juga tidak tahu cara meminta, tidak tahu cara menangis, tidak tahu caranya marah, tidak tahu caranya memukul, bahkan sampai tidak tahu membangga-banggakan anaknya. Meski bukan mencoba sombong, semua anaknya punya kehidupan yang lebih baik ketimbang dirinya. Termasuk saya, yang beruntung benar bisa kuliah ke luar negeri. Hal yang bahkan untuk dibayangkan ibu saya saja tak berani.

Jika Ibu rindu, biasanya dia tidur di samping saya kalau pulang kampung (pulkam). Masalahnya, karena jauhnya jarak, saya jarang pulkam. Ketika saya bisa pulkam, Ibu akan memasakkan makanan kesukaan meski tak saya minta. Nama makanannya: Nasyu’ Syukka.

Anggap saja ini makanan rahasia, saking rahasianya, belum ada yang upload resepnya di Youtube. Padahal saya selalu rindu masakan itu selama di Amrik. Sudah saya coba cari di McDonald dan KFC tetap tak ada. Ya iyalaaah…

Pada 22 Desember dua tahun lalu, di hari ibu yang sama, sebuah email kepastian permohonan perpindahan ke Inggris dikabulkan oleh penyedia beasiswa LPDP. Sehari berselang, kepastian diterima di dua kampus Amerika Serikat via Fulbright menyusul. Saya pikir hari itu adalah hari terbahagia yang pernah saya rasakan di momen hari ibu.

Apakah saya memberita tahu ibu saya soal kabar bahagia itu? Tidak.

Sebab ibu saya tak tahu Hari Ibu itu apa. Juga tak tahu di mana itu Inggris dan Amerika. Sampai kini yang Ibu tahu cuma Amrik itu sangat jauh. Ibu hanya bisa mengira-ngira, kalau naik pesawat minimal 24 jam itu pasti jauhnya sampai ke ujung dunia.

Beberapa hari kemudian saya baru sungguh-sungguh memberi tahu Ibu ketika tiket ke Amrik sudah di tangan. Dan seperti biasa, dia akan menjawab datar dengan tatapan yang sama seperti biasanya.

Saya baru sekali meneleponnya karena jaringan yang payah di kampung, dan dari jauh suaranya tetap sama. Berbicara pada saya sama seperti ketika berbicara saat masih di Makassar.

Tetapi saya tahu, di lubuk hatinya sana, di balik ketegaran bola matanya yang menolak basah, di balik diamnya, ibu saya tetaplah seorang induk yang akan bertarung menahan rindu kepada darah dagingnya.

Meski ibu saya tidak berpendidikan tinggi, tidak bisa membaca, tapi ibu justru merupakan sekolah pertama yang sangat hebat bagi anak-anaknya.

Darinya saya belajar mengaji, darinya saya belajar kesabaran, keikhlasan, ketulusan, kerja keras, kepedulian, empati, dan tanggung jawab yang mungkin belum tentu dimiliki oleh orang lain. Pada titik tertentu, saya justru bersyukur ibu saya seperti itu. Toh, jika saya dilahirkan kembali dan bisa memilih, saya akan tetap memilih untuk dilahirkan dari rahimnya.

Oh iya, bagaimana dengan ibumu? Saya yakin ibumu adalah ibu yang sama menakjubkannya. Tak perlu malu untuk menceritakannya, apalagi pada hari ibu kali ini. Sekali pun ibumu tak sempat sekolah dan tak bisa membaca seperti ibu saya. Bagi saya, setiap ibu tetap luar biasa.

Selamat hari ibu, untuk kalian para ibu di luar sana.

Exit mobile version