Ketidakbahagiaan dan Masa Depan Spesies Kita

ketidakbahagiaan hal-hal-kecil-yang-membuat-kita-bahagia Ketidakbahagiaan dan Masa Depan Spesies Kita

ketidakbahagiaan hal-hal-kecil-yang-membuat-kita-bahagia Ketidakbahagiaan dan Masa Depan Spesies Kita

MOJOK.COMengapa kita begitu berhasrat menyingkirkan ketidakbahagiaan? Bukankah cerita kegagalannya lebih sering kita dengar ketimbang sebaliknya? 

Ada ribuan buku tentang kebahagiaan dan sebagian besar mengatakan bahwa kebahagiaan itu baik bagi manusia. Ironisnya, semakin banyak yang ditulis tentang kebahagiaan, semakin sulit kita mengerti apa sesungguhnya yang ingin dirujuk oleh kata ini, selain bahwa kebahagiaan adalah apa saja yang kita sukai. Jika kebahagiaan tidak dianggap penting, rasa-rasanya tidak mungkin berbagai jenis terapi diiklankan setiap hari sebagai program yang diyakini dapat memberikan manfaat positif bagi jiwa manusia.

Apakah benar kebahagiaan memang selalu baik bagi manusia dan sesuatu yang selama berabad-abad paling diinginkan? Apakah ilmu psikoterapi sudah seharusnya membuat manusia selalu bahagia? Mari kita lihat sejumlah fakta berikut:

Pada 1971 seorang profesor kedokteran dan psikiater dari Universitas Rochester menerbitkan temuannya yang cukup menggemparkan bahwa kebahagiaan ternyata tidak selalu selaras dengan kesehatan. Ia mengumpulkan 170 kasus kematian mendadak selama 6 tahun terakhir dan menganalisis kondisi psikologis tiap individu sebelum mereka meninggal. Sebagian besar kasus kematian memang dipicu oleh ketakutan dan depresi hebat, namun enam persen di antaranya justru didahului oleh kebahagiaan mendadak, misalnya menerima kabar baik.

Melalui bukunya yang memikat, The Evolving Self, Mihaliy Csikszentmihalyi, mantan kepala Departemen Psikologi Universitas Chicago, menyebutkan sejumlah alasan tentang kecenderungan pikiran manusia untuk terjatuh pada ketidakbahagiaan. Ketika kita sedang melamun, misalnya, kemungkinan pikiran kita untuk tertambat pada topik yang tidak membahagiakan ternyata selalu lebih besar dibanding yang membahagiakan.

Ambil contoh, ketika Anda sedang menyiapkan sebuah wawancara kerja yang menentukan, pikiran Anda cenderung tergoda untuk memperhatikan kemungkinan sang pewawancara tidak menyukai cara berbusana, gaya rambut, cara komunikasi, atau riwayat pekerjaan Anda, dibanding membayangkan kemungkinan ia akan terbius oleh kemampuan persuasi Anda.

Ketidakbahagiaan itu mirip seorang pencuri yang lihai menyelinap ke dalam rumah kita, ia begitu mudah meresap ke dalam jiwa kita. Kedatangannya juga tidak disangka-sangka, bahkan ketika semuanya tampak berjalan sempurna.

Siapkan pikiran Anda dengan alasan berikutnya, sebab ini bersumber dari jiwa Anda yang paling dalam. Anda tidak perlu meminta pikiran sadar Anda untuk mengusirnya, sebab ia sudah bersemayam jutaan tahun sebelum nenek moyang kita mengenali biji-bijian sebagai sumber protein yang bisa dikembangbiakkan.

Perhatikan karya-karya seni dan kesusastraan bermutu (tanyakan saja pada Mahfud Ikhwan, penulis Dawuk itu). Filsuf Alan Watts menyebut bahwa pikiran kita memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam membayangkan sisi kehidupan yang gelap dibanding yang terang. Para penikmat seni dunia nyaris tidak pernah berselisih bahwa lukisan-lukisan neraka dari era Renaisans dipandang lebih memikat dibanding lukisan surga yang dianggap lebih membosankan.

Meski saya belum menyaksikannya secara langsung, namun saya merasa lukisan “Gerbang Neraka” Rodin jauh lebih menyihir dibanding lukisan sentuhan Tuhan terhadap manusia di langit-langit kapel Sistina yang megah itu. Demikian pula untuk karya sastra. Tulisan tentang kegagalan manusia, tentang absurditas hidup, tentang tragedi, tentang distopia, justru jauh lebih mempesona dibanding deskripsi-deskripsi utopia (kalau tidak percaya, coba bandingkan Bumi Manusia dengan Laskar Pelangi).

Lagi, mengapa kita tidak mengeluh saat mengantre untuk menonton film perang atau pembunuhan sadis? Kita juga mudah dibuat tenggelam oleh tragedi tak berkesudahan dalam sebuah novel. Secara naluriah, kita memang tidak pernah puas dengan pesan-pesan negatif.

Kita memang perlu belajar menerima dan menghargai kontribusi pikiran tidak bahagia bagi keberlangsungan spesies kita. Saya akan ajak Anda merenungkan hipotesis Csikszentmihalyi yang terkemuka dalam gerakan Psikologi Positif berikut: adalah ketidakbahagian—bukan kebahagiaan—yang lebih membantu makhluk hidup beradaptasi dengan lingkungan yang mengancam.

Ketika kita disergap oleh kemungkinan-kemungkinan buruk, saraf-saraf di otak kita tanpa kita perintah akan membangkitkan kewaspadaan yang memungkinkan kita sanggup merespons dengan cepat dan tepat kondisi berbahaya yang bisa datang kapan saja. Lewat sejarah yang panjang, spesies kita memang lebih terlatih untuk menghiraukan pikiran-pikiran negatif, persis seperti jarum kompas yang selalu berpaling ke arah utara.

Saya tidak bermaksud mengajak Anda untuk merayakan ketidakbahagiaan, saya hanya mengingatkan Anda untuk tidak mudah percaya pada anjuran para motivator bahwa masa-masa melankolis adalah parasit bagi kebahagiaan manusia dan karena itu harus segera dimusnahkan. Anda tidak perlu khawatir akan kehilangan ketangguhan yang dibutuhkan untuk bertahan di sebuah negeri yang kondisinya makin memprihatinkan ini. Lama-lama Anda juga akan terbiasa.

Lewis Thomas, seorang dokter dan direktur riset Sloan Kettering, menyindir kebiasaan kita yang selalu mempatologiskan ketidakbahagiaan:

“… banyak pembicaraan buruk yang menyiratkan bahwa merasa tidak bahagia adalah tidak wajar… itu artinya jika Anda tidak bahagia Anda harus menghadap dokter… Ada profesi baru yang tugasnya memberi saran kepada orang lain tentang bagaimana seharusnya menjalani hidup… Ini berlebihan. Yang membuat saya khawatir adalah banyak orang, lebih-lebih yang muda, dibikin percaya bahwa jika mereka tidak bahagia, mereka harus pergi ke seorang konselor untuk mendapatkan apa yang disebut bimbingan.”

Namun, cara yang lazim ditempuh oleh orang muda hari ini untuk mengatasi ketidakbahagiaan ternyata bukan datang kepada konselor untuk mendapatkan “pencerahan”, melainkan lebih memilih menenggelamkan diri dalam kegembiraan instan: nonton film, menenggak alkohol, mengonsumsi obat, berbelanja, berpesta pora, dan lain-lain.

Mengapa kita begitu berhasrat menyingkirkan ketidakbahagiaan? Bukankah cerita kegagalannya lebih sering kita dengar ketimbang sebaliknya? Apa tidak sebaiknya kita terima dan jalani saja secara terbuka? Jika bisa, mungkin perasaan tidak bahagia akan berkurang dengan sendirinya.

Masalahnya, sekarang kita lebih terampil membicarakan kebahagiaan seolah ia adalah hak yang dapat kita tuntut dari dunia di luar. Bahkan di Amerika Serikat sendiri, negara yang paling bersemangat mengembangkan industri kebahagiaan dan menjualnya ke seluruh dunia, dalam Deklarasi Kemerdekaannya disebutkan bahwa yang lebih utama adalah usaha-usaha pencarian kebahagiaan, bukan kebahagian itu sendiri. Para pendiri Amerika menempatkan kebahagiaan sebagai sebuah gagasan ideal, menjadi nilai tertinggi justru karena tidak mudah untuk mewujudkannya.

Pikiran yang tertuju pada ketidakbahagiaan mestinya kita terima sebagai kapasitas yang paling patut kita syukuri. Seandainya nenek moyang kita dulu tidak mengembangkannya, mungkin hingga hari ini spesies kita belum juga turun dari pohon dan menciptakan pakaian. Seandainya otak kita tidak memberi kesempatan bagi tumbuhnya perasaan-perasaan negatif, mungkin kita tidak akan pernah memiliki orientasi untuk bahagia, sebab kita tidak tahu cara berkeluh kesah tentang kenyataan bahwa hidup kita tidak selalu gembira.

Fakta bahwa ketidakbahagiaan berperan positif bagi hidup kita tidak kemudian berarti semakin sering tidak bahagia akan semakin baik. Kita sering menjumpai dan mendengar bahwa perasaan melankolis yang berlebihan adalah penyebab depresi yang menghancurkan. Namun, sebagaimana kita bisa terlalu banyak mengalami ketidakbahagiaan, kita juga bisa terlalu sedikit mengalaminya. Yang kita butuhkan adalah sebuah benteng pertahanan dari serangan musuh yang sudah benar-benar kita kenali.

Dalam sebuah cerita rakyat Afghanistan dikisahkan:

“Dahulu kala, ada seorang raja yang memerintahkan para penasihatnya untuk membuatkan cincin yang bisa membuatnya bahagia ketika ia bersedih, dan merasa sedih ketika ia gembira. Setelah berembug akhirnya mereka memutuskan bahwa cincin itu mestilah bertuliskan kalimat: ‘Ini pun akan berlalu.’”

Begitulah. Kebahagiaan dan ketidakbahagiaan selalu saling membuntuti, sepasti siang mengikuti malam.

BACA JUGA Jangan Menikah Kalau Maunya Cuma Cari Bahagia dan tulisan Afthonul Afif lainnya.

Exit mobile version